Para  ilmuwan  sejarah  telah bersepakat bahwa  keturunan Arab punya peran  sentral dalam penyebaran Islam di Indonesia. Sejarawan Ahmad  Salabi dalam  Ensiklopedia  Sejarah   Islam,  menuliskan  bahwa   peradaban  Islam  di Afrika dan  Asia, termasuk  Indonesia tidak lepas dari peran  migrasi para  ulama di selatan Jazirah Arab ke wilayah-wilayah tersebut.  Peran  Sadah  (lapisan masyarakat di Hadramaut) dan Asyraf (keturunan Hasan  dan Husein anak  Ali) dalam penyiaran agama  Islam di Indonesia menjadi  fakta sejarah  yang tak bisa terbantahkan. Baik sebelum maupun sesudah  kemerdekaan.

  • Melacak Asal-usul Habaib di Indonesia

Habib, siapakah  dia? Gambaran Habib bagi masyarakat Indonesia barangkali adalah seorang  laki-laki berwajah  Arab, berjanggut,  bersorban, dan mengenakan gamis.  Namun,  di luar soal tampilan,  biasanya   seorang  Habib memiliki  banyak   sekali  jamaah  yang  rutin  menghadiri   kegiatan  keagamaan yang  dilakukan   olehnya.  Namun   siapakah   sebenarnya  Habib   itu?  Sejarah mencatat, keberadaan para  Habib  di Indonesia sudah  berlangsung lama sejak sebelum kemerdekaan.

Pada  tahun  2017,  di  Indonesia diperkirakan   terdapat sebanyak   500 ribu – 1,5 juta jiwa keturunan Alawiyin asal Hadhramaut. Pendataan terhadap kaum  Alawiyin tersebut  pertama kali dilakukan pada  tahun  1932-1940. Dari hasil pendataan tersebut,  tercatat  terdapat 68 marga  atau  kabilah  (kaum  dari satu ayah)  kaum  Alawiyin. Sementara, di luar itu terdapat 239  marga  Arab di Indonesia  yang  tidak  termasuk   keturunan  Alawiyin.  Artinya,  jumlah  marga keturunan Nabi lebih kecil dibanding  marga Arab lainnya.

Di  antara   nama   Habib-habib  di  Indonesia  yang  mempunyai  nama dalam lingkup nasional adalah Habib Ali bin  Abdurrahman Alhabsyi atau lebih populer dengan  nama  Habib Ali Kwitang, Pendiri Majelis Ta’lim Kwitang, Jakarta;    Habib   Ali    Alatas,   mantan  Menteri   Luar   Negeri;   dan    yang belakangan banyak  menghiasi  berita media  nasional, Habib Rizieq Shihab, pendiri  dan   ketua  FPI  (Front  Pembela  Islam).  Selain  nama-nama  tersebut masih banyak  Habib-habib lainnya yang mempunyai pengaruh besar.

“Habib”  yang yang secara tekstual berarti “kekasih” adalah gelar kehormatan yang  ditujukan  kepada para  keturunan Nabi  Muhammad  SAW yang  tinggal  di  daerah Lembah   Hadhramaut,  Yaman;  Asia  Tenggara;   dan Pesisir Swahili, Afrika Timur. Lebih spesifik lagi, definisi “keturunan” ini mesti dari  keturunan Husein,  yakni  putra  Ali bin Abi Thalib dan  Fatimah  Az-Zahra (putri Nabi Muhammad SAW).

Secara pemaknaan, Quraish Shihab  memberikan penjelasan yang lebih detail  mengenai  Habib,  “Habib  itu orang  yang  mengasihi  dan  dikasihi.  Jadi kalau  ‘mengasihi’  dalam bahasa  Arab  itu  artinya ‘muhib’. Kalau ‘yang dikasihi’ itu ‘mahbub’. Kalau   ‘habib’,   bisa berarti subjek bisa berarti objek.  Jadi,  ‘habib’ tidak boleh bertepuk  sebelah tangan,  hanya  mau dicintai  tapi tidak mencintai orang,”  ujar Quraish Shihab  dalam sebuah  wawancara.

Asal  muasal  keberadaan  para  Habib  dapat   dilacak  dari  pendirinya, yaitu  Ahmad  bin  Isa  (wafat  tahun  345  H).  Pria  yang  lebih  dikenal  dengan nama  Al-Imam Ahmad bin Isa atau al-Imam al-Muhajir ini adalah generasi ke-8 dari keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah  Az-Zahra5. Secara  berturut-turut garis keturunannya dapat  dilihat dari diagram berikut ini:

Ahmad  bin Isa diketahui melakukan hijrah dari Basra ke Hadhramaut (Yaman) bersama keluarganya pada     tahun    317    H untuk menghindari Dinasti     Abbasiyah yang sedang berkuasa pada  saat itu. Sebelum ke Yaman,  Ahmad  bin Isa diketahui pernah melakukan   hijrah  dari Makkah  ke  Madinah,   dia  kemudian tinggal  di  dekat  kuburan   buyutnya.  Di Madinah,   beredar   isu  bahwa   para   keturunan  Rasul  akan   mengambil  alih kekuasaan. Isu tersebut  membuat pemerintah yang  berkuasa   saat  itu cemas sehingga banyak  keturunan Nabi yang diburu dan bahkan  dibunuh. Karena hal itu   lah,   akhirnya   Ahmad   bin   Isa   dan   keluarganya   memutuskan   untuk berhijrah.

Sementara,  versi  lain  mengatakan  bahwa   Ahmad   bin   Isa  adalah seorang  yang ‘alim, ‘amil (mengamalkan ilmunya), hidupnya bersih dan  wara’ (pantang bergelimang dalam soal keduniaan). Di Irak beliau  hidup  terhormat dan  disegani,  mempunyai kedudukan terpandang, dan  mempunyai kekayaan cukup  banyak.   Mereka  hijrah  ke  Hadhramaut bukan  karena  dimusuhi  atau dikejar-kejar  oleh  penguasa,  melainkan   karena   lebih  mementingkan keselamatan akidah  keluarga  dan  pengikutnya. Mereka  hijrah  dari  Basrah  ke Hadhramaut mengikuti  contoh  kakek buyutnya, yaitu Muhammad Rasulullah SAW yang hijrah dari Makkah ke Madinah.

Ahmad  bin  Isa  wafat  di  Husaisah,   salah  satu  desa  di  Hadhramaut, pada  tahun  345 Hijriah. Beliau mempunyai dua  orang  putera  yaitu Ubaidillah dan Muhammad. Ubaidillah hijrah bersama ayahnya ke Hadramaut dan mendapat tiga orang  putera  yaitu Alwi (Alawi), Jadid,  dan  Ismail. Pada  akhir abad    ke-6   H   keturunan  Ismail   dan   Jadid    dikatakan    tidak   mempunyai kelanjutan,  sehingga  mereka  punah  dalam sejarah,  sedangkan keturunan Alwi tetap  berlanjut.  Keturunan   dari  Alwi  inilah  yang  kemudian dikenal  dengan kaum   Alawiyin.  Maka,   secara   khusus,   istilah  “Habib”   mengacu  kepada keturunan Alwi bin Ubaidillah (wafat awal abad  ke-5 H).

Ahmad  bin  Isa semasa  hidupya  dikenal sebagai  orang  yang  berilmu tinggi dan  berbudi  tinggi, selain itu, beliau adalah keturunan Nabi Muhammad SAW,  sehingga   banyak   orang  yang  beranggapan  bahwa   beliaulah  pewaris agama   Islam  serta  Ahlul  Bait  yang  sah.  Berdasarkan fakta  tersebut,  maka dalam perkembangannya, wilayah Hadhramaut menjadi  semacam “sekolah” bagi   orang-orang   yang    ingin   menimba   ilmu   agama    Islam,   walaupun sebenarnya di  sana  tidak  ada  institusi formal. Hubungan antara   murid  dan guru  di  sana  lebih  diikat  dalam  bentuk   ikatan  spiritual.  Di  kemudian  hari sekolah Hadhramaut dikenal memiliki aliran tersendiri yang disebut  al-tariqa al- Alawiyya (Tarikat Alawiyin).

Dengan     keberadaan   Tarikat    Alawiyin,   maka    istilah   Habib    di Hadhramaut menjadi  lebih luas, tidak  lagi dibatasi  sebatas  garis  keturunan. Lulusan sekolah Tarikat  Alawiyin yang  ternama pun  dapat  dipanggil sebagai Habib.  Namun,  bagi kalangan Alawiyin di Asia Tenggara,  istilah Habib  masih dibatasi berdasarkan garis keturunan, oleh karena  itu lah muncul varian-varian lain dari gelar yang disematkan kepada para  keturunan Nabi, yaitu Sayyid dan Sharif. Sayyid berarti  keturunan Nabi  Muhammad SAW dari  garis Husein, sementara Sharif adalah keturunan Nabi Muhammad SAW dari garis Hasan.

Mengenai  mengenai  masuknya Islam  ke  Indonesia.  Azyumardi  Azra merangkumnya ke dalam empat  teori,  yaitu Pertama,  Islam dibawa  langsung dari Arabia, yakni pada  masa-masa awal tahun  Hijriah; kedua,  Islam diperkenalkan oleh  para  guru dan  penyair  “profesional”—yakni  mereka  yang memang   khusus   bermaksud  menyebarkan  Islam;   ketiga,   yang   mula-mula masuk  Islam adalah para  penguasa; dan  keempat, kebanyakan para  penyebar Islam  “profesional”  ini  datang   ke  Nusantara  pada   abad   ke-12  dan  ke-13. Mungkin  benar  bahwa  Islam  sudah  diperkenalkan  ke dan  ada  di Nusantara pada  abad-abad pertama Hijriah, tetapi hanyalah setelah abad  ke-12 pengaruh Islam kelihatan lebih nyata. Oleh karena  itu, proses Islamisasi tampaknya mengalami akselarasi antara  abad  ke-12 dan ke-1613.

Dari empat  teori tersebut,  pada  bagian  manakah para  Habib masuk ke Indonesia? Tahap  pertama kedatangan para  Habib  dijelaskan  oleh dua  habib terkemuka,    yaitu   Sayid   Alwi   bin   Thahir   Al-Haddad   (1957)   dan   Sayid Muhammad Naquib Al-Attas (1972 dan 2011),  dan diamini oleh H. Aboebakar Atjeh,  mereka   mengemukakan  bahwa   para   pembawa  Islam  kali  pertama adalah  para   Habib   pedagang  dari  Hadhramaut.  Aceh  merupakan  daerah pertama berlabuhnya para  Habib  tersebut.  Bukti dari  kehadiran para  Habib tersebut dapat  dilacak dari keberadaan kuburan  kaum Hadhrami di Aceh.

Tahap   pertama proses  Islamisasi Nusantara oleh  para  Habib  terjadi pada   abad-abad   pertama  Hijriah.   Mengingat   jauhnya   jarak   dari   tempat turunnya   wahyu   dan   keterbatasan  teknologi  transportasi,  keberhasilannya masih  terbatas  pada  wilayah-wilayah tertentu  yang  amat  terbatas  dan  belum lagi mampu mencapai wilayah-wilayah lain di seluruh penjuru negeri.

Pada  tahapan kedua,  Musa  Kazhim menjelaskan bahwa  para  Habib Alawiyin keturunan ‘Ali  dan  Fâthimah binti Rasulullah SAW tersebut  datang pada  abad  ke-14 M. Pada  periode  ini, dakwah  Islam berkembang sedemikian rupa  sehingga  dapat  tersebar  di  seluruh penjuru  Nusantara, bahkan  di Asia Tenggara.   Perkembangan  tersebut   mencapai  puncaknya  pada   abad   ke-15 hingga abad  ke-17 M.

  • Masuknya Islam di Betawi

Ada  cukup  banyak   versi  tentang   sejarah   masuknya  Islam  di  tanah Betawi. Tidak ada  satu pendapat yang sama tentang  kapan  Islam mulai masuk untuk  mengawali  perkembangannya  di  wilayah  ini.  Pendapat  yang  umum, seperti  yang  dikutip  Abdul  Aziz, Islam  masuk   di  tanah   Betawi  pada   saat Fatahillah (Fadhillah Khan) menyerbu Sunda  Kelapa untuk menghapuskan pendudukan Portugis tepatnya pada  tanggal 22 Juni 1527.

Versi yang  lain datang  dari  budayawan Betawi,  Ridwan  Saidi,  yang menyatakan bahwa  Islam masuk  pertama kali di tanah  Betawi  berawal dari kedatangan Syaikh Hasanuddin yang kemudian dikenal dengan nama  Syaikh Quro,  seorang  ulama yang berasal dari Kamboja pada  tahun  1409.  Dari sinilah fase perkembangan Islam dan  sejarah  keulamaan di tanah  Betawi  terbentuk sebagai berikut:

  • Fase   awal   penyebaran  Islam  di  Betawi  dan   sekitarnya  (1418-1527): Syaikh  Quro,   Kean  Santang,  Pangeran  Syarif  Lubang   Buaya, Pangeran Papak,  Dato Tanjung  Kait, Kumpi Dato Depok,  Dato Tonggara dan Dato Ibrahim Condet,  Dato Biru Rawa Bangke.
  • Fase  lanjutan penyebaran Islam (1522-1650):  Fatahillah (Fadhillah Khan), Dato Wan, Dato Makhtum,  Pangeran Sugiri Kampung Padri, Kong Ja`mirin Kampung Marunda.
  •  Fase  lanjutan kedua penyebaran Islam  (1650-1750): Abdul Muhid bin Tumenggung Tjakra Jaya  dan  keturunannya yang  berbasis  di Masjid Al Manshur  Jembatan Lima, keturunan dari Pangeran Kadilangu,  Demak yang berbasis di Masjid Al-Makmur, Tanah  Abang.
  • Fase  Pertama Perkembangan Islam (1750-sampai  awal  Abad  ke-19):  Habib  Husein  Alaydrus Luar  Batang  dan  Syaikh  Junaid  Al-Betawi, Pekojan.
  • Fase    Kedua    Perkembangan   Islam   dari   Abad    ke-19  sampai sekarang. Dalam  fase  perkembangan dari  Abad  ke-19  inilah kemudian dikenal  seorang   ulama  yang  sangat   berpengaruh,  Mufti  Betawi  yakni Habib  Usman  bin Yahya,  bukan  saja di Jakarta, Indonesia, tetapi  juga di Asia Tenggara.

Menurut  Habib  Ismail bin Yahya bahwa  dalam sebuah  lawatan ulama Pattani,   Thailand   ke  salah  satu   pondok   pesantren  di  Sukabumi,   mereka menemukan karya-karya  Habib Usman bin Yahya dalam bahasa Arab Melayu. Mereka  mngatakan bahwa  di  tempat  mereka  di  Pattani,   karya-karya   Habib Usman  bin  Yahya  masih  diajarkan.   Beliau  memang   ulama  yang  produktif menulis, ada  yang menyebutkan bahwa  karya-karyanya berjumlah 116  buah, ada  pula yang  menyebutkan sebanyak  114  buah.  Habib  Ali  Yahya,  mantan Wapemred Majalah Al-Kisah, menyebutkan kepada saya  bahwa  karya  Habib Usman   bin  Yahya   ada   150-an   buah.   Salah   seorang   ulama  yang   masih menyimpan hampir  semua  karya-karya  Habib  Usman  bin Yahya  adalah KH. Tubagus   Ahmad  Bakri  yang  akrab  dipanggil  Mama  Sempur   Plered  karena tinggal di daerah Sempur,  Plered, Purwakarta.

Seperti banyak  ulama terkenal lainnya, Habib Usman bin Yahya mengkhususkan sebagian  dari  umurnya  untuk  “tapa  jalan”  dengan  merogoh dan  menambang perbendaharaan keilmuan  di belahan dunia  yang  berbeda. Dari Madinah  beliau  pergi ke Dimyat,  Mesir-kampung  halaman ibunya-untuk bertemu  dengan keluarganya. Beliau bermukim di Mesir selama delapan bulan, sekaligus menimba berbagai  disiplin ilmu dari ulama ternama di kota itu. Tak lama kemudian, kakinya  kembali melangkah untuk  membuka daerah-daerah lain   yang   belum   ia   kunjungi   seperti   ke   Tunis,   Maroko,   Aljazair   yang disinggahinya  masing-masing selama limadan tujuh bulan. Beliau sempat mengunjungi beberapa kota, seperti Marakesh  dan  Fezt, tempatnya menyemai ilmu-ilmu  eksoterik  (zahir) dan  esoterik  (batin).  Selain  itu,  Beliau juga  rajin menyambung  kawat   persaudaraan  dengan  jejaring  ulama  di  sana,   salah satunya  dengan Mufti Tunis. Setelah merasa  cukup,  Habib  Usman  bin Yahya berlayar ke  Istanbul, Turki yang  ditinggalinya selama  tiga  bulan. Di ibukota dunia  Islam itu, ia bertemu  dengan mufti dan  Syaikh  al-Islam, dan  menerima sebuah  surat dari Pasya  Madinah  kemudian Beliau pergi ke Palestina, Suriah, dan  Hadramaut. Beliau kembali  ke Batavia  (Jakarta)  melalui  Singapura pada 1279 H/1862  M dan menjadi  Mufti Betawi.

Dari  hasil  penelitian  Ridwan  Saidi  dan  Alwi Shahab, bahwa  Majelis Taklim Habib  Ali Kwitang (Habib  Ali al-Habsyi) yang pertama kali beraktivitas pada  tanggal 20 April 1870  merupakan yang tertua di Betawi.20   Setelah Habib Ali Kwitang wafat, majelisnya  diteruskan  oleh anaknya, Habib  Muhammad al- Habsyi,   dan   kemudian  dilanjutkan   oleh  cucunya   Habib   Abdurrahman  al- Habsyi.  Dari  Majelis Taklim  Habib  Ali  Kwitang  inilah  muncul  ulama-ulama besar  Betawi,  seperti  KH.  Abdullah  Syafi`ie  (pendiri  Perguruan Islam  Asy- Syafi`iiyyah) dan KH. Tohir Rohili (pendiri Perguruan Islam Ath-Thahiriyah).

Keduanya   kemudian  juga  mendirikan   majelis  taklim,  yaitu  Majelis Taklim Asy-Syafi`iyah, di Bali Matraman, Jakarta  Selatan  dan  Majelis Taklim Thahiriyah  di Jalan Kampung  Melayu Besar,  Jakarta  Selatan.  Kedua  majelis taklim  ini  kemudian  berkembang  pesat  sehingga  memiliki  perguruan  Islam, mulai dari tingkat taman  kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Dalam perkembangannya,  kedua   majelis  taklim  tersebut   lebih  menonjol kepesertaannya  dari  kalangan  ibu-ibu  atau   perempuan  dan   dipimpin  oleh anak-anak perempuan mereka.  Umat Islam di DKI Jakarta, terutama kalangan muslimat, tidak asing dengan nama  Dr. H. Tuti Alawiyah AS (penerus  Majelis Taklim Asy-Syafi`iiyah) dan  Dr. Hj.  Suryani  Thahir  (penerus  Majelis Taklim Ath-Thahiriyah/As-Suryaniyah Ath-Thahiriyah).

Dengan    demikian,    majelis   taklim   kitab   di   Jakarta    atau    Betawi merupakan instusi pendidikan yang memiliki fungsi strategis dalam memaksimalkan masjid sebagai  tempat  pendidikan umat.  Hal ini dikarenakan, sebagian   besar   majelis  taklim  dari  dahulu  sampai   sekarang,   khususnya   di Betawi,  menjadikan masjid  sebagai  tempat  aktifitasnya  dan  sangat  berperan penting dalam melahirkan  ulama Betawi yang mumpuni di bidangnya.

Sumber :  Buku 27  HABAIB  BERPENGARUH DI BETAWI: Kajian Karya  Intelektual dan Karya  Sosial Habaib Betawi dari  Abad ke-17 hingga Abad ke-21, Editor:  H. Rakhmad Zailani  Kiki, S.Ag, MM, diterbitkan oleh :  JAKARTA ISLAMIC CENTRE

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *