Ada banyak bentuk hubungan agama dan politik dalam sejarah dan zaman kontemporer.
Pertama, Agama formal dan bentuk Negara formal, menyatu. Namanya bisa teokrasi, atau agama tertentu menjadi undang-undang negara.
Kedua, Pemisahan Agama formal dan Politik secara formal. Tidak ada agama resmi dalam undang-undang negara. Biasanya disebut Negara sekuler.
Ketiga, Agama berperan aktif dalam kehidupan sosial dan publik tapi tidak dalam sistem Negara dan undang-undang negara. Model ini bisa disebut Agama Publik.
Keempat, Nilai-nilai agama berperan dan menjiwai undang-undang Negara dan dalam kehidupan publik, tanpa harus identitas agama. Politik identitas agama bisa saja ada sejauh mementingkan nilai-nilai bersama seperti keadilan dan kesejahteraan. Ini bisa disebut Agama substantif dan Politik nilai.
Mempelajari model-model di atas, model idealnya, bagi Indonesia, saya kira adalah yang keempat, yg menguntungkan bagi kehidupan agama dan kehidupan politik yang lebih konstruktif. Resiko gesekan dan konflik permusuhan juga lebih kecil. Fanatisme kepartaian juga minimal karena lebih fokus pada nilai-nilai bukan personal dan label. Tapi tentu saja sikap dan karakter para pemain di dalamnya juga sangat penting.
Pada dasarnya politik itu mulia, karena tanpa politik akan terjadi kevakuman kepemimpinan. Agama pun mulia dan menjadi aset berharga dalam masyarakat beragama. Jika sisi mulia politik dan sisi mulia agama menyatu, maka itu baik utk semua.
Kenyataannya, politik melibatkan emosi individu dan psikologi massa, begitu pula agama, melibatkan rasa dan keyakinan yg dalam, sehingga jika kedua sumber rasa ini menyatu secara berlebihan, maka hal-hal prinsip dan nilai bersama menjadi terabaikan.
Politik sering tidak lepas dari agama, dulu dan sekarang, diakui atau tidak, di timur tapi juga di barat. Wujud dan tingkatan hubungannya beda-beda dan berubah. Saya mengajar dan menulis soal hubungan kompleks ini. Dan banyak sekali kajian soal ini.
Namun ada pola yang sama. Politik kekuasaan mengejar kekuasaan untuk memengaruhi berbagai kebijakan warga yang sangat majemuk agamanya. Para aktor yang menggunakan identitas agama memiliki keyakinan agamanya sebagai lebih atau paling baik dan merasa memiliki mandat mengatur umat seagama dan berbagai agama warga. Ada politisi beragama yang mengedepankan nilai-nilai moral yang bersumber dari agamanya. Pada dasarnya setiap agama mengajarkan kebaikan dan keadilan.
Namun demikian, agama sering tidak mampu menjawab persoalan nyata masyarakat yang majemuk. Agama juga tidak selalu efektif mencegah politisi dari korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan pada saat-saat kampanye, agama lebih sering muncul dalam bentuk penguatan identitas komunal agama, bukan nilai-nilai keadilan, keamanan dan kesejahteraan, yang memang disepakati siapapun selain mereka. Gerakan populisme politik juga mengambil agama sebagai sumber efektif memobilisasi massa.
Masyarakat pemilih yang memenangkan politisi lebih karena identitas agama cenderung kurang atau tidak kritis terhadap politisi pilihan mereka, dan cenderung membela apapun kebijakan politisi itu demi harga diri agama dan kelompok. Meskipun kebijakan itu lemah, salah, atau diskriminatif.
Alhasil, identitas dan supremasi agama sendiri itulah yang lebih kuat ke retorika dan perjalanan kebijakan, apalagi dihadapkan pada kompetisi para penganut agama lain yang juga menggunakan agama dan rasa terancam oleh para politisi lain yang dianggap sekuler yang berusaha memisahkan agama dan politik.
Di era modern ini, pola itu ada di Negara Israel, Amerika, Saudi Arabia, Iran, Pakistan, Malaysia, dan dalam banyak kasus juga Indonesia. Bentuk dan dinamikanya berbeda-beda, tapi supremasi agama, meskipun sering pada level retorika, di ruang publik, cenderung memecah belah dan mengurangi kohesi sosial warga negara yang majemuk.
Di pihak lain, bagi warga dan politisi yang beragama, mereka hanya memiliki rujuan teks dan sejarah agama mereka dalam berpolitik. Bahasa politik mereka sulit lepas dari bahasa agama. Sekulerisme dalam arti anti-agama di ruang publik juga bukan jawaban di masyarakat agama moderen.
Mumpung sekarang sedang adem ayem, ada baiknya para politisi dan kita semua memikirkan ulang hubungan agama dan politik yang lebih konstruktif bagi umat beragama dan seluas-luasnya warga negara apapun agama dan keyakinan pribadi dan kelompok mereka.
Singkatnya: bagaimanakah kita hidup sesuai dengan agama kita dan bisa hidup berdampingan dan bekerjasama dengan siapapun demi kemaslahatan sebesar-besarnya manusia dan lingkungan.
Bagaimana pendapat dan pengalaman Anda?
No responses yet