Secara umum, bangsa Eropa mulai menginjakkan kakinya di Indonesia sekitar abad ke 13. Pesona kekayaan hasil bumi yang melimpah dan aneka jenis tumbuh-tumbuhan memikat bangsa Barat tertarik dan berlomba datang ke Tanah Air untuk berniaga, memonopoli dan menguasainya. Kedatangan Marco Polo ke pantai utara Sumatera dan Cina tercatat dalam tahun 1292. Kedatangan bangsa asing ini terutama Portugis hakekatnya adalah dengan tujuan membawa misi zending kristenisasi (misionaris) dan sekaligus perdagangan rempah-rempah. Portugis menduduki Ternate lebih dari 50 tahun. Disusul kedatangan Spanyol di pasaran merica dalam tahun 1521. Kemudian Belanda dan Inggris.

Dalam tahun 1595 Belanda sudah datang ke Palembang, mula-mula melakukan bisnis dagang. Pada tahun 1620, VOC Belanda diizinkan membangun dan menempati lojinya di Sungai Aur. Kesultanan Palembang pada waktu itu dikenal negeri yang Darussalam, banyak menghasilkan komoditi khazanah hasil bumi dan rempah-rempah. Barulah dalam tahun 1640 terjadi kontak bisnis pertama sekali antara factory dagang Belanda dengan Palembang.

Dalam naskah Palembang, peristiwa perjanjian kontrak-kontrak dagang antara VOC Belanda dengan Kesultanan Palembang tercatat rapi dalam arsip manuskrip Palembang. Penandatanganan MoU atau perjanjian kontrak dagang tersebut terjadi bahkan sampai berkali-kali, diperbaharui, direvisi dan sebagainya karena kelicikan Belanda. Di antaranya ada 7 kontrak, yaitu dalam tahun 1662, 1678, 1679, 1681, 1691, 1722, 1755, dan seterusnya. Lima kali dalam masa Sultan Abdurrahman (memerintah: 1659-1706), dan masing-masing satu kali di masa Sultan Agung Qomaruddin (1714-1724) dan Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (1724-1757).

Di dalam manuskrip Palembang disebutkan sebagai berikut:
“Adapun permulaan berjanji konpeni Olanda dengan Raja Palembang itu, maka yaitu di dalam tahun Olanda…1662. Kemudian maka dibaharui pula di dalam tahun…1678. Kemudian maka dibaharui pula di dalam tahun…1679. Kemudian maka dibaharui pula di dalam tahun…1681. Kemudian maka dibaharui pula di dalam tahun…1691, di dalam bulan Januari arayyi yang kelima belas (15 Januari). Dan yaitu lima kali di dalam masa Sultan Suhunan Abdurrahman di atas tahta kerajaan. Kemudian maka dibaharui pula di dalam tahun Olanda…1722, dan yaitu di dalam masa Sultan Agung Qomaruddin di atas tahta kerajaan. Dan adalah yang menjadi Pangeran Ratu pada ketika itu di Palembang yaitu Sultan Mahmud Badaruddin. Maka adalah setengah daripada segala perjanjian yang telah terbuat itu berdamai dan bersahabat selama-lamanya antara Kompeni Olanda dengan Raja Palembang hingga sampai turun-temurun dengan tiada berobah. Dan kemudian dibaharui pula di dalam tahun Olanda…1755, di dalam bulan September pada hari yang kesepuluhnya (10 September 1755), dan yaitu di dalam masa Sultan Mahmud Badaruddin di atas tahta kerajaan.”

Yang menarik pada pembaharuan kontrak tgl 10 September 1755 tersebut, yaitu adanya perubahan penghapusan perjanjian jumlah banyaknya lada atau sahang dan timah Bangka. Dalam manuskrip disebutkan:

“Hanya yang dihilangkan daripada segala perjanjian pada ketika itu yaitu banyak ladah, yakni sahang, yang tiada ditetapkan itu jua, dan yaitu dua laksa pikul. Dan ditetapkan perjanjian sekalian timah yang keluar dari Palembang, yaitu timah Bangka, tiada boleh dijualkan pada yang lain daripada Kompeni Olanda menerima di Betawi hingga tiga ribu pikul di dalam semusim timah dibeli oleh Kompeni Olanda akan tiap-tiap satu pikul timah dengan harga lima belas real tuah. Dan jika diterima di Palembang niscaya dibeli Kompeni Olanda akan tiap-tiap satu pikul timah harga sepuluh real tuah.”

Sedangkan di zaman setelahnya, yakni dimasa Sultan Ahmad Najamuddin Adi Kesumo (1757-1776), periode Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1803), dan seterusnya hanya menjalankan serta memperbaharui surat kontrak sesuai kemufakatan kedua pihak yang telah ada sebelumnya. Selanjutnya dalam manuskrip menyebutkan:

“…dan telah diriwayatkan pada zaman Suhunan Ahmad Najamuddin kemudian daripada bergelarnya suhunan itu, Jenderal Petrus albertusen van der Parra (1761-1775) Gurunadur Jenderal di Betawi dan Suhunan Ahmad Najamuddin serta anaknya Sultan Muhammad Bahauddin, muwafaqat kedua pihak itu pada membaharui surat perjanjian yang ada telah terbuat pada zaman dahulu kala.”

Dari awal kontrak dibuat, sejak Dinasti Sultan Abdurrahman sampai Sultan Muhammad Bahauddin setidaknya sudah 16 Gubernur Jenderal di Betawi silih berganti, dan Sultan-sultan Palembang telah 6 generasi naik tahta. Menurut naskah Palembang:

“Bermula antara Jenderal Joan Maetsuycker (1653-1678) dan Jenderal Petrus albertusen van der Parra (1761-1775) Gurunadur itu enam belas Gurunadur Jenderal di Betawi.”

Wallahu a’lam…

Palembang, 17 Mei 2020

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *