Dr. Muchlis Hanafi mengatakan: “Ada beberapa faktor yang menyebabkan kesalahan (penulis) dalam berpikir, antara lain:

  • Fallacy of Hasty Generalization (Kekeliruan karena membuat generalisasi dan kesimpulan yang terburu-buru)/ التعميم والتسرع فى الحكم

Kekeliruan berpikir karena tergesa-gesa membuat generalisasi, yaitu mengambil kesimpulan umum dari kasus individual yang terlampau sedikit, sehingga kesimpulan yang ditarik melampaui batas lingkungannya, seperti: Dia orang Islam, mengapa membunuh? Kalau begitu, orang Islam memang jahat. Ini bisa dilihat dari penilaian Antum: Prof Quraish seorang mufasir, mengapa mengutip dari orang Syiah? Kalau begitu Prof. Quraish itu Syiah (h. 86-87). Sangat berlebihan penulis ketika mengatakan, “Pengutipannya dari mufassir Syiah ini (Thabathaba`i) selalu kita temukan di setiap halaman Tafsir Al-Mishbah” (h. 85). Atas dasar apa penulis berkesimpulan dengan kata ‘selalu’ dan ‘di setiap halaman’? Apakah benar demikian faktanya?

Atau, karena Prof. Quraish menggunakan rujukan dari berbagai kalangan, termasuk Syi`ah, orientalis dan sarjana Barat, lalu penulis berkesimpulan bahwa “Prof. Quraish adalah mufassir yang menggunakan teori filsafat eklektik”, atau “Prof. Quraish suka berubah-ubah dalam pemikiran dan penafsiran atau unpredictable”, seperti pada penutup buku (h. 207). Ketergesa-gesaan penulis dalam menyimpulkan yang berakhir salah memahami pendapat Prof. Quraish terlihat contohnya ketika penulis membahas persoalan jilbab adalah persoalan budaya (h. 152).

  • Fallacy of Forced Hypothesis (Kekeliruan karena memaksakan praduga)

Kekeliruan berpikir karena menetapkan kebenaran suatu du­gaan, seperti tuduhan Prof. Quraish Syi’ah, beraliran kiri (h. 102-103), liberal dan sesat dengan mengutip fatwa dan kriteria sesat menurut MUI (h. 88, 117). Obsesi penulis untuk menganggap Prof. Quraish aneh, nyleneh, salah dan syi`ah terlihat sekali. Padahal argumen yang dikemukakan rapuh seperti akan saya jelaskan dalam lampiran. Saya khawatir ini hanya menjadi fitnah terhadap Prof. Quraish yang lahir dari fanatisme terhadap pandangan tertentu dan tidak boleh terjadi dalam sebuah karya ilmiah.

  • Fallacy of Appealing to Authority (Kekeliruan karena mendasarkan pada otoritas)

Kekeliruan berpikir karena mendasarkan diri pada kewibawaan atau kehormatan seseorang tetapi dipergunakan untuk permasalahan di luar otoritas ahli tersebut. Al-Qur`an adalah kalâmullah yang tidak terbatas, sedangkan tafsir adalah upaya memahami kalam tersebut berdasarkan kemampuan manusia. Bisa berbeda antara satu dengan lainnya. Kalam-Nya tidak terbatas, sedangkan pemahaman manusia terbatas. Mengapa penulis hanya berpegang pada segelintir mufasir, meski dinilai alim, untuk memahami kebenaran maksud firman Allah. Seakan, kalau tidak ada dalam Tafsir Ibnu Katsir, al-Sa`di, al-Jazairi dan Ali al-Shobuni salah. Dalam kaidah tafsir, al-ma`ânî al-muhtamalah murâdah. Terbuka peluang keragaman pemahaman. Prinsip “i`rif al-haqqa ta’rif ahlahu”, “al-haqqu lâ yu`rafu bi al-rijâl” dan “al-hikmatu dhâllatul mu`min annâ wajadaha fahuwa ahaqqu bihâ”, seharusnya dipedomani dalam mencari kebenaran.

  • Fallacy of Oversimplification (Kekeliruan karena alasan terlalu sederhana)

Kekeliruan berpikir karena berargumentasi dengan alasan yang tidak kuat atau tidak cukup bukti. Atau kurangnya informasi yang penulis miliki (naqsh al-ma’lûmât). Ini bisa dilihat dalam rincian lampiran surat ini.

Dari segi substansi, saya mendapat kesan penulis sering sekali mengabaikan ‘amânah ilmiyyah’ yang menjadi prinsip etika penulisan karya ilmiah. Secara sederhana, amânah ilmiyyah dimaksud adalah yang dijelaskan para ulama dengan rumusan:

إن كنت ناقلا فالصحة وإن كنت مدعيا فالدليل

Kalau Anda mengutip maka kutiplah dengan benar, dan kalau mengklaim sesuatu maka datangkan argumennya.
Sering saya temukan penulis mengutip pandangan Prof. Quraish dalam tafsir Al-Mishbah secara tidak utuh. Yang dikutip Prof. Quraish dari pemikir lain Antum anggap sebagai pendapat Prof. Quraish, padahal beliau sendiri menyampaikan bantahannya, tetapi penulis abaikan bantahan tersebut (lihat kritik penulis soal: Hukum Qishah Boleh Diganti dengan Hukuman Penjara, h. 130, Selain Dagingnya, Babi Halal, h. 140, Hukum Potong Tangan Dapat Diganti Dengan Penjara, h. 146, Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama Pengganti Rasulullah Saw, h. 161, dll). Kutipan yang tidak utuh, apalagi hanya untuk memperturuti selera mencari kesalahan, adalah sikap yang menyalahi amanah ilmiyyah. Kalau betul untuk memenuhi obsesi mencari kesalahan, dengan mengabaikan hal-hal yang prinsip, maka penulis telah ‘menzalimi’ Prof. Quraish…”

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *