Tidak perlu slogan NKRI Bersyariat. Mari belajar dari sejarah. Ketika paham Islam aliran keras disebarkan di India oleh Mahmud Ghazna, Dinasti Khiljia, Tughlaq, Lodia, Haydar Ali dan Aurangzeb secara paksa dimana orang-orang dikhitan massal dan disyariatkan secara simbolik, maka dakwah Islam mengalami kegagalan. Saat kekuasaan Islam melemah, penduduk India berbondong-bondong kembali ke agama asalnya.

Namun dakwah Islam yang disebarkan oleh ulama sufi sekaliber Syaikh Syaraf bin Malik dan Malik bin Dinar di Malabar ternyata mampu mengislamkan penduduknya, bahkan Raja Cranangore juga memeluknya. Kelak di sana lahir ulama ahli Fiqih sekaligus Sufi bernama Syaikh Zainudin Al Malibari, pengarang kitab Fathul Muin yang banyak dikaji para santri karena di dalamnya mengajarkan fikih yang fleksibel.

Di Bengali, Islam juga tersebar malalui Islam kasih sayang yang didakwahkan oleh tokoh Sufi selevel Syaikh Jalaludin Attibrizi yang merupakan murid dari tokoh sufi agung Syaikh Suhrawardi.

Di Nusantara, Islam menyebar mulai abad ke-13 melalui tokoh-tokoh Sufi seperti Syaikh Subakir, Maulana Malik Ibrahim, Syaikh Syamsuddin Wasil Setana Gedong Kediri, Syaikh Jumadil Kubro, Ibrahim Samarkandi, Syaikh Quro Karawang (pendiri pesantren pertama kali pada 1418 Masehi). Guru sufi terakhir ini mampu mengislamkan tokoh2 besar seperti Pangeran Walangsungsang dan Kian Santang. Dakwah sufi ini kemudian diteruskan oleh Wali Songo pada abad-abad berikutnya.

Dari sejarah tersebut, maka NKRI Bertasawuf lebih utama daripada NKRI Bersyariat, karena Tasawuf senantiasa mengajarkan Islam Cinta.

Perlunya Fikih Indonesia

Dahulu Gus Dur pernah berpendapat bahwa Assalamualaykum bisa diganti dengan Selamat Pagi, Selamat Siang, Selamat Sore, dan Selamat Malam. Mengapa demikian? Sebab substansi ucapan salam adalah menghormati orang lain, mendoakan keselamatan, dan ungkapan saling mengasihi. Ini bagian dari bentuk pribumisasi Islam.

Pendapat Gus Dur tersebut selaras dengan pendapat Imam Nawawi yang menukil dari hikayah imam Rafi’i dalam kitab Al-Majmu’, Imam al-Syarwani dalam Hawasyi al-Muhtaj, imam al-Syarbini dalam Mughni Muhtaj, imam al-Isnawi dalam al-Tamhid, dan imam Zakariya dalam Syarhul Bahjah. Para ulama raksasa ini berpendapat bahwa salam bisa diucapkan dengan bahasa Ajamiyyah, yakni non Arab. Bahkan, pendapat ini dinilai yang paling tepat.

Assalamualaykum itu Arabis. Bisa diganti pula dengan Good Morning bagi orang asing. Sedangkan mengucapkan salam kepada Non Muslim, banyak ulama dalam kitab tafsir Al-Quran yang memperbolehkannya.

Salamnya orang Indonesia bisa menyesuaikan bahasa daerah masing-masing. Sugeng enjang, misalnya bagi orang Jawa. Kesimpulannya, Islam itu mudah dan dinamis.

Ada perbedaan antara kritik ilmiah dan mencela (hunaka al-farq bayna al-naqdi al-ilmi wa al-sabbi wa tha’ni). Hal ini berlaku dalam dialog antar iman. Ketika Al-Quran QS Al-Maidah: 71-73 mengomentari keyakinan Trinitas yang dianut oleh umat Kristiani, hal itu dalam rangka menyampaikan petunjuk yang kritis dan ilmiah. Jika ada seorang da’i terkenal menggunakan ayat ini untuk melegitimasi sikap mencela kepercayaan umat Kristiani, maka rasanya kurang etis.

Ayat-ayat kritik Trinitas tersebut disampaikan secara langsung oleh Rasulullah Muhammad saw dengan penuh hikmah saat beliau menjamu rombongan pemuka agama Nashrani dari Najran. Dialog lintas iman itu diwarnai dengan kejadian yang unik; saat hari Ahad tiba, Rasulullah saw mengizinkan para pemuka Nashrani melaksanakan ibadah di Masjid Nabawi Madinah sebagai bentuk toleransi. Kejadian itu menunjukkan bahwa Islam mengajarkan “toleransi kritis”, yakni saling menghargai meskipun saling kritik secara ilmiah.

Kritik ilmiah disertai argumentasi, sedangkan mencela sering disertai gelak tawa yang memunculkan sakit hati. Tradisi pemikiran Islam baik klasik maupun kontemporer sudah terbiasa dengan dialog lintas iman yang kritis. Para islamolog/orientalis sejak era Yohana Al-Dimasyqi (w.749 M) mengkritik sumber-sumber Islam, disiplin-disiplin ilmu keislaman dan figur-figur Muslim. Mereka menulis karya-karya yang menyimpulkan bahwa Al-Quran sudah tidak orisinil, hadits Nabi penuh dengan kebohongan, fikih tiruan undang-undang Romawi, tasawuf terpengaruh tradisi mistik dari kebudayaan Hindu-Budha-Kristen, filsafat Islam tiruan dari Yunani, Muhammad saw gemar poligami untuk menuruti hasrat seksual, Islam agama pedang, dan seterusnya.

Apa sikap para ilmuan Muslim terkemuka menanggapi hal itu? mereka tidak membalas dengan mencaci maki. Para ulama justru menulis karya-karya tanggapan yang tidak kalah kritis dan ilmiah. Mari kita tiru mereka dalam membangun toleransi kritis, bukan toleransi nyinyir dimana tutur kata kita menyakiti saudara-saudara umat beragama lain. Selain itu, ustadz-ustadz di Indonesia perlu banyak bergaul dengan para pemuka dan pemeluk agama lainnya agar tumbuh rasa empati dan saling menghargai.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *