Oleh : Imron Rosyadi Hamid Rois Syuriyah PCINU Tiongkok, kandidat PhD Hubungan Internasional Jilin University Tiongkok
Ada fenomena menarik dan hampir tidak kita jumpai dalam beberapa dekade sebelumnya, masterpiece KH. Abdul Wahab Hasbullah dengan judul Yaa Lal Wathon (Yaa Ahlal Wathon) yang dulu dinyanyikan untuk membangun semangat kebangsaan di era kolonialisme dan perang kemerdekaan – kini menjadi ‘lagu wajib’ Nahdlatul Ulama. Awalnya, atas ijazah sesepuh NU, KH. Maimoen Zubair, enam tahun lalu, maha karya KH. Wahab Hasbullah yang digubah pada Tahun 1934 (versi aslinya berjudul Syubbanul Wathon) ‘dihidupkan kembali’ oleh Gerakan Pemuda Ansor di era kepemimpinan Nusron Wahid dan secara masif dikumandangkan sebagai _habitus_ baru dalam setiap acara pengkaderan dan kegiatan resmi lainnya di lingkungan Nahdlatul Ulama. Meskipun lebih pas dinyanyikan nahdliyyin tetapi mars Yaa Lal Wathon kini mulai dikenal kelompok nasionalis sekuler, TNI-Polri, bahkan jemaat gereja yang merasa _comfort_ dengan keberadaan organisasi yang didirikan KH. Hasyim Asy’ari ini. Bergaungnya kembali Yaa lal Wathon menjadi milestone munculnya revivalisme kebangsaan yang dilakukan Nahdlatul Ulama untuk mengingatkan masyarakat Indonesia agar aware terhadap gelombang ideologi transnasional.
Ancaman 2 Gelombang:
Dalam Empire & Terror, Nationalism/ Postnationalism in The New Millenium, Chris Hables Gray (2004) menyebut gelombang baru setelah era perang dingin Amerika dan Uni Soviet adalah munculnya Perang Dingin II (Cold War II) antara paham fundamentalisme versus sekularisme. Menurut Gray (2004:221), di era Perang Dingin II muncul apa yang disebut new wave of fundamentalism (gelombang baru fundamentalisme) yang salah satunya ditandai dengan pecahnya kekuatan nasional akibat konflik antara yang mengaku ‘paling benar’ dalam beragama (true believers) yang cenderung intoleran dengan kekuatan lain yang berbeda pandangan. Di Indonesia, ancaman paham radikalisme dan intoleransi bukanlah sesuatu yang mengada-ada baik dalam bentuk gerakan sosial maupun perilaku personal, apalagi jika dikaitkan dengan maraknya ujaran kebencian (hate speech) di media sosial bahkan tindakan persekusi atas orang yang dianggap berbeda pendapat. Salah satu contoh yang perlu kita cermati adalah Hasil survei nasional Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah bahwa 57 persen guru di Indonesia cenderung intoleran menunjukkan persoalan berkembangnya paham intoleransi sudah sedemikan mengkhawatirkan karena masuk melalui dunia pendidikan kita. Bahkan berdasarkan Survey Alvara terhadap Profesional Indonesia yang dilakukan September – Oktober 2017 memunculkan data yang lebih mengejutkan dimana ada 22,2 persen PNS setuju dengan khilafah sebagai bentuk ideal Indonesia dan 19,6 persen profesional setuju untuk berjihad. Sebuah survey berkait intoleransi dan potensi radikalisme yang dilakukan Wahid Foundation dan LSI Tahun 2016 misalnya, telah menjadi lampu kuning bagi masa depan peradaban Indonesia, dimana ada sebelas juta muslim yang bersedia melakukan kegiatan radikal dan enam ratus ribu lainnya pernah terlibat tindakan radikal. Fakta yang terjadi sekarang, meskipun status Badan Hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sudah dicabut Menkumham RI pada Tahun 2017, kampanye dan gerakan yang mengusung dan bertujuan menegakkan khilafah Islamiyah di Indonesia tidak sepenuhnya berhenti. Persoalan lain yang sudah dan tengah dihadapi Bangsa Indonesia adalah gelombang terorisme internasional – meminjam istilah Rapoport dalam Attacking Terrorism: Elements of A Grand Strategy (2004) – kini tengah memasuki fase keempat dalam sejarah peradaban modern. David J. Rapoport memformulasikan sebuah teori untuk menjelaskan perjalanan terorisme modern yang dikenal luas dengan nama Teori Empat Gelombang (Four Waves of Modern terror, 2004 : 46). Teori ini menjelaskan bahwa terorisme modern berjalan melalui empat gelombang, masing-masing memiliki masa ‘bertahan’ kurang lebih empatpuluh tahun dan setiap gelombang akan digantikan gelombang baru. Gelombang pertama dinamakan Gelombang Anarkis (Anarchist Wave) dimulai pada pergantian abad keduapuluh (1880-1920), kedua, Gelombang Anti Kolonialis (Anti Colonial Wave), ketiga, Gelombang Kiri Baru (New Left Wave), dan keempat Gelombang Keagamaan (Religious Wave) yang dimulai ketika pecah Revolusi Iran, Tahun 1979, dan diprediksi akan berakhir beberapa tahun mendatang. Meskipun dalam sejarah terorisme, beberapa kelompok dari semua agama pernah melakukan tindakan terorisme, tetapi Rapoport meletakkan ‘Islam’ sebagai kekuatan dominan dalam perjalanan gelombang keempat ini. Dalam konteks Indonesia, rangkaian aksi-aksi radikalisme dan terorisme sejak era orde baru, reformasi hingga peristiwa pengeboman beberapa gereja yang melibatkan satu keluarga di Surabaya Bulan Mei 2018, menunjukkan bahwa ancaman terorisme perlu mendapatkan penanganan serius tidak saja oleh negara, tetapi juga keterlibatan masyarakat.
*IkhtiarKebangsaan Nahdlatul Ulama* Berbagai inisiatif yang diambil Pengurus Besar Nahdlatul Ulama termasuk mengadakan International Summit of Moderate Islamic Leaders (ISOMIL) maupun mengundang pemimpin muslim dari berbagai negara di Timur Tengah dan Asia Selatan untuk memperkuat kerjasama deradikalisasi pemahaman Islam dan membendung ideologi ekstrim dari kaum jihadis harus dilihat sebagai bagian dari tanggung jawab untuk membantu negara dari ancaman perpecahan dan kehancuran peradaban sebagaimana yang dialami beberapa negara akibat revolusi arab spring yang hingga kini sulit untuk diperbaiki dan memunculkan persoalan kemanusiaan dan politik yang berkepanjangan.
Wallahu a’lam bi shawab
No responses yet