Jalur Sanad dan Jejaring Keilmuan

Dalam tradisi belajar-mengajar di kalangan umat Islam, sanad ilmu menjadi salah satu unsur utama. Disiplin ilmu keislaman apa pun, sanadnya akan bermuara kepada Nabi Muhammad SAW. Sanad merupakan mata-rantai transmisi yang berkesinambungan sampai kepada Nabi Muhammad saw. Ilmu hadits bermuara kepada beliau, begitupun dengan ilmu tafsir, tasawuf, dan sebagainya. Sanad keilmuan secara umum berarti latar belakang pengajian ilmu agama seseorang yang bersambung dengan para ulama setiap generasi sampai kepada generasi sahabat yang mengambil pemahaman agama yang shahih dari Rasulullah SAW.

Berdasarkan kepentingan sanad keilmuan inilah, para ulama menghimpunkan sanad-sanad keilmuan mereka dan merangkum ilmu-ilmu agama dari sudut riwayah maupun dirayah, dari sudut manqul (yang dinukilkan) maupun ma’qul (yang dapat dipahami secara akal), dan sebagainya, dalam kitab-kitab mereka. Sebagian ulama menyusun latar belakang keilmuan mereka, yaitu sanad keilmuan, dalam bentuk mu’jam asy-syuyukh, yang menyenaraikan riwayat hidup dan latar belakang keilmuan para guru mereka. Sejarah penyusunan nama-nama guru atau syaikh didapati pada kurun ketiga hijrah, seperti Al-Mu’jam Ash-Shaghir oleh Imam Ath-Thabarani, lalu terus berkembang seperti Mu’jam Syuyukh Abi Ya’la Al-Mushili dan lainnya.

Begitu pentingnya sebuah sanad, Ibn Abdil Bar meriwayatkan dari Imam Al-Auza’I bahwasanya ia berkata, “Tidaklah hilang ilmu (agama) melainkan dengan hilangnya sanad-sanad (ilmu agama tersebut).” Imam Syafi’i ramimahullah mengatakan, “Tiada ilmu tanpa sanad.” Sedangkan Al-Hafizh Al-Imam Ats-Tsauri mengatakan, “Penuntut ilmu tanpa sanad bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga.” Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy, quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi: 60); “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” (Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203). Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya (dengan akal pikirannya sendiri).” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32). Imam Malik ra berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat) pendidikannya (sanad ilmu)” Al-Hafidh Imam Attsauri rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”. Sedangkan di antara ulama masa belakangan yang sangat banyak mengumpulkan sanad adalah  Syaikh Yasin Al-Fadani, yang digelari “Musnid Ad-Dunya” karena begitu banyak sanadnya.

Maka jelaslah, tradisi menyusun sanad-sanad keilmuan serta ijazah keilmuan, baik secara umum maupun khusus, baik ijazah riwayah maupun dirayah atau kedua-duanya, ijazah tadris wa nasyr (izin untuk mengajar dan sebagainya), adalah untuk menjaga tradisi amalan para ulama terdahulu dan dalam masa yang sama menjelaskan latar belakang keilmuan mereka. Bahkan, tradisi tersebut adalah tradisi amalan para ulama mu’tabar yang tidak dapat diperselisihkan lagi, karena ia terpelihara dari masa ke masa. Ukuran kelayakan keilmuan yang sebenarnya dalam neraca pembelajaran dan pengajaran ilmu-ilmu agama yang murni bukanlah pada ukuran akademis modern, yang merupakan acuan dan ukuran tradisi Barat, tetapi ukuran sebenarnya adalah pada sandaran keilmuan seseorang yang mengajar ilmu agama, baik sanad ilmiy, ijazah tadris, maupun yang lainnya, yang menjadi asal rujukan.

Dengan demikian, sanad ilmu atau sanad guru sama pentingnya dengan sanad hadits. Sanad hadits adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan matan atau redaksi hadits dari lisan Rasulullah. Sedangkan sanad ilmu atau sanad guru adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan penjelasan, baik al-Qur’an maupun as-sunnah, dari lisan Rasulullah. Konsep sanad tidak terbatas pada ilmu hadits. Namun, konsep sanad meluas dalam bidang-bidang ilmu agama yang lain. Ilmu-ilmu agama, khususnya yang melibatkan sudut dirayah, juga sangat memerlukan latar belakang keilmuan atau sandaran keilmuan bagi seseorang yang berbicara tentang agama. Karena, tanpa berguru dengan guru, seseorang tidak layak mengaku sebagai ahli ilmu atau ulama, walaupun sudah membaca banyak kitab. Adanya jalur sanad menunjukkan betapa Allah menjaga agama Islam dari upaya menghilangkan dan mengubahnya. Hal ini sebagai realisasi dari janji Allah SWT dalam menjaga adz-dzikr yang diturunkannya, sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Hijr, ayat 9.

Lebih jauh, pembentukan jejaring ulama dan keilmuan dalam Islam tampaknya tidak dapat dipisahkan dari sistem jejaring sanad (isnâd). Oleh karena itu, dalam proses penyebaran dan transmisi keilmuan terbentuk sebuah jejaring yang dikenal dengan “jalur sanad” (al-thuruq), yakni suatu jalinan yang menghubungkan antara guru dan murid. Sistem jejaring sanad (isnâd), dengan demikian, mendorong terbentuknya jejaring ulama.

