Kontributor : Afip Miftahul Basar, tinggal di Karawang

Mengawali pembicaraan tentang Ilmu Pengetahuan dalam Islam, ada baiknya dilmulai dari peristiwa yang menandai lahirnya ilmu pengetahuan modern, yakni Revolusi Ilmiah pada abad ke-17 di Eropa Barat yang menjadi “embrio” munculnya ilmu pengetahuan modern sebagai sistem pengetahuan “universal”.

Ada beberapa hipotesis yang bisa diambil untuk memahami peristiwa Revolusi Ilmiah di Eropa. Pertama, Revolusi Ilmiah selalu dikaitkan dengan proses sekularisasi atau tercabutnya kekuaasaan agama dalam sistem sosial politik yang memungkinkan lepas dari kungkungan istitusi agama. Agama sebagai institusi yang sangat dominan dan hegemoni di Eropa kala itu mengalami perubahan radikal dalam posisinya sebagai pemegang otoritas penuh segala bentuk kebenaran.

Kedua, lepasnya ilmu pengetahuan dari otoritas agama tidak menjadikan ilmu pengetahuan berdiri sendiri. Dari catatan-catatan sejarah tentang Revolusi Ilmiah ini kita bisa memahami bahwa perkembangan ilmu pengetahuan modern di Eropa tidak lepas dari berbagai bentuk kepentingan ekonomi dan politik. Bahkan, seperti yang dikatakan ilmuwan barat, ilmu pengetahuan modern telah menjadi kendaraan untuk memenuhi ambisi-ambisi nasionalisme bangsa Eropa ketika melakukan penjajahan terhadap bangsa-bangsa lain. Sehingga dengan sekulariasi pengetahuan di Barat berpengaruh besar terhadap sistem pendidikannya yang terlalu menekankan rasionalitan dan menurunkan nilai-nilai ruhani ( Husain & Ashraf, 1989).

Sekarang mari kita menengok ke sejarah yang lebih awal tentang peradaban Islam dan sistem pengetahuan yang dibangunnya. Ada hal yang harus dicatat sebagai kontribusi signifikan peradaban Islam dalam ilmu pengetahuan, yaitu merujuk pada empat institusi penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan yang pertama kali muncul dalam peradaban Islam, yaitu rumah sakit, perpustakaan umum, skolah tinggi, dan laboratorium ilmu pengetahuan. Semua kemajuan dicapai ini dimungkinkan oleh dukungan dari penguasa pada waktu itu dalam bentuk pendanaan dan penghargaan terhada tradisi ilmiah.

Lalu mengapa ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam tidak berhasil mempertahankannya dan justru mengalami kemunduran? Salah satunya adalah adanya ketimpangan posisi antara pengetahuan agama dan pengetahuan duniawi di mana pengetahuan agama menempati posisi sosial politik yang lebih baik, sementara status pengetahuan duniawi berada pada status pelengkap.

Keinginan atau obsesi akan bangkitnya kembali peradaban Islam secara jujur lahir dari bentuk romantisme terhadap sejarah masa lampau (Rahardjo, 2012). Walau begitu, keinginan itu tentunya sesuatu yang wajar. Bahkan menjadi kewajiban setiap muslim untuk dapat membangun suatu peradaban yang berlandaskan nilai-nilai Islam. Karena itu, catatan sejarah di atas akan membuat kita lebih bijak dalam melihat ke arah mana kita akan menuju. Bangkitnya peradaban Islam akan sangat tergantung pada keberhasilan dalam bidang ilmu pengetahuan melalui prestasi institusional yang memungkinkan nilai-nilai Islam terserap secara seimbang ke dalam sistem pengetahuan yang dibangun tanpa harus menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat legitimasi agama. Ini sejalan dengan gagasan islamisasi pengetahuan yang pernah dilontarkan oleh Islmail Raji Al-Faruqi.

Proyek islamisasi pengetahuan yang sarat dengan nilai akan sangat sulit tercapai karena bertentangan dengan dogma ilmu pengetahuan modern yang mengklaim dirinya sebagai “bebas” nilai, sehingga bersifat netral dan universal. Netralitas justru akan menjadi tempat perlindungan bagi ilmu pengetahuan modern dari kritik terhadap berbagai permasalahan sosial yang diproduksinya. Sementara universalitas tidak lebih dari sekedar alat hegemoni ilmu pengetahuan modern terhadap sistem pengetahuan yang lain.

Studi sosial dan kultural terhadap ilmu pengetahuan moden yang dilakukan beberapa sarjana memberi cukup bukti bahwa ilmu pengetahuan yang dihasilkannya selalu bersifat kultural, terkonstruksi secar sosial, dan tidak pernah lepas dari kepentingan ekonomi dan politik. Inilah tantangan terbesar bagi ilmuwan muslim dalam upaya membangun sistem pengetahuan yang islami.

Kenyataan tersebut di atas menimbulkan kekhawatiran dari banyak ilmuwan muslim. Menurut mereka, ada alasan dasar yang bisa diajukan tentang integrasi dan islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu dasar historis. Secara hsitoris, pertumbuhan ilmu-ilmu agama Islam sudah berkembang sejak zaman Khulafa al-Rasyidin dan awal pemerintahan Bani Umayyah. Kemudian pada masa Bani Abbasiyyah ilmu pengetahuan dikembangkan secara lebih luas lagi. Pada masa ini umat Islam mengalami kegemilangan dalam bidang ilmu pengetahuan pada saat Barat mengalami kemunduran yang disebut juga dengan ‘Zaman Pertengahan Yang Gelap.” (Hasan Langgulung, 1988)

Maka pada akhirnya ilmu pengetahuan dalam Islam merupakan hal yang tidak boleh dipisah-pisahkan, dalam arti satu sama lain saling menguatkan. Karena Islam sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan menjadi landasan dalam beramal.  Begitu juga dengan ilmu pengetahuan akan memperkuat nilai-nilai keislaman yang dibangun.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *