Oleh: Iwan Firmansyah
Fakultas Ushuluddin Jurusan Ilmu Hadis
Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung
Penulis
Nama: Iwan Firmansyah
Fakultas Ushuluddin Adab Dan dakwah Jurusan Ilmu Hadis
Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung
Profil KH. Djamaluddin Ahcmad
Pembicaraan tentang santri tentunya menjurus pada pendidikan pondok pesantren yang diasuh oleh segenap para kyai dengan metode pembelajaran berbasis islami. Dimana biasanya kegiatannya dimulai jam 3 pagi sampai jam 11 malam. Santri juga identik dengan mengantri, mulai dari makan sampai kamar mandi yang bergantian. Ada juga yang mengatakan bahwa santri itu harus berbagi, berbagi tempat ridur, berbagi makan, bahkan berbagi ilmu atau dengan diskusi yang diterapkan di pesantren, seperti batsul masail, dan lain sebagainya. Lantas bagaimana hakikat santri yang sebenarnya? Apakah mereka pantas dianggap orang yang lebih berilmu dari orang yang berpendidikan secara umum? Atau mereka adalah golongan yang lebih mumpuni dalam menerapkan ilmu agama? Berikut penjelasannya.
Perspektif zaman sekarang mendefinisikan bahwa santri itu orang yang paham agama, tidak mungkin berbuat maksiat kepada sasama dan lebih terjaga. Maka, ketika santri mendengar hal yang semacam pujian seperti ini bukan berarti dirinya lebih berilmu dan lebih mulia dari mereka. Dijelaskan dalam Al-Qur’an surah Al-Isra ayat 85, yang berbunyi:
وما أوتيتم من العلم إلا قليلا (الإسراء : ٨٥)
“Kamu hanya diberi sedikit ilmu” (Qs. al-Isra’: 85).
ilmu itu sifatnya luas, tidak terbatas. Pepatah mengatakan bahwa diatas langit masih ada langit. Begitupu dengan ilmu. Diatas kita yang santri masih ada orang yang lebih santri, dalam artian lebih salaf dengan segudang ilmunya. Ayat tersebut menganjurkan kita untu tidak sombong, dan merasa ujub (bangga terhadap diri). Maka dari itu, selayaknya santri tidak merasa puas dengan hasil malah lebih baik jika dirinya merasa haus dan kering ilmu. Untuk itu, para ulama berdo’a dengan ayat yang terkandung dalam Al-Qur’an surah Thaha ayat 114:
وقل رب زدني علما (طه : ١١٤)
“Katakanlah! Wahai Tuhanku tambahkan ilmu kepadaku”. (Qs. Thaha: 114),
Sebaai seorang santri yang hakiki, patut sekali mengambil ibrah dari kisah Nabi Musa ‘alaihi al-salam yang ketika ditanya tentang mansia yang paling pandai.
أي الناس أعلم؟
“Siapa manusia yang paling pandai?”
Nabi Musa menjawab,
. أنا أعلم
“Saya adalah orang yang paling berilmu”.
Jawabannya ini dicela oleh Allah yang kemudian menunjukkan bahwa Nabi al-Khadir lebih berilmu dibandingkan dirinya. Sedangkan ilmu kedua nabi tersebut tidaklah sebanding sama sekali dengan ilmunya Allah, yang tentulah amat sedikit bagai setetes air di ujung paruh seekor burung kecil yang dibandingkan dengan air seluas samudera. Bacalah kisah menarik tersebut yang termaktub al-Qur’an Surat al-Kahfi! Kisah ini juga dituturkan dalam hadits yang diriwatkan oleh al-Imam al-Bukhari dan Muslim dari Ubay bin Ka’ab (Lihat: al-Targhib wa al-Tarhib, Juz 1 halaman 58). Iman seorang yang berilmu (al-‘alim) terhadap hakikat di atas akan senantiasa mengarahkannya untuk selalu tekun membaca dengan cermat, menelaah, meneliti, dan terus belajar, atau meraih manfaat ilmu (al-istifadah). Seorang yang berilmu akan terus menerus menjadi seorang santri, pelajar, hingga ia akhir hayatnya.
