Sejarah thariqah atau tarekat di Indonesia diyakini sama tuanya dengan sejarah masuknya Islam ke nusantara itu sendiri. Para sejarawan barat meyakini, Islam bercorak sufistik itulah yang membuat penduduk nusantara yang semula beragama Hindu dan Buddha menjadi sangat tertarik. Tradisi dua agama asal India yang kaya dengan dimensi metafisik dan spiritualitas itu dianggap lebih dekat dan lebih mudah beradaptasi dengan tradisi thariqah yang dibawa para wali. Sehingga perubahan besar itu pun berlangsung nyaris tanpa meneteskan darah sedikit pun. Ini berbeda dengan proses Islamisasi di India yang dilakukan secara besar-besaran melalui penaklukan dan tekanan –bahkan konon sedikit pemaksaan dengan senjata.—oleh para raja muslim seperti Sultan Mahmud Ghazna, Aurangzeb, Haidar Ali, Tipu Sultan, dan sebagainya. Namun hingga saat ini India –terlebih setelah terbagi tiga dengan Pakistan dan Bangladesh yang muslim— Islam tetap tidak berhasil secara massif menggeser Hindu sebagai agama mayoritas masyarakat.[1]
Besarnya pengaruh tarekat dalam islamisasi juga didukung dengan dari temuan sejarah bahwa sebenarnya Islam sudah masuk di Nusantara sejak abad ke-7, dan di jawa sejak abad 11 M, namun sejauh itu tidak cukup signifikan mengubah agama masyarakat nusantara. Islam saat ini hanya menjadi agama para pendatang yang berkumpul dalam komunitas-komunitas kecil di beberapa kota di pesisir Jawa, seperti di Leran (Gresik), Indramayu dan Semarang. Sementara penduduk asli diceritakan masih hidup dengan agama lamanya, bahkan digambarkan dengan pola hidup yang “kotor”.[2]
Proses islamisasi nusantara secara besar-besaran baru terjadi pada penghujung abad 14 atau awal abad 15, bersamaan dengan masa keemasan perkembangan tasawuf akhlaqi yang ditandai dengan munculnya aliran-aliran thariqah di Timur Tengah. Fase itu sendiri telah dimulai sejak Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (wafat 1111 M) merumuskan konsep tasawuf moderat yang memadukan keseimbangan unsur akhlaq, syariat, dan filsafat. Konsep itu diterima secara terbuka oleh kaum fuqaha yang sebelumnya menentang habis-habisan ajaran tasawuf falsafi yang kontroversial. Dilanjutkan dengan bermunculannya pusat-pusat pengajaran tasawuf yang dipimpin oleh para sufi terkemuka seperti Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (wafat 1166 M), yang ajaran tasawufnya menjadi dasar Thariqah Qadiriyyah. Ada juga Syaikh Najmudin Kubra (wafat 1221 M), sufi Asia Tengah pendiri Thariqah Kubrawiyyah; Syaikh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili (wafat 1258), pendiri Thariqah Syadziliyyah asal Maghribi, Afrika Utara; Ahmad Ar-Rifa’i (wafat 1320) yang mendirikan Thariqah Rifa’iyyah. Belakangan, pada awal abad keempat belas juga lahir Thariqah Naqsyabandiyyah yang didirikan oleh Syaikh Muhammad Bahauddin An-Naqsyabandi (wafat 1389) di Khurasan dan Thariqah Syathariyyah yang didirikan Syaikh Abdullah Asy-Syaththari (wafat 1428 M).
Tarekat-tarekat ini kemudian menyebar ke seluruh dunia, termasuk ke nusantara, melalui para penyebar agama Islam. Mencapai puncaknya pada abad 17-18, bersamaan dengan orang-orang Jawi yang naik haji. Hingga saat ini tak kurang dari 44 thariqah yang telah ada dan tersebar di seluruh Indonesia.[3]
Sejarah Kemunculan Tarekat Sufi
Pada hakekatnya tarekat bukanlah sesuatu yang terpisah dari syariat, sebab tarekat adalah pengejawantahan dari syariat itu sendiri. Sebagaimana lazim dikatakan orang, “Syariat tanpa tarekat adalah kosong, sedangkan tarekat tanpa syariat adalah bohong.” Terkait hal ini Prof. Dr. Abu Bakar Atjeh dalam bukunya, Pengantar Tarekat, dengan tegas menyatakan, “Tarekat merupakan bahagian terpenting daripada pelaksanaan tasawwuf. Mempelajari tasawwuf dengan tidak mengetahui dan melakukan tarekat merupakan suatu usaha yang hampa. Dalam ajaran tasawwuf diterangkan, bahwa syari’at itu hanya peraturan belaka, tarekatlah yang merupakan perbuatan untuk melaksanakan syari’at itu, apabila syari’at dan tarekat ini sudah dapat dikuasai, maka lahirlah hakekat yang tidak lain daripada perbaikan keadaan atau ahwal, sedang tujuan yang terakhir ialah ma’rifat yaitu mengenai dan mencintai Tuhan dengan sebaik-baiknya.”[4]
Habib Muhammad Luthfi bin Yahya, Pemimpin Jamiyyah Ahlit Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah, membagi tarekat menjadi dua: Thariqah Syari’ah dan Thariqah Wushul. Thariqah Syari’ah adalah seperangkat aturan-aturan fiqh yang disebutkan dalam berbagai kitab-kitab para fuqaha’ yang mu’tabar, para muhaditsin, mutakallimin dan mufassirin yang mu’tabar. Sedang thariqah wushul adalah upaya mematik natijah (hasil) dari pelaksanaan thariqah syari’ah dengan mengikuti bimbingan seorang syaikh dengan penuh khidmah (pengabdian), muwafaqah (menganggap benar) dan menghindari buruk sangka, serta berupaya membersihkan hatinya dari berbagai sifat tercela, menghiasinya dengan sifat mulia, dan memperbanyak dzikir, menyebut nama Allah. Karena pembersihan hati dari berbagai hal negatif tersebut hukumnya wajib, maka wajib pula hukum memasuki thariqah.[5]
Dalam sejarah perkembangan Islam, tasawuf dan tarekat mengalami pasang surut. Sebagai bagian dari pelaksanaan syariat, tasawuf sudah ada sejak zaman Rasulullah, dilanjutkan pada masa sahabat, kemudian berkembang sebagai suatu disiplin ilmu sejak abad ke-2 H, lewat para tokoh seperti Hasan-Al-Bashri, Sufyan Al-Tsauri, Al-Harits ibn Asad Al-Muhasibi, Abu Yazid Al-Busthami, dan sebagainya. Meski dalam perjalannya tasawuf juga tak lepas dari kritikan para ulama eksoteris—ahli fiqih, hadis, dan sebagainya.
Betapapun juga praktik-praktik tasawuf pun, seperti diungkapkan oleh para peneliti mengenai disiplin ini, dimulai dari jantung kelahiran dan penyiaran agama Islam, yakni Kota Makkah dan Madinah. Hal ini tampak jelas jika kita lihat domisili tokoh-tokoh perintis kehidupan tasawuf yang namanya kita sebutkan di atas. Pandangan yang menyatakan bahwa tasawuf merupakan imbas kebudayaan Persia kiranya juga terbantah oleh kenyataan ini. Selain jumlah yang sedikit, di kalangan penganut tasawuf-awal para sufi asal Persia baru dikenal belakangan.
Hadar Bagir membagi perioisasi pertumbuhan dan perkembangan tasawuf ke dalam beberapa tahap[6] :
- Tahap Zuhud (Asketisme)
Tahap awal perkembangan tasawuf ini merentang mulai akhir abad ke-1 H sampai kurang lebih abad ke-2. Gerakan zuhud—yakni, promosi “gaya hidup” sederhana dan serba kekurangan untuk melatih jiwa agar tak terlalu terikat dengan kehidupan dunia—ini pertama kali muncul di Madinah, Kufah, dan Bashrah, sebelum kemudian menyebar ke Khurasan dan Mesir. Awalnya sebagai respons terhadap gaya hidup mewah para pembesar negara sebagai akibat dari perolehan kekayaan melimpah setelah Islam mengalami perluasan wilayah ke Suriah, Mesir, Mesopotamia, dan Persia.
Berikut ini adalah tokoh-tokohnya menurut tempat-perkembangannya:
Para zahid yang tinggal di Madinah dari kalangan sahabat, seperti Abu Ubaidah Al-Jarrah (w. 18 H), Abu Dzar Al-Ghiffari (w. 22 H), Salman Al-Farisi (w. 32 H), Abdullah ibn Mas‘ud (w. 33 H). Sedangkan dari kalangan satu generasi setelah masa Nabi (Tabi‘în) termasuk di antaranya adalah Said ibn Musayyab (w. 91 H) dan Salim ibn Abdullah (w. 106 H).
Tokoh-tokoh zuhud di Bashrah adalah Hasan Al-Bashri (w. 110 H), Malik ibn Dinar (w. 131 H), Fadhl Al-Raqqasyi, Kahmas ibn Al-Hadan Al-Qais (w. 149 H), Shalih Al-Murri dan Abul Wahid ibn Zaid (w. 171 H) dari Abadan.
Tokoh-tokohnya “aliran” Kufah adalah Al-Rabi ibn Khasim (w. 67 H), Said ibn Jubair (w. 96 H), Thawus ibn Kisan (w. 106 H), Sufyan Al-Tsauri (w. 161 H), Al-Laits ibn Said (w. 175 H), Sufyan ibn Uyainah (w. 198), dan lain-lain.
Sedangkan tokoh-tokohnya di Mesir, antara lain, adalah Salim ibn Attar Al-Tajibi (w. 75 H), Abdurrahman Al-Hujairah (w. 83 H), Nafi’, hamba sahaya Abdullah ibn Umar (w. 117 H), dan lain-lain.
Pada masa-masa terakhir tahap ini mulai muncul tokoh-tokoh yang belakangan telah dikenal sebagai para sufi sejati, termasuk di antaranya Ibrahim ibn Adham (w. 161 H), Fudhail ibn ‘Iyadh (w. 187 H), Dawud Al-Tha’i (w. 165 H), dan Rabi‘ah Al-‘Adawiyyah.
- Tahap Tasawuf (Abad III dan IV H)
Pada paruh pertama abad ke-3 H, wacana tentang zuhud mulai digantikan oleh tasawuf. Ajaran para sufi ini pun tidak lagi terbatas pada promosi gaya hidup zuhud belaka. Para sufi dalam tahap ini mulai memperkenalkan disiplin dan metode tasawuf, termasuk konsep-konsep dan terminologi baru yang sebelumnya tidak dikenal: maqâm, hâl, ma‘rifah, tauhîd (dalam maknanya yang khas tasawuf), fanâ’, hulûl, dan lain-lain. Tokoh-tokohnya termasuk Ma‘ruf Al-Karkhi (w. 200 H), Abu Sulaiman Al-Darani (w. 254 H), Dzul Nun Al-Mishri (w. 245 H), dan Junaid Al-Baghdadi.
Pada masa itu juga muncul karya-karya tulis yang membahas tasawuf secara teoretis ini, termasuk karya-karya Al-Harits ibn Asad Al-Muhasibi (w. 243 H), Abu Said Al-Kharraz (w. 279 H), Al-Hakim Al-Tirmidzi (w. 285 H), dan Junaid Al-Baghdadi (w. 297 H).
Dua peridoe awal ini seringkali disebut fase tasawuf amali. Pada masa ini juga mulai muncul para sufi yang belakangan dikenal mempromosikan tasawuf yang berorientasi “kemabukan” (sukr) antara lain Al-Hallaj dan Ba Yazid Al-Busthami. Di antara ciri tasawuf mereka adalah lontaran-lontaran ungkapan ganjil yang seringkali susah dipahami dan terkesan melanggar keyakinan umum kaum Muslim (syathahât atau syathhiyât), semisal “Akulah Sang Kebenaran” (Anâ Al-Haqq) atau “Tak ada apa pun dalam jubah—yang dipakai oleh Busthami—selain Allah” (mâ fil-jubbah illâ Allâh), dan sebagainya.
- Tahap Tasawuf Falsafi (Abad VI H)
Dilihat dari sebutannya, tasawuf falsafi merupakan perpaduan antara pencapaian pencerahan mistikal dan pemaparan secara rasional-filosofis. Ibn ‘Arabî adalah tokoh utama aliran ini, di samping juga Al-Qunawi, muridnya. Sebagian ahli memasukkan Al-Hallaj dan Abu (Ba) Yazid Al-Busthami juga ke dalam kelompok ini. Aliran ini kadang disebut juga dengan ‘Irfân (Gnostisisme) karena orientasinya pada pengetahuan (ma‘rifah atau gnosis) tentang Tuhan dan hakikat segala sesuatu.
Beberapa karya sufistik Ibnu Arabi yang bercorak falsafi antara lain Fushush al-Hikam, Futuhat al-Makkiyyah dan Tarjuman al-Asywaq.[7]
B. Pelembagaan Tarekat Sufi Pada Abad Pertengahan
Meskipun tarekat telah dikenal sejak jauh sebelumnya, seperti Tarekat Junaidiyyah yang bersumber pada ajaran Abu Al-Qasim Al-Junaid Al-Baghdadi (w. 297 H) atau Nuriyyah yang didirikan oleh Abu Hasan ibn Muhammad Nuri (w. 295 H), baru pada abad 6 Hijriahlah tarekat berkembang dengan pesat. Hal ini dimulai sejak Al-Ghazali sukses dengan merumuskan konsep tasawuf moderatnya yang dianggap selaras dengan syariat.
Setelah itu berturut-turut muncul tokoh-tokoh sufi yang mendirikan zawiyyah pengajaran tasawuf akhlaqi di berbagai tempat. Sebut saja Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (wafat 1166 M), yang ajaran tasawufnya menjadi dasar Thariqah Qadiriyyah. Ada juga Syaikh Najmudin Kubra (wafat 1221 M), sufi Asia Tengah pendiri Thariqah Kubrawiyyah; Syaikh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili (wafat 1258), pendiri Thariqah Syadziliyyah asal Maghribi, Afrika Utara; Ahmad Ar-Rifa’i (wafat 1320) yang mendirikan Thariqah Rifa’iyyah.
Selain itu, awal abad keempat belas juga menjadi fase pertumbuhan Thariqah Naqsyabandiyyah yang didirikan oleh Syaikh Muhammad Bahauddin An-Naqsyabandi (wafat 1389) dan Thariqah Syathariyyah yang didirikan Syaikh Abdullah Asy-Syaththari (wafat 1428 M). Kedua thariqah tersebut belakangan menjadi yang thariqah besar yang memiliki banyak pengikut di tanah air.[8]
No responses yet