Orang-orang yang menyimpan kebencian pada islam ketika melihat kitab Shahih Al-Bukhari yang menempati posisi yang luar biasa, yaitu kitab terautentik yang pernah ditulis oleh manusia, mungkin akan bertanya-tanya, apakah Imam Al-Bukhari tidak pernah berbuat kesalahan (ma’shum) sehingga kitab Shahihnya dianggap sebagai kitab terautentik yang pernah ditulis oleh manusia? Bukankah hal yang mungkin bahwa apa yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya memiliki kemungkinan salah?.
Syubhat ini akan muncul pada sebagian pikiran manusia yang berpikiran tidak baik, atau karena memang dia belum pernah belajar bagaimana caranya berpikir yang baik.
Pertama, perlu diketahui bahwa belum ada satupun orang yang mengatakan bahwa Imam Al-Bukhari atau siapapun yang meriwayatkan hadits tidak pernah salah (ma’shum), bahkan sahabat sekalipun, karena akidah Ahlussunnah meyakini bahwa yang ma’shum hanya para nabi. Karena itu, bisa saja Imam Al-Bukhari melakukan kesalahan, dan bisa saja beliau tergelincir melakukan maksiat, karena sekali lagi, beliau tidaklah ma’shum.
“Oh, kalau begitu, bisa jadi Imam Al-Bukhari salah dalam meletakkan hadits dalam Shahihnya, bisa jadi apa yang diletakkan bukanlah hadits?.”
Jawabanya, tentu tidak. Kok bisa? Imam Al-Bukhari tidak meletakkan dalam kitab Shahihnya, melainkan hanya hadits-hadits yang Shahih. Ini bukan berarti beliau tidak pernah salah dan tergelincir. Shahih Al-Bukhari sendiri mendapatkan tempat yang mulia bukan karena Imam Al-Bukhari yang mengumpulkan hadits, tapi karena para ulama sepakat untuk menerima keberadaan Shahih Al-Bukhari sekaligus mengakui apa yang dikumpulkan oleh Imam Al-Bukhari adalah hadits yang Shahih. Dan tidaklah mungkin ulama sepakat dalam sebuah kesalahan dalam 12 abad lama.
Maka bisa digarisbawahi, bahwa Shahih Al-Bukhari memperoleh posisi ini karena kesepakatan para ulama atas keabsahannya. Bukan karena Imam Al-Bukharinya, meskipun Imam Al-Bukhari juga sangat layak disebut sebagai salah satu sebab Shahih Al-Bukhari bisa sampai ke posisi tersebut.
Contoh sederhananya seperti ini: jika ada seorang kandidat doktoral yang telah usai menyelesaikan disertasi pada bidang tertentu. Kemudian diadakan sidang untuk mempertanggungjawabkan sekaligus mempertahankan apa yang dia tulis. Setelah usai sidang tersebut, dosen penguji memberikan hasil bahwa disertasi tersebut sempurna dan hanya terjadi sedikit kesalahan, dan ia mendapatkan nilai cumlaude. Tiba-tiba datang maba yang masih ingusan dan menuduh disertasi itu buruk dan penuh dengan kesalahan. Apakah dia hanya menghina kandidat tersebut dan disertasinya? Atau dia telah menghina para dosen yang menilai di sidang tersebut? Tentu, ia telah menghina semua dosen yang menilai.
Inilah sebenernya yang dilakukan oleh seseorang jika mencaci atau mencari cela pada Shahih Al-Bukhari. Dia tidak hanya mencela Al-Bukhari saja, tapi ia mencela kesepakatan Ulama atas kitab tersebut. Seakan-akan dia berkata bahwa para ulama telah tersesat selama 12 abad dengan mengakui keautentikan Shahih Al-Bukhari.
Kita tegaskan kembali, bahwa Imam Al-Bukhari tidaklah ma’shum. Hanya saja beliau tidak mungkin meletakkan hadits-hadits yang tidak Shahih pada kitab Shahihnya, karena beberapa sebab, diantaranya: kesepakatan ulama atas keshahihan hadits-hadits tersebut, dan mustahil Ulama sepakat pada sebuah kesalahan.
Kemudian, Imam Al-Bukhari tidak menuliskan hadits dengan pendapatnya sendiri tanpa menuliskan sumber, melainkan beliau menyebutkan sanad hadits tersebut dari gurunya, hingga tersambung dengan Rasulullah, barulah beliau menyebutkan teks haditsnya. Tentu dengan syarat yang sangat ketat hingga hadits yang beliau dengar dapat tertulis dalam kitab Shahihnya.
Selanjutnya, para ulama yang menerima Shahih Al-Bukhari ini, tidak menerimanya mentah-mentah tanpa mengkaji ulang. Tapi mereka teliti, mereka kaji dengan sangat telaten. Mereka sesuaikan kitab tersebut dengan kaidah keilmuan, dan mereka menemukan bahwa kitab tersebut sangatlah indah, para ulama tersebut kagum dan takjub dengan apa yang dikumpulkan oleh Imam Al-Bukhari. Hati mereka terpesona dengan pemilihan hadits, penamaan serta peletakan bab, akhirnya para ulama tersebut mengakui atas hasil dari jerih payah Imam Al-Bukhari tersebut.
Lalu, bagaimana dengan segelintir ulama yang mengkritik bahwa dalam Shahih Al-Bukhari terdapat beberapa hadits ma’lul (cacat)? Hal ini sudah dibantah oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani bahwa Imam Al-Bukhari lebih faham tentang hadits ma’lul dari pada yang mengkritik. Jika ada orang yang menyatakan bahwa dalam Shahih Al-Bukhari terdapat hadis-hadis ma’lul, kritik ini yang justru dipertanyakan?!
Terakhir, Imam Al-Bukhari tidaklah sendiri dalam meriwayatkan hadits yang ada pada Shahihnya, ada ulama-ulama besar lain yang meriwayatkan hadits tersebut, yang seandainya hadits tersebut terhapus dari Shahih Al-Bukhari, maka insya Allah hadits tersebut akan tetap ada dalam perlindungan Allah.
~~
Fahrizal Fadhil.
Senin 30 Agustus 2021.
Madinah Al-Bu’uts Al-Islamiyyah, Kairo.
No responses yet