Dalam perspektif sejarah ilmu-ilmu keislaman, sistem jejaring sanad (isnâd) ini juga diterapkan dalam berbagai cabang keilmuan, seperti tafsir, fikih, dan sejarah Islam. Sebagai misal, dalam bidang tafsir terdapat sebuah corak penafsiran yang lebih mementingkan mata-rantai transmisi, yang dikenal dengan tafsîr bi al-ma’tsûr atau tafsîr bi al-riwâyah. Demikian pula, dalam studi sejarah Islam, ditemukan model historiografi dengan al-riwâyah.(el Sharqawi, 259) Sementara itu, studi fikih pada masa awalnya juga sangat mengandalkan sanad karena fikih semula memang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hadis.(Shiddiqi: 1996, 13)

Selain itu, penggunaan sanad (isnâd) yang lebih luas ditemukan dalam tarekat. Sistem jejaring sanad dalam tarekat disebut dengan “silsilah”. Silsilah tarekat berkesinambungan satu sama lain ke atas sampai kepada Nabi saw. atau bahkan sampai kepada Malaikat Jibril dan Allah swt. yang merupakan sumber dari segala pengetahuan spiritual. Sebagaimana halnya sanad dalam hadis, silsilah yang berkesinambungan merupakan salah satu syarat terpenting bagi kesahihan otoritas dalam keilmuan dan penerimaan tasawuf atau tarekat sehingga tarekat tersebut dapat dipandang sah (mu‘tabarah)(Dhofier: 2005, 79). Silsilah tarekat ini juga turut membentuk jejaring ulama dan keilmuan dalam Islam.

Studi disertasi Azyumardi Azra yang membahas tentang jejaring ulama Timur Tengah dan Melayu-Nusantara pada abad XVII dan XVIII M juga menegaskan bahwa sanad hadis dan silsilah tarekat mempunyai peranan signifikan dalam menghubungkan para ulama yang terlibat dalam jejaring. Melalui telaah-telaah hadis, para guru dan murid-murid dalam jejaring ulama terkait satu sama lain. Demikian pula, organisasi tarekat, melalui silsilah yang berkesinambungan, menjadi sarana untuk menghubungkan ulama satu sama lainnya (Azra: 1994, 105). Selain itu, dalam tradisi huffadz juga dikenal sanad yang juga berjejaring dengan sanad hadis dan silsilah tarekat. Persinggungan di antara sanad-sanad keilmuan tersebut semakin memberkuat otoritas keilmuan dan otentitasnya.

Lepas dari pentingnya sanad dan sisilah sebagai faktor penting yang menimbulkan keterpaduan dalam jejaring ulama, pada dasarnya jejaring ulama yang terbentuk dan berkembang sepanjang sejarah Islam tidaklah terorganisasi secara formal, apalagi menjadi sebuah organisasi formal tertentu. Jejaring antara mursyid dan wakil mereka memang seringkali terjalin melalui kerangka organisasi tarekat, tetapi jejaring antar mereka tidak terorganisasi secara formal. Karenanya jejaring ulama lebih merupakan ikatan yang bersifat longgar dan informal, tetapi karena berbagai faktor ikatan itu menjadi cukup solid dan efektif dalam mencapai tujuan keilmuan Islam khususnya dan penyebaran Islam umumnya.

Fenomena jalinan kelindan ini ditengarai oleh Azyumardi sebagai determinan perkembangan intelektualisme Islam di Timur Tengah dan Nusantara. Sebagai murid dari al-Kurani sewaktu belajar di Makkah (1640) membawa al-Sinkili masuk dalam jejaring ulama Timur Tengah. Sebagaimana telah diketahui al-Kurani adalah guru sufi al-Singkili. Dalam tradisi sufisme otoritas penyebaran ilmu oleh seorang murid bisa dimiliki hanya atas dasar “ijazah” yang diberikan oleh sang guru. Oleh karena itu, setelah menerima “ijazah” dari guru sufinya itu, al-Sinkili berkewajiban menyebarkan ilmu sesuai dengan rangkaian perawi yang saling kait-mengkait. Salah satu mata rantai perawi itu adalah Jalaluddin al-Suyuti, sehingga al-Sinkili diharapkan lebih dapat memilih Tafsir Jalalain dari pada karya-karya tafsir yang lain. Kecenderungan untuk bersandar pada ulama dalam “jejaring” ini juga terlihat jelas dari karya-karya al-Sinkili di bidang fiqh, kalam dan tasawuf.

Mekanisme “jejaring” dalam pengembangan ilmu-ilmu keislaman di Timur Tengah dan Nusantara ini setidaknya memiliki dua akar historis yang menjadi pijakannya. Pertama, tradisi oral (dakwah bil lisan) pada masa Rasulullah hingga masa tabi’in telah menciptakan mata rantai perawai (da’i) yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Kedua, fragmentasi sosial-keagamaan pada masa sahabat, khususnya pada era kekhalifahan Utsman dan Ali, menyebabkan jejaring antar perawi tersebut bercirikan “ideologi” dan menjadi dogmatis. Itu sebabnya mengapa terjadi “jejaring ulama” sesuai dengan madzhab atau aliran dalam bidangnya masing-masing. Peter G. Riddel (2001: 9) mengatakan bahwa transmisi dan respon terjadi karena di kalangan muslim Malaysia-Indonesia terdapat apa yang disebut dengan westward-facing orientation, yaitu bahwa Arab sebagai daerah pusat kelahiran Islam, sudahlah wajar jika Mekah dan sekitarnya atau Timur tengah dipandang sebagai “pusat” dunia Islam, apalagi peran Mekah sebagai kiblat umat Islam.


Bersambung..

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *