Pada hari Kamis yang lalu, 9 April 2020 M/ 15 Sya’ban 1441 H, pukul 14.45 WIB, saya menulis postingan di Facebook terkait 2 karya ulama Jakarta yang berbicara tentang perdebatan posisi kepala jenazah laki-laki diarahkan kemana ketika disalatkan. Kedua karya tersebut berjudul 1) Busyra al-Muttaqi fi Wadh’ Ra’s al-Mayyit Yamin al-Mushalli karya Habib Abdul Rahman bin Ahmad bin Abdul Qadir bin Ali bin Umar al-Saqqaf dan 2) Al-Bayan al-Syafi Li Irsyad al-Qalb al-Shafi karya KH. Muhammad Saleh Zawawi, murid KH. Muhammad Syafi’i Hazdami yang dikirim oleh Ustadz Zulfikar asal Jakarta. Saya juga diberitahu bahwa kedua penulis di atas merupakan guru Ustadz Dr. Fajar Syarif yang juga berasal dari Jakarta. Beliau ini merupakan pakar tentang Sayyid Usman Betawi.
Oleh karena ada permintaan dari 2 ustadz; Khairuzzaman dan Sulaiman Muhammad agar diberi sedikit penjelasan dan ringkasan atas 2 karya di atas yang semula saya tidak berani memenuhinya. Sebab, persoalan ini merupakan permasalahan sensitif karena mempersoalkan pelaksanaan salat jenazah yang sudah ada di tengah masyarakat. Oleh sebab itu saya meminta izin kepada Ustadz Fajar Syarif agar menulis sedikit ringkasan karya kedua gurunya tersebut.
Busyra al-Muttaqi fi Wadh’ Ra’s al-Mayyit Yamin al-Mushalli karya Habib Abdul Rahman bin Ahmad bin Abdul Qadir bin Ali bin Umar al-Saqqaf. Dalam karya ini, penulisnya berpendapat bahwa tidak ada perbedaan ulama dalam persoalan memposisikan kepala jenazah laki-laki ke arah kanan imam atau munfarid (orang yang menyalatkan jenazah sendiri) dan hal ini merupakan pengamalan semenjak 14 abad lalu dari rasulullah sampai sekarang. Ia berpendapat bahwa adanya pemahaman sebagian ulama yang mengatakan posisi jenazah tersebut harus di sebelah kiri imam merupakan kekeliruan dalam memahami ungkapan-ungkapan yang tertulis dalam kitab-kitab fikih berbahasa Arab.
ia menulis karya ini dilatar-belakangi oleh kejadian di Jakarta bahwa ada jamaah yang hendak melaksanakan salat jenazah laki-laki yang awalnya posisi kepala di sebelah kanan imam, oleh seorang alim yang tidak disebutkan namanya dalam kitab tersebut dan jamaahnya memutar kepala jenazah tersebut ke sebelah kiri imam sehingga menimbulkan pertengkaran dan perdebatan antara jamaah tersebut. Kejadian tersebut agak mendekati waktunya dengan karya ini selesai ditulis pada hari Jumat, 21 April 1989 M/ 14 Ramadan 1409 H atau sekitar 31 tahun yang lalu.
Menurutnya, kitab-kitab yang digunakan sebagai alasan untuk menguatkan pendapat tentang posisi kepala jenazah laki-laki di sebelah kiri sebenarnya harus dipahami sebaliknya. Oleh sebab itu, ada 6 hal yang ia jelaskan dari ungkapan-ungkapan kitab fikih tersebut: a) ra’s al-mayyit (kepala mayit), b) li jihah yasar al-imam (ke arah kiri imam), c) wa yakunu galibuhu li jihah yaminihi (dan sebagian besarnya ke arah kanan imam), d) khilafan lima ‘alaihi amal al-nas (yang berbeda atas pengamalan manusia sekarang), e) mu’zham al-mayyid ‘an yamin al-imam (sebagian mayit di kanan imam) dan f) sulukan li al-adab (melakukan adab) yang diambil dari kalimat “يسن جعل رأس الميت لجهة يسار الامام ويكون غالبه لجهة يمينه خلافا لما عليه عمل الناس الآن…سلوكا للادب. . Ia kemudian menjelaskan 6 ungkapan di atas sebagai berikut:
- Ra’s al-mayyit (kepala mayit). Yang dimaksud disini adalah semua bagian dari kepala mayit.
