Jika Semua Pohon Di Bumi Dijadikan Pena … ” ( Q.S. 31:27 )
Michel Chodkiewicz
Dalam Futûhât, Ibn ‘Arabî dengan santai menceritakan sebuah anekdot yang mungkin bisa menjadi “exergue” (sorotan )untuk penjelasan berikutnya. Tokoh dari anekdot tersebut adalah Malik, imam pendiri salah satu dari empat mazhab yurisprudensi (fiqh) Sunni. Malik b. Anas ditanya, “Bagaimana pendapat Anda tentang keabsahan daging babi air (khinzir al-mâ’): ungkapan yang mengacu pada hewan sebangsa ikan paus (cetacean)’ pada umumnya, tetapi lumba-lumba pada khususnya)? Dia menjawab: “fa-afta”, maka aku berfatwa, (fatwa adalah konsultasi yudisial atau jawaban hukum bukan obrolan sederhana) bahwa “babi air itu haram (ilegal).” Orang yang bertanya mengajukan keberatan: “Apakah hewan ini bukan termasuk keluarga hewan laut (secara harfiah, “ikan,” yang dagingnya halal)?” “Tentu saja,” katanya, “tetapi Anda menyebutnya babi [khinzir).”
Beberapa orang mungkin tergoda untuk menggolongkan hewan sebangsa ikan paus ambigu ini di antara fantasi taksonomi sebuah kasuistis maniak. Tetapi Ibn ‘Arabî menyebutkannya pada dua kesempatan yang berbeda menunjukkan hal itu menjadi sesuatu yang sama sekali berbeda baginya. Yang dipertanyakan di sini adalah hukum nama (hukm al-ism) dan rahasia penamaan (tasmiya), yang membawa kita ke inti hermeneutika Ibn Arabî.
Tuduhan seperti ateisme (zandaqa ) dan libertinisme (ibâha, baik dalam pengertian filosofis maupun dalam penggunaan umum-ibâha: serba boleh) adalah biasa dalam ilmu perbid’ahan (heresiology). Namun, melihat lebih dekat pada tulisan-tulisan yang memusuhi Shaykh al-Akbar (Ibn ‘Arabî) dari abad ketiga belas hingga hari ini, menunjukkan munculnya tuduhan lain secara teratur: pennistaan. Penistaan yang dimaksud adalah tahrif ma’âni al-qur’ân, “pembalikan makna Alqur’an”. Kasus ini terlihat sejak Ibn Taymiyya, yang secara praktis merupakan pendiri ‘polemik anti-Akbari’ (anti-Ibn ‘Arabî) dan yang mensuplai secara terstruktur untuk kecaman-kecaman selanjutnya. Hal ini juga terdapat dalam Kashf al-Ghitâ karya Husain b. al-Ahdal (w. 1451) dan dalam Tanbîh al-Ghabî karya Burhân al-Dîn al-Biqa’î (w. 1475).
Kasus ini kembali diangkat dengan antusias oleh Sakhäwi (w. 1497), yang menyusun katalog kecaman sebelumnya dalam al-Qawl al-Munbi-nya yang keras dan tidak diedit. Dan, apakah para penulis Muslim itu mendukungnya atau memujinya, karya-karya sarjana universitas modern yang didedikasikan untuk Ibn ‘Arabi umumnya menggemakan pendapat para penulis Muslim itu tentang hal ini, seperti dicatat dalam karya-karya Nicholson, Landau, atau ‘Afifi, dan Henry Corbin, yang sebagiannya, sering dengan kagum menampilkan Shaykh al-Akbar sebagai ahli kebatinan (bâtinî), perasaan tersembunyi—dia yang menghancurkan kekakuan bentuk (formalitas), untuk mencapai, sarana interpretasi esoteris yang bebas, sebuah ta’wil baru pemahaman Wahyu. Tidak perlu banyak membayangkan apa gunanya para penganut Islam tertentu dari permintaan maaf yang berbahaya hari ini.
Ibn ‘Arabi menegaskan bahwa “segala sesuatu yang kami bicarakan dalam pertemuan kami dan dalam tulisan-tulisan kami berasal dari Alqur’an dan perbendaharaannya. Dalam sebuah karya yang tidak diterbitkan (Radd al-mâtin) di mana ia mengambil pembelaan Syekh al-Akbar, ‘Abd al-Ghani al-Nabulusi menggarisbawahi, mengacu pada auto-da-fe karya Ibn ‘Arabi yang dilarang oleh ahli hukum tertentu yang mencari bid’ah dengan semangat yang tak kenal lelah, bahwa mereka yang berniat untuk mengeksekusi kalimat seperti itu menemukan diri mereka dalam situasi parnoxical: jika mereka meninggalkan kutipan Qur’ani yang tak terhitung jumlahnya dalam karya-karya Ibn ‘Arabi yang mereka bakar ke dalam api, mereka berakhir membakar firman Tuhan. Di sisi lain, jika mereka menghapus bagian-bagian sebelum pembakaran, maka karya-karya yang akan dibakar bukan lagi karya Ibn ‘Arabi, karena Alqur’an merupakan bagian integral dari karya-karya. Setiap pembaca Ibn ‘Arabi melihat banyak sekali referensi (Alquran) halaman demi halaman. Lebih jauh harus dicatat bahwa bibliografi Ibn ‘Arabi memiliki kekosongan yang sangat besar karena hilangnya tafsir besar, Kitâb al-jam’ wa al-tafsîl fî asrâr ma’ani al-tanzîl yang disebutkan di atas.” Tapi selain penerbitan teks yang sampai sekarang tidak diterbitkan, ljâz al-bayân, “yang merupakan tafsir kecil, kami berhutang budi kepada Syekh Mahmüd Ghuráb untuk publikasi terbaru dari koleksi empat jilid besar (Tafsîr al-Rahmân min al-Rahîm) di mana ia telah mengumpulkan kembali (tafsir Ibn ‘Arabî) dan menyusun teks tafsir Ibn ‘Arabi berdasarkan surat dan ayat.” Berdasarkan ukurannya saja, antologi yang mengesankan ini menunjukkan bahwa pengamatan Nábulusi tidak relevan.
Pertimbangan-pertimbangan kuantitatif ini, meskipun layak untuk diterangkan, tentu saja bersifat sekunder. Ini bukan pertanyaan untuk menarik penilaian fuqahâ’ (atau lebih tepatnya, fuqahâ’ tertentu dari mereka. Dalam katalog tebal fatwa tidak ada kekurangan fuqahâ’ yang menguntungkan. Diinstruksikan dengan metode yang sama, percobaan baru, terlepas dari hasilnya datang, apakah dia tidak lebih dari sekadar peripeteia peradilan lainnya. Jika fugahá dan tidak lebih adalah jaminan ortodoksi, maka kasusnya akan disidangkan.
Meskipun Dhahabî (w. 1348) menyatakan bahwa penyebaran karya-karya Ibn ‘Arabî relatif terlambat dan bahwa ajaran sesatnya hanya dapat diperoleh sejak abad kedelapan belas dan seterusnya” penulis Futûhát mulai mengalami kesulitan yang cukup awal. Kisah ini, diceritakan oleh para ahli yang relatif baru, di mana nyawanya berada dalam bahaya di Kairo pada tahun 602/1206 dan hanya diselamatkan karena campur tangan salah satu saudara Saladin mungkin adalah rekayasa.” Tapi peristiwa lain- Contoh yang membuatnya menulis komentar pada Tarjumân al-Ashwâq bahwa dia dicurigai. Menang benar bahwa Ibn ‘Arabî menilai para fuqahâ berperilaku baik: Mereka (para fugahâ’) selalu kepada mereka yang telah mencapai realisasi spiritual (al-muhaqqiqûn) seperti para pharaoh bagi para nabi. Sang Mahdi, “yang dibimbing dengan benar,” ketika dia datang di akhir zaman, tidak akan memiliki musuh yang lebih jahat, “Jika pedang tidak ada di tangannya, mereka (fuqahâ’, melalui fatwanya) akan menjatuhkan hukuman mati (kepada ulama yamg dibencinya). Dalam upaya mereka untuk menyenangkan para pangeran dan yang berkuasa, mereka tidak ragu-ragu untuk melakukan mengangkat kasus-kasus tertentu yang merupakan dianggap menista Hukum Suci (Sacred Law) yang penafsirannya mereka inginkan.” Jika dia mengungkap praktik-praktik menyimpang yang terlalu sering dari fungsi ahli hukum (faqîh), Ibn Arahi tidak mempersoalkan apakah perlunya refleksi yuridis-atau kewajiban hati-hati yang diwajibkan pada fuqahâ’ (bahkan ketika mereka berbicara tentang orang-orang suci), ketika kata-kata dari orang-orang suci (awliyâ’) menyesatkan jiwa-jiwa yang lemah), asalkan mereka menahan diri dari mengutuk sebagai kekafiran (kufr) semua yang tidak mampu mereka pahami.
Tapi butuh lebih banyak untuk meredakan kemarahan kelompok yang iri dan curiga terhadap hak-hak istimewa ini. Dua artikel muncul pada bulan April 1990, terpisah satu minggu, di harian Mesir Al-Akhbar. Artikel-artikel tersebut, yang mungkin cukup baik hati, diilhami oleh publikasi terbaru dan masing-masing berjudul “Ibn ‘Arabi di Prancis” (Ibn ‘Arabî in France) dan Fenomena Ibn ‘Arabi di Prancis” (The Ibn ‘Arabî Phenomenon in France). Fenomena Ibn ‘Arabî, “dengan menggunakan ekspresi artikel tersebut” tidak hanya terbatas di Prancis: fenomena Shaykh al-Akbar berkembang biak di seluruh dunia termasuk misalnya, Jepang, di negara-negara bekas Uni Soviet, dan, seperti yang telah ditunjukkan, negara-negara Muslim.
No responses yet