Tokoh  habaib  ini merupakan putra ulama  terkenal  di  Betawi   dari   pasangan Habib  Usman  (mufti) dan  Fatimah Bahasywan yang  berasal dari  Gresik  Jawa Timur.   Lahir   di  Kupang   Nusa   Tenggara Timur  pada   tahun   1895  dan  wafat  pada tanggal 8 Maret 1979  pada  usia 84 tahun. Beliau dimakamkan di lahan pemakan mushola  kecil  di  wilayah  Jakarta   Timur yang   dahulunya   merupakan   salah   satu tempat   beliau   mengajar.  Kondisi  makam saat    ini   termasuk    terawat    dan    terjaga dengan  baik,   batu   nisan   terlihat   masih bagus  serta  di depan makam  terdapat satu kursi yang  terbuat  batu  untuk  para  penziarah.

Makam  berada dilokasi yang tidak  terlalu  luas  dan   sudah   padat   terisi,  kondisi  tersebut   membuat  daya tampung    berkurang    sehingga    ketika   anaknya   wafat   Habib   Nouval   bin Muhammad  bin  Yahya  pada   tahun   2012   dimakamkan  pada   satu  lubang dengan ayahnya (ditumpuk)  sebagaimana foto yang terdapat dalam nisan.

Nasab  beliau  yaitu  Muhammad  bin  Agil  bin  Usman (mufti) bin Abdullah bin Agil bin Umar bin Aqil bin Syaich bin Abdurrahman bin Agil bin Ahmad  bi Yahya  bin Hasan  bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Ali bin Awi bin Muhammad bin Alwi Alawiyyin bin Ubaidillah bin Ahmad  almuhajir bin Isa Arrumi bin Muhammadan Nagieb bin Ali Uraidy bin Jafar as-Shadiq bin Muhammadal-Baqir bin Zainal Abidin bin Husein Sayyidusy-Syuhada bin Fathimah Az-Zahra binti Muhammad SAW.

Habib  Muhammad bin Agil bin Usman  seperti  biasa  pada  umumnya anak  habaib,  mereka  belajar ilmu agama  di berbagai  tempat.  Seperti  di Garut beliau  belajar  dengan Sayyid  Abdullah  Shadaqoh  Dahlan,  kemudian  pada tahun   1912  berangkat   belajar  ke  Hadraumaut  dengan ayahnya dan  sanak saudaranya. Di sana  beliau belajar selama  8 tahun  pada  seorang  mufti Habib Abdurrahman bin Ubaidillah Assegaf. Setahun di sana  ayahnya Habib  Usman (mufti) wafat sehingga ia tidak berada disisinya saat terakhir itu.

Selama di Hadramaut beliau menekuni  bahasa Arab dan segala bentuk dialeknya,  bahkan  dikisahkan untuk memperdalam ilmu bahasa tersebut  beliau harus ke daerah-daerah pegunungan untuk menemui orang-orang Badwi yang terkenal memiliki kemampuan kefasihan berbahasa.

Pulang  dari   Hadraumat  beliau  belajar  ke  Habib   Muhammad  bin Ahmad  Al-Muhdhar di Bondowoso untuk belajar kitab al-Adzar selama  sekitar sebulan beliau belajar dan  kembali ke Jakarta  untuk menikah  dengan Syarifah Hasnah binti Yahya bin Usman sepupunya sendiri.

Kemampuan  dan  kepakaran bahasa  Arab  tersebut  semakin  terasah dalam  karir dan  dakwahnya, sehingga  beliau  di juluki  lughawi  (ahli  bahasa) dan “munjid berjalan” (nama  sebuah  kamus bahasa Arab yang sangat terkenal dan banyak dipakai sebagai referensi.

Berbekal kemampuan bahasa ini lahirlah surat  kabar  sebagai  wadah perjuangan dan pengabdiannya yaitu seperti al-mikwa (setrika), Barhut dan At- Turjuma yang terbit diberbagai  tempat dan waktu berbeda.

Koran tersebut di atas membawa semangat dan nilai-nilai kritis, perhatiannya kepada umat  serta bentuk  perjuangan terhadap penjajah. Media tersebut  membuat ide-ide  tentang  masalah agama, sosial  serta  keilmuannya sendiri  dalam  bahasa  Arab  dialek  Hadramaut  bisa  dinikmati  oleh  banyak orang, walaupun masih dari kalangan terbatas.

Bukan  hanya  dalam karya  cetak  beliau  juga  berjuang  dalam bidang pendidikan seperti dakwah  di majelis taklim-taklim di Jakarta, khususnya  mulai Pedati,  Kayu Manis, Tanah  Abang, Karet Tengsin, Kwitang. Untuk di madrasah pada  tahun  1920  permintaan dari  habaib  di  Palembang  untuk  mengajar   di sana  dan  sekaligus mendirikan  Madrasah  yang  saat  ini bernama Ar-Riyadh di daerah 13 Ulu, serta pada  tahun  1930 di Solo bersama teman-temannya mendirikan  Majelis al-Udaba (Majelis Para Sastrawan).

Peran  dan  aktifitas beliau  di organisasi  pun  tidak  kalah menariknya, diantaranya  beliau  aktif  sebagai   pengurus   Rabithah   Al-Alawiyah. Selain  itu dalam politik tercatat  sebagai  pengurus  dan anggota  partai Mansyumi sehingga di tahun  1950  beliau  ikut ditangkap  mendekam dipenjara  selama  lebih  dari setahun.

Muhammad  bin  Agil bin  Usman   bin  Yahya   sepanjang  perjalanan hidupnya banyak  memiliki murid, karena  banyak  mengajar  diberbagai  tempat, akan  tetapi  data  yang  tercatat  tidak demikian  diantaranya yang  tercatat  yaitu KH.  Drs.  Thoyyib  Izzi.  Khususnya  mushola  dimana   beliau  dimakamkan  di komplek pemakaman Mushola Arroudhoh  di Jalan Pedati  Raya  No.7  Jakarta Timur. Mushola ini merupakan tempat  beliau mengajar  pada  setiap selasa pagi mengajar   kitab  Ihya  Ulumiddin   kitab  tasawuf  termashsyur   karya  ulama  Al- Imam Al-Ghajali.

Habib Muhammad bin Agil bin Yahya bersama Istri

Sumber :  Buku 27  HABAIB  BERPENGARUH DI BETAWI: Kajian Karya  Intelektual dan Karya  Sosial Habaib Betawi dari  Abad ke-17 hingga Abad ke-21, Editor:  H. Rakhmad Zailani  Kiki, S.Ag, MM, diterbitkan oleh :  JAKARTA ISLAMIC CENTRES

[Periset : Dr. Mohammad Ziaulhaq  M., MPD]

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *