Ulama NU melawan. Jengah di-bid’ah-kan bahkan dianggap sesat karena menyandingkan budaya dan agama, para ulama NU menjawab cerdas dengan mengangkat tema Islam Nusantara yang banyak dibincang. Inilah diskursus paling menarik ditengah polusi pikiran politis.

*^^*

Islam Nusantara didefinisikan sebagai Islam moderat, toleran, inklusif dan damai yang mengadopsi budaya setempat. Bagi para ulama NU, Islam Nusantara adalah strategi berdakwah sekaligus model Islam yang di-ideal-kan.

Sebagai diskursus maka terlalu tergesa jika kemudian Islam Nusantara dihakimi dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama sekali tidak relevan. Dengan pertanyaan semisal : Bukankah Nabi Muhammad adalah orang Arab, bukankah al Quran turun dengan bahasa Arab dan bukankah yang menukil Islam dari nabimu juga orang Arab. Ini pertanyaan klise.

Semua pertanyaan itu sudah selesai dan tidak perlu dibahas karena semua kita sudah bersepakat sebab itu substansi Islam. Dan Haqqul Yaqin saya sedang tidak meragukan keimanan para ulama NU terhadap pertanyaan diatas. Itu terlalu merendahkan dan tidak perlu.

*^^*

Islam Nusantara meng-konsep bahwa budaya tak harus enyah-karena dianggap melawan atau bertentangan dengan syariat Islam sebagaimana dipahami oleh sebagian besar kelompok Islam puritan yang maunya hendak menafikkan semua budaya. Kemudian mengganti dengan budaya Arab yang disetempel Islam. Ironis-nya kondisi orang Arab sekarang jauh berbeda sengan kondisi orang Arab pada pada masa sahabat, tabi’in dan tabiit-tabiin.

Karena tak lagi menemukan model Islam ideal yang di ideal-kan. Sementra kondisi negara-negara Arab Islam juga tak lebih baik dari negara Islam lainnya bahkan beberapa negara di kawasan Jazirah Arab dan Teluk malah menjadi contoh buruk dan pabrik perselisihan dan konflik antar manhaj dan kabilah yang tak kunjung usai. Para ulama NU pun berijtihad dengan menyandingkan dua mainstream (budaya dan syariat) yang terlihat berlawanan itu menjadi model yang di ideal-kan yang kemudian populair dengan sebutan Islam Nusantara.

Yang kemudian secara resmi di-tahfidz-kan pada muktamar NU. Tegasnya Islam Nusantara bukan tujuan akhir atau final. Islam Nusantara menyandingkan dua mainstream sebagai strategi sekaligus model yang di ideal kan untuk mencapai Islam kaffah. Sebagai strategi dan model, Islam Nusantara bukan yang final apalagi akhir dari tujuan, tapi terus berkembang dinamis menuju Islam Kaffah.

*^^*

NU adalah representasi kegelisahan para ulama, ketika fondasi keber-agama-an yang dibangun dan diwarisi dari para pendahulunya di nyatakan keliru oleh sekumpulan kaum-muda yang menyatakan diri sebagai pembaharu yang menganggap bahwa dakwah Wali-Songo belum selesai. Atas nama purifikasi dengan jargon kembali kepada Al-Quran dan As-Sunah menyalahkan semua bangunan yang telah lama mereka bangun dan huni.

Kebangkitan Para Ulama yang kemudian lazim disebut Nahdhatul Ulama adalah antitesis terhadap Muhammadiyah yang berdiri empat belas tahun sebelumnya. Inilah paradigma lama yang dirasakan oleh para ulama terhadap tawaran perubahan dan perlawanan terhadap takhayul, bid’ah dan khurafat yang dipraktikkan bersanding dengan syariat Islam. Agaknya ini bangkit kembali dan relevan di-konstruk ulang.

Para ulama yang mengambil Wali-Songo sebagai model dakwah berikhitiar menyandingkan budaya dan syariat Islam. Keduanya saling menggenapi dan tak harus mengambil posisi berhadapan. Model inilah yang kemudian dilawan habis habisan oleh Muhammadiyah dkk. Sebutan ahli bid’ah menjadi semacam stigma yang harus ditegakkan. Terlihat dalam setiap pembukaan pidato menjadi semacam kewajiban untuk menyitir hadits tentang .. “tiap tiap bid’ah adalah sesat dan yang sesat tempatnya di neraka .. “. Dan percayakah .. bahwa setiap ada yang sebut ahli bid’ah maka yang ada dibenak kita adalah NU. Ironisnya justru stigma ini yang terus terawat dan tak ada tanda bakal kompromi.

*^^*

Jadi sekali lagi ini bukan gagasan personal Kyai Said Aqiel Siradz sebagai Ketua Umum PB NU sebaliknya merupakan gagasan semua ulama NU sebagai jawaban atas berbagai soal ke-Islam-an dan keber-agama-an yang ditabalkan sebagai tema muktamar. Lazimnya Ijtihad jika benar pahalanya dua jika keliru di beri satu pahala. Dan saya sangat menghormati ijtihad itu …
Wallahu a’lam.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *