- Kisah Keteladanan Kyai Minta diakui Santri
KH. Hasan Askari atau lebih kenal dengan Mbah Mangli, seorang ulama besar Pendiri Pondok Pesantren Mangli, Dusun Mangli, Desa Girirejo Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang. Sebuah pesantren yang berada di kaki Gunung Andong diatas ketinggian 1200 meter dpl (diatas permukaan laut) yang berlokasi sekitar 27 km dari Pusat Kota Magelang.
Terlahir dengan nama Muhammad Bahri di Kediri, Jawa Timur. Mbah Mangli dilahirkan pada hari Jumat legi tanggal 17 Agustus 1945 pukul 02.00 malam. Mbah Mangli merupakan putra bungsu dari Kyai Muhammad Ishaq, yang menurut silsilahnya masih keturunan dari Sultan Banten Maulana Hasanuddin (1479-1570) bin Syarif Hidayatullah (1448-1568) atau dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.
Sedangkan dari garis ibu, Mbah Mangli merupakan keturunan dari Kyai Ageng Hasan Besari, Ulama besar Pendiri Pondok Pesantren Tegalsari, Ponorogo. Kyai Ageng Hasan Besari adalah sosok yang lahir dari keturunan Jawa-Arab, dari jalur Ayah (Kiai Raden Nedo Kusumo), beliau merupakan keturunan dari Pendiri Kerajaan Majapahit: Raden Wijaya. Sedangkan dari garis keturunan Ibu (Nyai Anom Besari), nasabnya sampai kepada Rasulullah SAW, melalui garis Sayyidati Fatimah Az-Zahro.
Pesantren Tegalsari dikenal sebagai pesantren yang menjadi kawah candradimuka para tokoh bangsa seperti Sultan Pakubowono II (1711-1749), Raden Mas Ontowiryo atau Raden Mas Mustahar (1785-1855) yang dikenal sebagai Pangeran Diponegoro, Abdul Mannan Dipomenggolo (Kelak Mendirikan Perguruan Islam Tremas Pacitan pada tahun 1830), Pujangga Jawa Raden Ronggowarsito (1802-1873). Keturunan dari Kyai Ageng Hasan Besari kelak mendirikan Pondok Modern Gontor yang berdiri 20 September 1926 bertepatan 12 Rabiul Awwal 1345 atau menjadi tokoh pergerakan nasional seperti Haji Oemar Said Tjokroaminoto (1882-1934), Guru sekaligus Mertua Ir. Soekarno (1901-1970).
Mbah Mangli selain dikenal dengan kealimannnya, juga terkenal dengan karomahnya. Di masa hidupnya, pengajiannya banyak dihadiri ratusan jama’ah. Saat pengajian berlangsung, meski tanpa alat pengeras suara, namun pengajian beliau tetap terdengar meskipun jama’ah tersebut berada di kejauhan. Selain itu beliau juga dikenal sebagai ulama yang mampu membaca isi hati seseorang yang datang kepadanya.
Karomah Mbah Mangli lainnya adalah ilmu melipat bumi, yakni di waktu bersamaan beliau bisa berada di beberapa tempat dalam waktu yang sama. Mbah Mangli mampu mengisi pengajian di beberapa tempat sekaligus dalam waktu bersamaan. Suatu ketika beliau bisa mengisi pengajian di Mangli, namun pada saat bersamaan juga mengaji di Semarang, Wonosobo, Jakarta dan bahkan Sumatera. Meski begitu beliau termasuk ulama yang wira’i, karena selalu menolak amplop pemberian jama’ah. Semua dakwahnya dilakukan dengan penuh keikhlasan tanpa pamrih.
Dalam sebuah kesempatan Mbah Mangli pernah berkata demikian”Jika separuh dari jama’ah yang hadir tadi mau dan berkenan menjalankan apa yang saya sampaikan tadi, itu jauh lebih bernilai dari apapun, jadi mohon jangan dinilai dakwah saya ini dengan uang, kalau tuan mau antar saya pulang saya terima, kalau kesulitan ya gak papa”
Mbah Mangli dikenal sebagai ulama yang cukup dekat dengan para habaib (keturunan Rasulullah SAW. Semasa hidupnya beliau sering hadir dalam majelis ta’lim Habib Anis bin Alwi Al-Habsy (1928-2006) cucu Habib Ali bin Muhammad Al-Habsy, Pengarang Kitab Maulid Simtut Duror). Banyak kalangan menilai bahwa beliau adalah pengawal Thariqah Alawiyah. Terbukti saat kami silaturrahmi ke KH. Munir putra mantu Mbah Hasan Askari beliau mengijazahkan Kitab Al-Istighosah Ar-Ratibiyyah.
Dalam kitab setebal 40 halaman tersebut memuat Ratib al-Haddad karya Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad (1634-1720), Ratib al-Atthas yang disusun oleh Habib Umar bin Abdurahman Al-Atthas (1572-1652) dan Wird as-Sakran karangan Habib Ali bin Abi Bakar As-Saqqaf (1415-1490) Dalam muqoddimahnya Mbah Mangli menuliskan kalimat berikut
اَلإِسْتِقَامَةُ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ كَرَامَةٍ
(Istiqomah itu lebih baik dari pada seribu karomah)”
Penggawean amal ibadah kang ajeg iku luwih utomo senajan sitik ditimbang sewu piro-piro karomah lan kehebatan”(Aktivitas dan amal ibadah yang dilakukan secara kontinu itu lebih utama meski sedikit daripada seribu keutamaan dan kehebatan)
Beliau juga dikenal sebagai ulama yang sangat sulit di foto. Mungkin hanya saat bersama Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani (1994-2004) Mbah Mangli dapat difoto dengan jelas setelah dirangkul oleh ulama besar dari Makkah al-Mukarramah tersebut. Itupun dengan kamera milik Sayyid Muhammad yang sempat bermukim di Indonesia ini. Sampai sekarang pun, jika kita berziarah ke makam Kyai yang wafat pada akhir tahun 2007, maka akan terdapat larangan mengambil foto dan video di areal pesantren Mbah Mangli dan makamnya .
Di masa mudanya, Mbah Mangli pernah belajar ke beberapa ulama’. Salah satunya adalah kepada KH. Arwani Amin (1905-1994), Pendiri Pondok Pesantren Yanbu’ul Qur’an, Kejaksan, Kudus dan Mursyid Thariqah Naqsabandiyah Kholidiyah. KH. Arwani Amin adalah murid dari ulama-ulama terkemuka seperti Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari (1871-1947) KH. Munawwir Krapyak Jogjakarta (1870-1942), KH. Idris Jamsaren Surakarta,(1801-1923) KH. Asnawi Kudus (1861-1959), KH. Abu Su’ud Jimus Klaten, dan lain-lain.
Dikisahkan oleh KH. Noor Hadi, santri Kyai Arwani yang menjabat Ketua PWNU Bali sejak tahun 1980 sampai sekarang. Saat penulis bersilaturrahmi ke kediamannya di kompleks Pondok Pesantren Roudlotul Huffadz, Kediri Tabanan, Bali, ulama yang tahun ini genap berusia 70 tahun mengisahkan tentang sosok seniornya tersebut. Kyai asli Demak ini berkisah bahwa suatu ketika Mbah Mangli berangkat ke Kudus untuk sowan kepada gurunya yakni, Kyai Arwani.
Sesampainya di Kudus, Mbah Mangli segera menuju Kompleks Pondok Pesantren Yanbu’ul Qur’an, Kudus yang berada tak jauh Masjid Al-Aqsha yang terkenal dengan Masjid Menara Kudus. Ketika sampai di depan Ndalem Kyai Arwani, Mbah Mangli tiba-tiba bersimpuh sambil berjalan perlahan-lahan atau “ngesot” dalam bahasa jawa.