- li jihah yasar al-imam (ke arah kiri imam). Maksudnya adalah bahwa kepala jenazah laki-laki ke arah kiri imam. Menurut Habib tersebut bahwa arah kanan-kiri imam diukur dengan tangan imam. Oleh karenanya, apabila yang tertulis disebutkan “ke arah kiri imam” ini dimaksudkan agar imam tersebut yang mana kepala jenazah berada di sebelah kanannya, ia (imam) bergeser sedikit ke kanan agar kepala jenazah sedikit berada di sebelah tangan kiri imam. Bukan maksudnya imam memutarkan kepala jenazah tersebut yang dari kanan ke kirinya. Sehingga posisi kepala jenazah tetap berada di sebelah tangan kanan imam, hanya saja kepala tersebut sedikit berada di sebelah tangan kiri imam. Bagian ini, penulis membagi bagian kepala mayit, ada yang sebelah kanan dan ada yang sebelah kiri imam.
- wa yakunu galibuhu li jihah yaminihi (dan sebagian besarnya ke arah kanan imam). Yang menjadi perdebatan adalah kalimat “yakunu galibuhu” (sebagian besar-nya). Menurutnya, pemahaman yang benar harus dipahami bahwa kata ganti ketiga (hu) dalam kalimat tersebut kembali kepada kepala mayit dan bukan bagian tubuh lainnya selain kepala, sehingga arti ungkapan tersebut “kepala mayit ke arah tangan kiri imam, dan sebagian besar bagian kepala lainnya ke arah tangan kanan imam. Adalah keliru kalau kata ganti ketiga tersebut dimaksudkan dengan bukan kepala atau bagian tubuh lain dari mayit. Menurutnya disini yang merupakan kekeliruan yang mendasar dalam memahami ungkapan kitab-kitab tersebut.
- khilafan lima ‘alaihi amal al-nas (yang berbeda atas pengamalan manusia sekarang). Menurut penulis bahwa aturan posisi kepala jenazah laki-laki yang seharusnya menurut ilmu fikih sebagian kecil kepalanya di sebelah tangan kiri imam dan sebagian besarnya di sebelah tangan kanan imam dengan tetap kepala tersebut berada di kanan imam, ini menyalahi pelaksanaan salat jenazah laki-laki sekarang. Dimana pada umumnya, masyarakat sekarang dalam pelaksanaannya tidak terlalu memperhatikan aturan fikih tersebut, yang penting kepala mayit berada di sebelah kanan imam; apakah sedikitnya di sebelah kirinya dan sebagian besar sebelah kanannya. Sebab, ketika hendak dilakukan salat biasanya jamaah tidak terlalu memastikan keadaan kepala dengan membuka kain.
- mu’zham al-mayyid ‘an yamin al-imam (sebagian mayit di kanan imam). Maksudnya adalah bagian besar dari kepala mayit laki-laki.
- sulukan li al-adab (melakukan adab). Ini terkait salat jenazah di masjid nabawi yang berdekatan dengan kuburan nabi yang mulia. Menurutnya, bukan dimaksudkan disini karena disalatkan di masjid nabawi, baik jenazah laki-laki ataupun perempuan, keduanya (maksudnya: kepala keduanya) harus berada di sebelah kiri imam dan kakinya di sebelah kanan, agar memberlakukan adab kepada baginda rasulullah saw, dan selain di masjid nabawi diberlakukan hal yang berlawanan, yaitu kaki kiri jenazah laki-laki di sebelah kanan dan kepalanya di sebelah kiri, sementara jenazah perempuan sebaliknya. Menurut penulis, adanya ungkapan “sulukan li al-adab” dimaksudkan agar kepala mayit laki-laki dan perempuan diletakkan di belakang dan sejurus dengan kuburan nabi saw.
Menurut penulisnya, pendapatnya disepakati oleh beberapa ulama Jakarta dan sekitarnya, seperti Habi Syami bin Husain Alatas (Jakarta), Habib Syaikh bin Ahmad al-Musawa (Jakarta), Ustadz Syaikh Hadi Jawas (Jakarta), KH. Ahmad Junaidi (Jakarta), KH. Muhajirin Amsar (Bekasi), KH. Mursyidi (Jakarta), KH. Ishthahari (Bogor), KH. Noer Ali (Ujung Harapan), dan KH. Ziyadi Muhajir (Jakarta).
