Jamaah : “Jo kemarin kita sudah mendengar paparan para ahli dan praktisi soal data termutakhir bangsa Indonesia yang semuanya menunjukkan angka yang semakin mengkuatirkan masa depan. Cadangan minyak tinggal 12 tahun, timah tinggal 70 tahun, hanya batu bara yang menyentuh angka ratusan tahun. Dalam politik muncul gejala Oligarkhi yang semakin menggila, dalam kehidupan sosial semakin dalam ketimpangannya, lebih parah lagi dalam kehidupan beragama terjadi proses pendangkalan pemahaman yang semakin massif. Menurut ketiga profesor semua itu menjadi pemicu lahirnya kekerasan atau intoleransi sosial. Lantas kita harus bagaimana Jo?”
Paijo : “Lho kang apa Sampeyan tidak tanya kepada mereka bagaimana solusinya. Mereka kan ahlinya. Harusnya sampeyan tanya kepada mereka biar tidak salah tanya kepada saya?”
Jamaah : “Aku sudah tanya kepada mereka Jo, tapi jawabannya masih belum memuaskan. Mereka juga seolah berputar2 pada teori dan konsep, aku tidak merasakan jawaban yang praktis.”
Paijo : “Kalau ahli ya memang begitu jawabannya kang, harus berdasarkan teori dan relasi konseptual. Mungkin sampeyan harus tanya kepada praktisi-nya.”
Jamaah : “Aku juga sudah tanya ke para praktisi, tapi mereka malah memaparkan data2 aktual yang menjelaskan semakin suramnya masa depan. Bahkan ada seorang direktur pertambangan besar dan seorang pejabat SKK migas yang justru mengeluh dengan sulitnya mereka melakukan eksplorasi baru. Terus aku harus bagaimana Jo? Sebenarnya masa depan Indonesia ini di tangan siapa? “
Paijo : “Subhanallah, aku sendiri juga bingung kang, kalau aku sarankan dengan pendekatan rasional, para pakar dan praktisi itu orang yang paling rasional. Kalau aku sarankan dengan pendekatan spiritual, akan ada yang bilang jangan semua diukur dengan agama. Padahal sekarang justru yang paling rasional adalah pendekatan spiritual atau agama. Tentu saja bukan dengan pemahaman yang dangkal. Kalau agama hanya diukur dari formalitas syar’i tentu bukan jadi solusi malah jadi sumber bencana yang lebih mengerikan.”
Jamaah : “Terus gimana Jo, aku semakin tidak mengerti dengan keadaan kita saat ini, apalagi dengan masa depan?”
Paijo : “Masa depan itu di tangan Allah kang, tetapi setelah kita berikhtiar sebaik mungking untuk meraihnya. Mari kita sama2 memulai dengan berkhusnudhon kepada Allah dengan situasi ini. Selama ini kita memahami data dari kacamata rasional dengan teori-teori yang juga mencoba menghubungkan data2 itu secara rasional. Akibatnya kita meninggalkan kearifan lokal nenek moyang kita yang justru lebih suka menyelesaikan problem mereka dengan pendekatan spiritual. Dulu orang kalau ingin menebang pohon saja harus pakai upacara atau ritual khusus. Dan tidak semua orang boleh memotong pohon harus ada “pawangnya”. Hal ini penting untuk menjaga kelestarian hutan dan tanaman. Nenek moyang kita seolah sedang bicara bukan saja kepada si pohon tetapi juga semua mahluq yang terkait dengan pohon itu. Lebih dari itu mereka juga memohon restu kepada Sang Pemilik pohon yakni Allah. Ini pengalaman penting yang sudah kita tinggalkan. Bagaimana bersikap kepada semesta secara spiritual. Nah sekarang dengan kecanggihan teknologi manusia menghancurkan alam dengan alasan rasional semata. Nggak perlu upacara atau ritual, yang ribet dan mahal, apalagi ijin kepada Sang Pemilik atau Allah. Seolah dengan kecanggihan teknologi kita bisa bertindak sebagai tuhan. Inilah awal kehancuran kesadaran spiritual. Akibatnya kerugian material dan spiritual yang tidak bisa lagi diukur dengan jumlah uang. Jika hal ini berulangkali terjadi maka selain akan melahirkan cara pikir instan, juga akan terjadi pendangkalan pemahaman keagamaan yang massif. Gejala ini adalah tanda keputusasaan sosial masyarakat, karena ternyata tidak ada solusi yang bisa memuaskan.”
Jamaah : “Aku mulai paham Jo, kamu akan arahkan aku agar bertawakal saja dan meyakini apapun keputusan Allah adalah yang terbaik.”
Paijo : “Bukan hanya itu kang, ikutilah logika spiritual Tuhan yang kadang tidak rasional menurut kebanyakan pakar dan praktisi. Menyeimbangkan hasrat untuk kaya dan berkuasa dengan nurani untuk berbagi dan menolong sesama harus dilakukan dengan kesadaran spiritual bahwa Tuhan lah yang telah membuat kita “Sempurna” dengan ketidaksempurnaan kita. Ayo kang kita latih hidup kita dan keluarga dengan kesederhanaan laku. Kita tanamkan kesadaran mencintai alam semesta karena ingin dapat ridho Tuhan yang menciptakan. Karena semakin sederhana hidup kita semakin sedikit energi yang kita butuhkan. Artinya kita semakin bisa berhemat untuk masa depan anak cucu kita dengan niat meniru sifat Rahman dan Rahim Allah.” #SeriPaijo
Repost Tawangsari 4 Desember 2019
No responses yet