Singkat cerita Kyai Arwani pun menghampirinya. Selanjutnya, Mbah Mangli mulai mengutarakan maksud kedatangannya, yang selanjutnya dijawab oleh Kyai Arwani dengan bahasa jawa kromo inggil sebagai ciri khas beliau dalam berbicara termasuk dalam menerima tamu siapapun termasuk kepada santrinya. (kami tuliskan dalam dialog imajiner)
“Sinten njenengan?” (Siapa anda?)Tanya Kyai Arwani
“Ngapunten Mbah Yai, Dalem Hasan saking Magelang?” Jawab Mbah Mangli
“Wonten hajat nopo jenengan rawuh mriki”? (Ada perlu apa kesini)” Tanya Kyai Arwani
“Dalem kajenge nyuwun tulung panjengan akui dados santri panjenengan?” (Saya ingin minta tolong diakui sebagai santri anda)” Jawab Arwani
“Ngapunten geh, jenengan nopo nate ngaos dateng mriki?” (Maaf, anda pernah ngaji disini ya?) “Tanya Kyai Arwani
“Nggeh Yai, dalem rumiyen nate ngaos mriki. Ngapunten, Niki buktinipun, menawi dalem nate ngaos ten panjenengan (Iya Kyai, saya pernah belajar disini. Mohon maaf, ini bukti jika saya pernah mengaji kepada anda) [sambil menunjukkan bekas sabetan Kyai Arwani yang masih membekas di punggungnya] ” Pungkas Mbah Mangli.
Maka ketika Mbah Arwani melihat bukti tersebut, maka teringatlah beliau pada sosok di depannya tersebut adalah benar-benar muridnya. Maka bersyukurlah beliau pada sosok santrinya yang kini telah menjadi ulama besar yang telah sukses mendirikan pesantren, mengasuh pengajian di berbagai tempat dan menjadi Mursyid Thariqah Qodiriyyah wan Naqsabandiyah ini. Maka Kyai Arwani pun mengakui bahwa Mbah Mangli adalah santrinya.
Jawaban tersebut disambut oleh Mbah Mangli dengan penuh suka cita. Mendengar jawaban yang dinanti-nanti selama ini langsung dari guru mulianya tersebut, terbayang betapa bersyukurnya beliau telah resmi diakui sebagai santrinya Kyai Arwani yang juga dikenal penulis Kitab Faidh Barokat fi Sab’i al-Qiro’at yang telah dikenal sampai di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir ini.
Sungguh menyimak kisah diatas, mengingatkan kita pada sosok Mbah Manab (1856-1954) atau KH. Abdul Karim yang juga berasal dari Magelang ini (beliau dilahirkan di Dusun Banar, Desa Deyangan, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang). Dalam salah satu pengajian yang diasuhnya, Pendiri Pondok Pesantren Lirboyo ini pernah berkata,”Dungaaken kulo saget dipun akoni dados santrine Mbah Kholil nggeh?” (Mohon doanya. saya bisa diakui sebagai santrinya Syaikhona Kholil [1820-1925], Bangkalan ya).
Terinspirasi kisah diatas, semoga kita semua selamanya tetap menjadi santri yang manut kyai. Besar harapan kita, semoga juga diakui oleh guru-guru kita sebagai santrinya di dunia hatta akhirat. Pengakuan sebagai santri tak mudah diberikan oleh seorang kyai, karena menjadi santri bukan semata mereka yang ikut mengaji atau tinggal di bilik asrama pesantren, tetapi santri harus berusaha untuk memiliki kedalaman spiritual, keagungan akhlak, keluasan ilmu dan kematangan profesional sebagaimana filosofi yang telah digariskan oleh Almaghfurlahu KH. Hasani Nawawi (1925-2001), Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan.
السنتري
بشاهد حاله هو من يعتصم بحبل الله المتين ويتبع سنة الرسول الامين صلى الله عليه وسلم ولا يميل يمنة ولا يسرة في كل وقت حين، هذا معناه بالسيرة والحقيقة لا يبدل ولا يغير قديما وحديثا والله اعلم بالنفس الامر والحقيقة الحال( سيداغيري, ٢٤ ذوالقعدة ١٤١٠ ھ )
SANTRI”Berdasarkan peninjauan tindak langkahnya adalah seorang yang berpegang teguh pada al-Qur’an, mengikuti sunnah Rasulullah SAW dan teguh pendirian setiap saat. Ini adalah arti Santri dengan bersandar sejarah dan kenyataan yang tak dapat diganti dan diubah selama-lamanya. Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui atas kebenaran sesuatu dan kenyataannya (Sidogiri, 24 Dzulqo’dah 1410 H)
Magelang, 18 Maret 2020
No responses yet