Al-Bayan al-Syafi Li Irsyad al-Qalb al-Shafi karya KH. Muhammad Saleh Zawawi. Menurutnya, persoalan ini masuk dalam wilayah khilafiyah (perdebatan fikih). Sehingga, masing-masing pendapat berhak untuk diterima berdasarkan dalil yang dianut. Dalam mukadimah kitab, penulisnya menyebutkan bahwa sebelum ia menulis kitab ini terlebih dahulu mendatangi dan meminta izin kepada gurunya, KH. Muhammad Syafi’I Hazami yaitu pada tanggal 1 Muharram 1410 H. Gurunya kemudian memberikan nasehat bahwa dalam melihat persoalan yang masih khilafiyah, yang dikedepankan harus kejujuran dan tidak merugikan orang lain. Selain itu, dalam memperbaiki sesuatu yang salah, harus melalui pengamatan mendalam dan jangan merubah sesuatu yang baru ada walaupun ia tidak baik.
Inti pembahasan yang memuat persoalan khilafiyah ini dibahas pada pasal ketiga dengan tema “perbedaan pendapat ulama dalam meletakkan kepala jenazah laki-laki ke arah kiri atau kanan imam.” Ia menuliskan beberapa kitab dalam Bahasa Arab dan Melayu yang menguatkan pendapat posisi kepala di sebelah kiri, seperti pendapat Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Muhammad Ismail Fathani dan Tengku Hasbi as-Siddiqi dari Nusantara, dan Syaikh Syarwani dan lainnya dari ulama Arab. Sebagaimana teks Arabnya:
والحاصل أنه يجعل معظم الميت عن يمين المصلي فحينئذ يكون رأس الذكر جهة يسار المصلي والأنثى بالعكس إذا لم تكن عند القبر الشريف أما إذا كانت هناك فالأفضل جعل رأسها على اليسار كرأس الذكر ليكون رأسها جهة القبر الشريف سلوكا للأدب كما قاله بعض المحققين.
(Kesimpulannya bahwa sebagian besar mayit di sebelah kanan orang salat. Oleh karenanya, kepala jenazah laki-laki kea rah kiri orang salat dan perempuan sebaliknya, apabila tidak berada di dekat kuburan nabi. Apabila berada di kuburan nabi, lebih utama menjadikan kepalanya (perempuan) ke arah kiri sebagaimana kepala laki-laki, agar kepalanya menghadap sebelah kuburan nabi yang mulia untuk memberlakukan adab sebagaimana pendapat sebagian ulama ahli tahqiq).
Sementara kitab-kitab yang mendukung kepala jenazah laki-laki diarahkan sebelah kanan imam menurut penulisnya, ia tidak menemukan dalam karya-karya ulama Nusantara. Sementara kitab-kitab dalam Bahasa Arab, hanya ditemukan nukilan dari pendapat dan fatwa Sayyid Abdullah Baswedan yang mengatakan bahwa “pelaksanaan salaf dari ulama dan orang-orang saleh di negeri kami Hadramaut dan lainnya meletakkan kepala jenazah laki-laki ketika salat di sebelah kanan juga.”
Selain 2 kitab di atas, saya juga melampirkan beberapa karya ulama Nusantara, seperti karya Syaikh Muhammad Nawawi Banten, Sayyid Usman Betawi dan Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau. Syaikh Muhammad Nawawi dalam karyanya Nihayah az-Zain fi Irsyad al-Mubtadi’in dan Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau dalam kitab Al-Riyadh al-Wardiyah fi al-Ushul al-Tauhidiyah wa al-Furu’ al-Fiqhiyah kurang lebih menyatakan bahwa “dijadikan kepala jenazah laki-laki di sebelah kiri imam dan imam dekat dengan kepalanya. Sementara Sayyid Usman dalam karyanya Ilmu Kemestian Perihal Kematian menyebutkan bahwa pendapat dalam kitab-kitab fikih seperti yang disebutkan Syaikh Muhammad Nawawi dan Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau yaitu di sebelah kiri imam, tetapi pendapat ini tidak dilakukan.
No responses yet