Untuk bisa meraih manfaat ilmu (al-istifadah) santri harus punya pegangan yakni:
- Ahlu Muruah : harga diri, yang dimaksud kanjeng nabi harga diri itu ada 4 yang harus dipenuhi yakni
- Akhlakul karimah
- Al-saqo’u: menurut kamus artinya dermawan, akan tetapi yang dimaksud kanjeng nabi saqo’u itu dada-nya tidak terbiasa cendrung(kencantolan) perkara dunia, tutur guru saya “masio duwe duwet utowo ora” atine biasa.
- At-tawadhu’: Biasanya makna pesantren dimaknai “depe-depe”, akan tetapi yang dimaksud disini tutur guru saya “ojo pisan-pisan rumongso apik karo sopo wae” iki tawadhu’ temenan.
- Al- muwathobah: makna e “Nuli-Nuli” (mengerjakan semestinya). santri kalau melakukan apapun, jangan pernah putus asa, sebenarnya(tegese) gagal dicoba lagi,gagal lagi dicoba lagi.
Syarat pertama yakni santri harus mempunyai Akhlakhul karimah, Orang yang mempunyai akhlakhul karimah ini murni pemberian dari allah swt, dengan 3 usaha:
- Terus-terusan belajar nyampurnakno (menyempurnakan) diri sendiri menjadi “Shahih al birlah”(wadah yang baik), pikiran yang baik,hati yang baik, kalua hati dan pikiran atupun wadah kita tidak baik tutur guru penulis KH. Djamalludin achmad“ masio dungo sampek legrek lek wadah e gak apik sopo seng gelem ngewehi,lek gak didandani, dikuseki sek wadah e gek diwehi apik. (Ketika kita berdoa dan meminta akhlak yang baik sama allah,kalau wadah kita belum dibersihkan, belum diperbaiki, diresiki, siapa yang mau ngasih, sebelum diperbaiki dahulu wadahnya(hatinya, pikirannya).)
- Qowiyal I’troqi: Menguatkan nalar. Makudnya adalah seorang santri dituntut untuk mencari guru yang istimewa. Dalam artian, istimewa itu ulama yang dipercaya sama allah swt. (Dalam kitab ta’lim muta’alim imam al zarnuzi memberikan cara memilih guru atau kiai carilah yang alim, yang bersifat wara’, dan yang lebih tua. Sebagaimana Abu Hanifah memilih kiai Hammad bin Abi Sulaiman, karena beliau (Hammad) mempunyai kriteria atau sifat-sifat tersebut. Maka Abu Hanifah mengaji ilmu kepadanya. )
- Sebagai santri kita harus menata keseluruhan supaya mempunyai Dzakiyal Qolbi. Hal ini bermaksut untuk tidak diperintahkan harus bersih hatinya, akan tetapi hatinya terbiasa lumpuh sama hati orang yang bersih,ketika melihat ulama hati menjadi ingat kepada allah swt .
Maka, dapat disimpulkan bahwa santri itu
- Harus dicarikan rezeki yang baik
- Harus dicarikan guru yang baik
- Harus dicarikan pergaulan yang baik
- Ahli izzah : Tujuan kemulyaan, tujuan ini bisa didapatkan karena 2 hal yakni karena ilmu dan adab yang baik
- Ahli iffah : ahli iffah ini bisa diraih dengan pendisikan jiwa(tarbiyatul al-nafs), melalui amal-amal soleh yang dikerjakan dan mempunyai sifat mulia(sabra,qonaah,jujur,santun dan akhlak terpuji.
- Ahli kamal : kalau dalam kamus bahasa arab maknanya sempurna, akan tetapi yamg dimaksud ahli kamal disini orang yang menjadi santri harus bisa melakukan apupun dan tidak pernah setengah-setengan mengerjakannya(totalitas).
Dari Nasihat-nasihat diatas, kurekam dalam kepala dan kucatat. kemudian kusarikan dalam tulisan ini dengan caraku sendiri, yang jelas tak persis seluruhnya. Kuambil yang ingat-ingat saja,denganada beberapa naseihat yang pernah disampaikan oleh KH. Djamaluddin Ahmad Jombang dalam majlis Hikam, dengan beberapa nasehat Meski hanya sebentar, nasehat Kiai Sepuh itu begitu bermakna, dan mengingatkan kembali nilai-nilai islami dan kesantrian.terimakasih.
No responses yet