Kajian Al-Quran telah mewarnai sejarah peradaban Islam. Penyebaran Islam dari awal kemunculannya, tidak lepas dari sumber utama ajaran Islam, yaitu Al Quran. Karenanya, sejarah kajian Al Quran di Nusantara, dapat ditelusuri sejak masuknya Islam ke Nusantara. Di Nusantara, perkembangan kajian al Qur’an agak berbeda dengan perkembangan yang terjadi di dunia Arab yang merupakan tempat turunnya al Qur’an. Perbedaan tersebut terutama disebabkan oleh perbedaan latar belakang budaya dan bahasa. Di Nusantara, proses pemahaman al Qur’an terlebih dahulu dimulai dengan penerjemahan al Qur’an ke dalam bahasa Nusantara (dulu: Jawa dan Melayu), kemudian penafsiran yang lebih luas dan rinci. Proses tersebut tentu saja seiring dengan proses Islamisasi di Nusantara, di mana para sejarawan sepakat bahwa tasawuf dan tarekat menjadi salah satu motor penggeraknya. Karenanya, dapat dikatakan bahwa sejarah kajian al Qurán tidak bisa dipisahkan dari perkembangan tarekat di Nusantara.

Kajian al Qur’an terutama perkembangan tafsir di Indonesia sebelumnya telah dilakukan oleh beberapa Indonesianis seperti, R. Israeli dan A.H. Johns (Islam in the Malay world: an Explotary survey with the some refences to Quranic exegiesis, 1984), A.H. Johns (Quranic Exegiesis in the Malay world: In search of profile, 1998). P. Riddel (Earlist Quranic Exegetical activity in the malay speaking states, 1998) (Saenong: 2006).

Selanjutnya penelitian yang cukup berarti dilakukan oleh Howard M Federspiel  yatui “Popular Indonesian Literatur Of The Quran”, yang telah mengkaji sekitar 60-an buku, diantaranya adalah karya Jamaluddin Kafie, Oemar Bakrie, Abu Bakar Atjeh, Joesoef Souyb, HAMKA, Ahmad Hassan, Hashbi Ash-Shiddiqie, Mahmud Yunus, dan Dr Quraish Shihab. Dari segi jenis buku-buku yang diteliti, kajian Federspiel cukup komprehensif, karena buku-buku tersebut meliputi berbagai jenis yang berkaitan dengan upaya memahami Al-Qur’an, baik buku bimbingan untuk pelajar dan awam, kamus (indeks) Al-Qur’an, Tafsir Al-Qur’an, sampai kepada buku-buku tentang cara-cara menghafal Al-Qur’an.  

Federspiel cukup berhasil mengungkap peranan literatur-literatur keagamaan dan pengaruhnya dalam menentukan arah umat Islam dan bangsa Indonesia lainya. Menurutnya, model karya-karya tafsir al-Qur’an di Indonesia pada dasarnya berasal dari penulis-penulis muslim Timur Tengah satu abad yang lalu. Karya-karya tafsir al-Qur’an di Indonesia banyak diasumsikan sebagai sebuah hasil terjemahan dari tafsir-tafsir masa lalu, atau tidak sedikit dari karya-karya tersebut yang isinya banyak mengutip dari tafsir-tafsir masa lalu. Setidaknya ada sepuluh kitab tafsir sering digunakan sebagai rujukan dalam tafsir-tafsir Indonesia. 10 kitab tafsir tersebut diantaranya: Tafsir Jauhari, Tafsir Jalalain. Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir al-Maragi, Tafsir al-Qasimi, Tafsir ar-Razi, tafsir al-Manar, Tafsir at-Thabari, Tafsir al-Baidawi, dan Tafsir fi zilal al-Qur’an.

Namun, penelitian Federspiel tersebut hanya diawali pada periode Mahmud Yunus, padahal sebelum itu, sudah dikenal beberapa tafsir karya anak bangsa yang dinilai sebagai pondasi dasar bahkan jembatan upaya tarjamah-tafsiriyah di tanah Melayu. Sebagaimana diasumsikan Azyumardi, sejarah perkembangan intelektualisme Indonesia abad 17–18, banyak yang terlupakan oleh para peneliti. Padahal, abad 17–18 M. merupakan abad yang paling dinamis dalam sejarah intelektualisme muslim Indonesia. Sebagai misal, pada saat itu muncul ulama besar di Aceh, Abdul Rouf al-Singkili, yang populer dengan karya besarnya dalam bidang tafsir, Turjuman al-Mustafid. Dari sisi metodologi tafsir, kajian ini juga belum memberikan kontribusi yang signifikan. Ini terjadi karena sejak semula kajiannya lebih diarahkan pada kepopuleran literatur dengan dasar jangkauan distribusi literatur tersebut. Menurut Islah Gusmian, kategorisasi tafsir yang dibuat oleh Federspiel memang bermanfaat dalam rangka melihat dinamika penulisan tafsir di Indonesia. Namun dari segi pemilahannya tampak agak kacau. Selain itu, Federspiel mengonstruksikan analisisnya dengan ranah politik, berbeda dengan penelitian Yunan Yusuf yang menggunakan kerangka metodologi disiplin ilmu tafsir. Yunan Yusuf dalam “perkembangan metode tafsir di Indonesia” dan “Karakteristik Tafsir al Qur’an di Indonesia Abad ke-20” telah menganalaisis perkembangan karakterisitik tafsir al Qur’an di Indonesia. Namun, Yunan Yusuf hanya terfokus kepada karya-karya pada Abad 20.

Sedangkan Islah Gusmian dalam bukunya “Khazanah Tafsir Indonesia” justru tidak mengikuti kerangka analis ilmu tafsir konvensional, namun mengikuti analisis wacana, di mana berusaha menyingkap ideologi atau kepentingan yang terselip dan keragaman teknis penulisan dan hermeneutik yang berkembang. Hanya saja penelitian Gusmian difokuskan kepada karya-karya orang Indonesia dalam rentang waktu tahun 1990 hingga 2000 dan tidak mengkhususkan kepada karya tafsir lengkap 30 juz. Gusmian menyimpulkan para penulis tafsir memiliki keilmuan yang beragam dan menyingkap berbagai kepentingan yang diusung dalam karya tafsir, sehingga pembaca tafsir diharapkan kritis dan mampu membongkar apa yang ada di balik karya tafsir. Dalam temuannya, Gusmian secara tersirat menyisakan pertanyaan terkait otoritas dan kapabilitas seseorang dalam menyusun tafsir atau penafsiran al Qur’an yang tentu ini akan berpengaruh pada masa depan masyarakat Islam di Indonesia.

Mengenai otoritas dan kapabilitias ini secara tersirat, Farid F Saenong dalam “Arkeologi Pemikiran Tafsir di Indonesia: Upaya Perintis”, menyatakan bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang historis, sehingga bisa ditelusuri. Buku atau karya telah menjadi ekspresi pemikiran, pengalaman, imajinasi atau ekspresi ketidaksadaran. Karena ulama-ulama Indonesia bermunculan melalui berbagai jejaring yang berpusat di Timur Tengah, sehingga pemikiran-pemikirannya juga tidak terlepas dari jejaring-jejaring tersebut. Menurut Farid,  karya tafsir di Timur Tengah mewakili zaman serta ideologinya masing-masing, sehingga dengan sendirinya menggambarkan pemahaman yang berbeda-beda. Oleh karena itu, pemahaman salah satu sumber tersebut juga mewarnai wacana pemikiran tafsir di Indonesia. Kemunculan beberapa tafsir di Indonesia juga ikut memicu friksi antara kaum modernis dan tradisionalis. Banyak karya tafsir populer, ditulis oleh kalangan yang dikategorikan modernis. Hal ini bisa dipahami, mengingat ulama-ulama tradisionalis lebih berkutat pada persoalan kemasyarakatan (fiqhiyah). Kalangan tradisionalis hanya bisa bangga dengan Tarjuman Mustafid,  Tafsir Faidhir Rahman , dan Al-Ibriz.

Oleh karena itu, mendedah suatu jejaring keilmuan dan lebih khusus jalur sanad dalam kajian Al Qur’an sangat penting dilakukan. Sejauh ini, tidak ada kajian yang komprehensif tentang jejaring ulama Timur Tengah dan Nusantara (Azra, 1994: 18), apalagi terkait korelasi jejaring ulama penghafal al Qur’an dengan jejaring ulama tarekat. Perkembangan kajian tafsir di Nusantara terlihat semakin menjauh dan terpisah dengan para penjaga al Qur’an dan masyarakat Islam. Meskipun Azra telah mengupas jejaring ulama pada abad ke-17 dan ke 18, serta dilanjutkan Jajar Burhanudin pada abad ke 19 dan ke 20, tetapi tidak berupaya mengkaji tentang jalur sanad atau interalasi yang komprehensif.

Dalam kajian The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Networks of Middle Eastern and Malay-Indonesian Ulama in the Seventeenth and Eighteen Centuries. Disertasi (1992), New York: Columbia University, yang selanjutnya ditebitkan menjadi buku dengan judul Jejaring Ulama (1994 dan 2004), Azra menyatakan bahwa hubungan antara Nusantara dengan Timur Tengah sejak abad 17 bersifat keagamaan dan keilmuan. Meskipun juga tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan politik juga dilakukan terutama dengan Dinasti Utsmani (Idem: 16-17). Sehubungan dengan apa yang dikemukakan oleh Azra dapat diperoleh kesimpulan bahwa kajian terhadap transmisi pemikiran ulama Timur Tengah terhadap aktivitas ulama Indonesia masih terbuka lebar untuk dilakukan.  Penelitian Azra bermanfaat untuk memberikan informasi tentang transmisi ajaran Islam dari Timur Tengah ke Indonesia. 

Namun memasuki abad ke-19, perkembangan tafsir di Indonesia tidak lagi ditemukan seperti pada masa-masa sebelumnya. Hal itu terjadi karena beberepa faktor, diantaranya pengkajian tafsir al-Qur’an selama berabad-abad lamanya hanya sebatas membaca dan memahami kitab yang ada, sehingga merasa cukup dengan kitab-kitab Arab atau melayu yang sudah ada. Di samping itu, adanya tekanan dan penjajahan Belanda yang mencapai puncaknya pada abad tersebut, sehingga mayoritas ulama mengungsi ke pelosok desa dan mendirikan pesantren-pesantren sebagai tempat pembinaan generasi sekaligus tempat konsentrasi perjuangan. Ulama tidak lagi fokus untuk menulis karya akan tetapi lebih cenderung mengajarkan karya-karya yang telah ditulis sebelumnya. (Baidan:2003, 79)

Meskipun demikian, menurut Jajat Burhanudin dalam “Ulama dan Kekuasaan: pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonsia”, berdasarkan pengalaman NU, ulama masih memegang pengaruh kuat di masyarakat Muslim, khususnya dalam kehidupan keagamaan. Meskipun kaum reformis pernah menyerang otoritas ulama dan saat ini dunia intelektual lebih didominasi kaum reformis, namun masyarkat Muslim mayoritas masih membutuhkan ulama untuk meminta nasihat keagamaan. Hasil survey PPIM tahun 2004 dan 2006 menunjukkan bahwa ulama mempunyai peran dan kedudukan strategis dalam masyarakat Muslim.

Dalam masyarakat Muslim, ulama-ulama yang tetap menjadi rujukan biasanya memiliki jejaring keilmuan dan sanad yang jelas. Mereka adalah para huffadz dan tarekat yang selama ini sepertinya dijauhkan dari hiruk pikuk perkembangan pemikiran Islam di Indonesia. Pada tahun 2009-2010, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an mengadakan penelitian tentang biografi huffaz di  Indonesia.  Dalam  rentang  dua  tahun,  setidaknya  sudah 26 biografi para penghafal Al-Qur’an yang diteliti yang tersebar dalam 4 daerah mencakup Pulau Sumatera (10), Jawa (12), Sulawesi (2), dan Nusa Tenggara (2). Berangkat dari semangat untuk mendokumentasikan denyut perjuangan dan kerja keras  para  penghafal  Al-Qur’an  atas  keistiqamahannya  menjaga keotentikan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga bisa dijadikan sarana pendidikan bagi generasi selanjutnya, penelitian ini berhasil mengungkap  beberapa  informasi  terkait  perkembangan  tradisi  dalam kultur pesantren, dedikasi para huffaz dalam menjaga Al-Qur’an, proses pewarisan sanad yang ketat melalui mekanisme talaqqī- musyāfahah, serta program dan metode tahfiz Al-Qur’an.

Sebagian temuan penelitian  ini  memperkuat simpulan  dan temuan penelitiansebelumnya. Dari hasil penelitian, diperoleh bahwa riwayat  hidup para  huffaz menggambarkan  betapa   tradisi  tahfiz   Al-Qur’an  di  Indonesia tumbuh dan berkembang dalam kultur pesantren, khususnya setelah ada  kontak  langsung  antara  ulama  nusantara  dan  ulama  Timur Tengah. Kontak langsung inilah yang kemudian membentuk rangkaian  sanad  yang  terwariskan  secara  talaqqī-musyāfahah  dalam pola guru dan murid dari satu generasi ke generasi. Dedikasi para huffaz dalam menjaga Al-Qur’an tercermin dari keikhlasan dan kekuatan tekad untuk mempelajari kandungan Al-Qur’an dan mengajarkannya. Bagi mereka, mengajar dan mengamalkan Al-Qur’an adalah panggilan jiwa dan tugas mulia. Karenanya, kebanyakan dari mereka mendirikan pondok pesantren, atau minimal mempunyai pengajian sebagai sarana ber-talaqqī- musyāfahah dengan generasi berikutnya. Sesuai dengan tradisi yang dibangun sejak awal, proses pewarisan sanad terhadap para penjaga Al-Qur’an ini juga sangat ketat.  Mekanisme  yang  dipilih  adalah  talaqqī  dan  musyāfahah, demi memastikan bahwa setiap sanad harus sampai kepada Rasulullah saw. Proses belajar langsung kepada guru (talaqqī dan musyāfahah)  ini  harus  berlangsung  sampai  sang  murid  berhasil mengkhatamkan  Al-Qur’an,  jika  dia  ingin  mendapatkan  ijazah untuk mengajarkannya kepada orang lain. Dari rangkain inilah tergambar betapa sanad para huffaz di Indonesia mempunyai hubungan yang bersambung dekat dengan para guru di Saudi Arabia. (LPMA: 2010)

Hanya saja penelitian tersebut tidak menelusuri lebih lanjut terkait bagaimana interaksi para huffadz dengan kajian Al Qur’an utamanya tafsir dan jejaring ulama yang lebih luas, padahal hal ini perlu dilakukan untuk mendapatkan indikator keberhasilan mereka dalam menjaga teks-teks al Qur’an berikut pengamalannya oleh umat. Padahal, As Singkili sebagai mufassir yang hafidz memiliki jejaring yang luas bahkan dia juga seorang ahli tarekat yang sanadnya cukup dapat dipertanggungjawabkan. Begitupun KH Munawwir Krapyak yang memiliki jejaring ulama yang cukup luas dan bersinambung dengan ulama-ulama tarekat saat itu dan memiliki sanad yang bagus, bahkan muridnya KH Arwani Amin dan KH Abdullah Salam menjadi mursyid dari suatu tarekat. Hanya karena ulama-ulama huffadz dan tarekat tidak memiliki karya tafsir lantas mereka terlupakan dari kajian al Qur’an terutama dalam bidang tafsir. Memang, saat ini marak penafsiran-penafsiran kontemporer, akan tetapi antara menulis karya tafsir dan mengajarkan tafsir memiliki peran yang sama untuk memberikan pemahaman al Qur’an kepada masyarakat Islam. Justru yang selama ini berhadapan dengan ummat adalah para ulama-ulama tersebut.

Bersambung…

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *