oleh: Dhafa rhabbani sugih rahayu Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammdiyah Prof.Dr. Hamka
Kata keluarga dalam Bahasa Arab dikenal dengan al-Usrah yang berarti ikatan. Berdasarkan pengertian ini maka dapat dipahami bahwa keluarga terbentuk atas dasar ikatan yang bersifat ikhtiyari (pilihan). Dalam konteks sosial, keluarga artinya membentuk kesatuan masyarakat kecil.
Bahagia adanya kerukunan dalam hubungan antara suami istri dalam berkeluarga. Kebahagiaan yang dicapai bukanlah yang sifatnya sementara, tetapi kebahagiaan yang kekal karenanya perkawinan yang diharapkan adalah perkawinan yang kekal. Sehingga hal itu menyebabkan datangnya rahmat dari Allah SWT.
Dalam Islam, keluarga menempati posisi yang sangat penting dan mulia. Ia dipandang sebagai unit fundamental yang memegang peranan krusial dalam membentuk individu beriman, berakhlak, dan bertakwa. Keluarga juga menjadi pilar utama dalam membangun masyarakat yang islami, kuat, dan sejahtera.
Islam memandang keluarga sebagai institusi yang dibangun di atas fondasi iman, ihsan, dan taqwa. Konsep ini menonjolkan pentingnya hubungan yang didasarkan pada keimanan kepada Allah SWT, kebaikan, dan kesadaran akan kewajiban terhadap-Nya. Keluarga dalam Islam dibangun melalui akad nikah, yaitu perjanjian suci antara seorang laki-laki dan perempuan yang disyariatkan dalam agama. Melalui akad nikah, keduanya terikat dalam hubungan yang legal dan halal, di mana mereka dapat bersama-sama menjalankan ibadah dan membina rumah tangga yang harmonis.
Keluarga sakinah mawadah warahmah adalah keluarga yang penuh dengan ketenangan dan kasih sayang. Keluarga ini merupakan dambaan setiap pasangan suami istri. Dalam Islam, keluarga sakinah mawadah warahmah merupakan keluarga yang ideal. Keluarga ini dibangun di atas dasar cinta, kasih sayang, dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Keluarga sakinah dalam Islam adalah keluarga yang penuh dengan ketenangan, kasih sayang, dan rahmat. Keluarga ini dibangun di atas fondasi keimanan, cinta, dan ketakwaan kepada Allah SWT. Sakinah dalam bahasa Arab yang berarti ketenangan, kedamaian, ketentraman, dan ketenangan hati. Dalam konteks keluarga, sakinah berarti keluarga yang penuh dengan ketenangan, kasih sayang, dan Rahmat, Sakinah. Kata sakinah secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai kedamaian. Berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an (QS. AlBaqarah/2:248; QS. At-Taubah/9:26 dan 40; QS. Al-Fath/48: 4, 18, dan 26), sakinah atau kedamaian itu didatangkan Allah ke dalam hati para Nabi dan orang-orang yang beriman agar tabah dan tidak gentar menghadapi rintangan apapun. Jadi berdasarkan arti kata sakinah pada ayat-ayat tersebut, maka sakinah dalam keluarga dapat dipahami sebagai keadaan yang tetap tenang meskipun menghadapi banyak rintangan dan ujian kehidupan..
Sedangkan Mawaddah adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti kasih sayang, cinta, dan kemesraan. Dalam konteks keluarga, mawaddah berarti kasih sayang dan cinta yang terjalin antara suami dan istri. Mawaddah. Quraish Shihab dalam Pengantin Al-Qur’an menjelaskan bahwa kata ini secara sederhana, dari segi bahasa, dapat diterjemahkan sebagai “cinta.” Istilah ini bermakna bahwa orang yang memiliki cinta di hatinya akan lapang dadanya, penuh harapan, dan jiwanya akan selalu berusaha menjauhkan diri dari keinginan buruk atau jahat. Ia akan senantiasa menjaga cinta baik di kala senang maupun susah atau sedih.
Warahmah adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti kasih sayang, belas kasihan, dan empati. Dalam konteks keluarga, warahmah berarti kasih sayang dan belas kasihan yang terjalin antara anggota keluarga. Rahmah. Secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai “kasih sayang.” Istilah ini bermakna keadaan jiwa yang dipenuhi dengan kasih sayang. Rasa kasih sayang ini menyebabkan seseorang akan berusaha memberikan kebaikan, kekuatan, dan kebahagiaan bagi orang lain dengan cara-cara yang lembut dan penuh kesabaran.
Dalam Al-Qur’an, keluarga sakinah disebut sebagai salah satu tujuan pernikahan. Allah SWT berfirman dalam surat Ar-Rum ayat 21:
وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةًۗ
Artinya: Dan di antara tanda-tanda (kekuasaan)-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Kata taskunu pada ayat di atas dikaitkan dengan kata mawaddah warahmah. Hal ini menunjukkan bahwa terwujudnya ketenangan keluarga didukung faktor mawaddah wa rahmah. Menurut Wahbah al-Zuhaili, (dalam Siti Chadijah, 2018). mawaddah mengandung arti cinta, sedangkan Rahmah berarti kasih sayang. Cinta dan kasih sayang merupakan unsur pokok yang mendorong suami istri mau saling membantu, menegakkan keluarga pada pondasi dan tatanan yang kuat dan melahirkan ketenangan yang sempurna. Berkaitan dengan mawaddah dalam arti kasih sayang, menurut Quraisy Shihab, kata mawaddah tersusun dari huruf m-w-dd yang artinya adalah kelapangan dan kekososngan jiwa dari kehendak buruk. Seseorang yang dalam hatinya telah bersemi mawaddah, maka ia tidak akan memutuskan hubungan, walaupun hatinya sedang kesal.
Maka oleh karena itu dalam menciptakan keluarga sakinah mawaddah warahmah kita bisa melihat Rasulullah SAW sebagai teladan bagi umat Islam dalam segala hal, termasuk dalam berkeluarga. Beliau adalah sosok suami yang penyayang dan ayah yang bertanggung jawab. Bisa dilihat dalam dinamika Rosulullah dalam berkeluarga bersama istrinya Siti Aisyah
Rasulullah biasa mencium istri.
Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Nabi mencium sebagian istrinya kemudian pergi melakukan shalat.” (HR. Tirmidzi no.75, Abu Dawud no. 178, Nasa’i no. 170, dan Ibnu Majah no. 502). Rasulullah juga mencium dan mencumbui istri-istrinya meskipun dalam keadaan puasa. Hal ini diterangkan dalam hadis riwayat Aisyah, katanya, “Rasulullah mencium dan mencumbui istrinya dalam keadaan puasa. Beliau adalah orang yang paling mampu menahan kebutuhannya (syahwatnya).” (HR. Bukhari no. 1927 dan Muslim no. 1106).
Dari perkataan Aisyah, “…Beliau adalah orang yang paling mampu menahan kebutuhannya (syahwatnya)” dapat disimpulkan bahwa pembolehan hukum mencium tersebut adalah bagi orang yang kuat menahan diri, bukan bagi orang yang dikhawatirkan terjerumus dalam perkara yang diharamkan, yaitu bersetubuh.
Dari sini, berbeda-bedalah pendapat ulama tentang hukum mencium dan mencumbui tanpa disertai hubungan intim. Sebagian berpendapat bahwa boleh tidaknya tergantung pada orangnya. Bila seseorang yakin tidak akan terjerumus dalam hubungan intim maka diperbolehkan.
Rasulullah bersikap mesra saat bersantap bersama istri.
Diriwayatkan dari Aisyah bahwa ia berkata, “Aku pernah minum, saat itu aku dalam keadaan haid, kemudian kuberikan minuman itu kepada Nabi Beliau menaruh mulut di bekas mulutku, lalu dia minum. Pernah juga aku menggigit daging dari tulangnya, saat itu aku dalam keadaan haid , kemudian kusuapkan kepada Nabi, lalu dia menaruh mulutnya di bekas mulutku.” (HR.Muslim no.300).
Sikap mesra yang dilakukan Nabi terhadap istrinya ketika makan dan minum juga punya tujuan lain. Yaitu menolak anggapan aum Yahudi bahwa seorang wanita yang sedang haid tidak boleh akan bersama dan tidak boleh tinggal serumah dengan anggota eluarga yang lain.
Ketika para sahabat bertanya tentang masalah ini maka turunlah ayat: “Mereka bertanya kepada Anda tentang haid. Katakanlah, Haid itu adalah kotoran. Oleh karena itu, hendaknya kamu menjauhkan diri dari wanita di teiktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah : 222).
Setelah turun avat itu, Rasulullah bersabda, Berbuatlah sesukamu, kecuali nikah (melakukan hubungan intim).” (HR.Muslim 302). Maka dari itu, ketika Nabi ditanyai oleh seorang lelaki, “Apa yang halal di sini dari istriku yang sedang haid?” Beliau menjawab, “Bagimu adalah apa vang ada di atas kain.” (HR.Abu Dawud).
Rasulullah bercumbu dan bercanda dengan istri.
Keterangan tentang itu ada dalam hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bahwa ia berkata, “Rasulullah bertanya kepada saya, ‘Jabir, apakah kamu sudah menikah? Aku menjawab, Benar, Rasulullah. Beliau bertanya lagi, Seorang gadis atau janda? Aku menjawab, Janda, Rasulullah.” Beliau bersabda, ‘Kenapa engkau tidak memilih seorang gadis sehingga kalian bisa saling bercumbu dan bersenda gurau?”” (HR. Bukhari no. 5079 dan Muslim no. 1928).
Sebuah riwayat menyebutkan bahwa suatu hari Rasulullah Saw. berlomba lari dengan Aisyah Ra, dan istri Rasulullah Saw. itu berhasil memenangkan perlombaan. Aisyah Ra. bercerita “Rasulullah Saw. berlari dan mendahuluiku (namun aku mengejarnya) hingga aku mendahuluinya. Tetapi, tatkala badanku gemuk, Rasulullah Saw. mengajak lomba lari lagi dan beliau mendahului, kemudian beliau mengatakan, ‘Wahai Aisyah, ini adalah balasan atas kekalahanku yang dahulu.”
Begitu seringnya Rasulullah Saw. mencandai Aisyah Ra., maka putri Abu Bakar itu pun mencandai suaminya. Hal ini menjadi bukti bahwa mereka saling mencintai, menyayangi, sehingga terwujudlah kebahagiaan dan ke- tenteraman dalam kehidupan mereka.
Menyisir Rambut Suami dan Meminyaki Badannya
Aisyah Ra. sering menyisir rambut Rasulullah Saw. Perbuatannya sanggup menjadikan Rasulullah Saw. bahagia. Tentang hal ini, Aisyah Ra. pernah berkata, “Saya biasa menyikat rambut Rasulullah Saw., ketika saya sedang haid.” (HR. Ahmad).
Hadirkan Kemesraan
Aisyah Ra. termasuk perempuan yang sangat mesra. Soal kemesraan, Aisyah Ra. adalah jagonya. Salah satu kemesraan yang ditunjukkannya ketika hidup bersama Rasulullah Saw. adalah minum bergantian di gelas yang sama. Tentang hal ini, ia pernah berkata, “Saya biasa minum dari cawan yang sama walaupun ketika haid. Nabi mengambil cawan tersebut dan meletakkan mulutnya di tempat saya meletakkan mulut, lalu beliau minum, kemudian saya mengambil cawan tersebut dan lalu menghirup isinya, kemudian baginda mengambilnya dari saya, lalu baginda meletakkan mulutnya pada tempat saya letakkan mulut saya, lalu baginda pun meminumnya.” (HR. Abdurrazaq dan Said bin Manshur).
Kesimpulan
Keluarga sakinah mawaddah warahmah adalah keluarga yang penuh dengan ketenangan, kasih sayang, dan rahmat. Keluarga ini dibangun di atas fondasi keimanan, cinta, dan ketakwaan kepada Allah SWT. Dalam hal ini Rasulullah SAW dan Aisyah RA telah menunjukkan bagaimana membangun keluarga sakinah mawaddah warahmah. Yang mana semua itu tidak akan terwuud tanpa andanya rasa cinta dan kasih sayang yang murni.
DAFTAR PUSTAKA
Chadijah, S. (2018). Karakteristik Keluarga Sakinah Dalam Islam. Rausyan Fikr : Jurnal Pemikiran Dan Pencerahan, 14(1), 113–129.
Eti, *, Adawiah, R., Adawiah, E. R., Madani, I., Sukabumi, N., Barat, J., & Yurna, Y. (2023). Implementasi Thaharah Dalam Mengelola Hidup Bersih Dan Berbudaya Ima Muslimatul Amanah. Jurnal Pendidikan Berkarakter, 1(4), 123–141.
No responses yet