Jagat media sosial saat ini diramaikan dengan kata “hijrah”. Kata ini dimaknai secara kreatif oleh umat Islam Indonesia saat ini terutama yang tinggal di kawasan perkotaan. Kata “hijrah” bukan lagi diartikan migrasi fisik dari satu tempat ke tempat lain, merujuk pada hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah. hijrah sekarang ini dimaksudkan sebagai peralihan diri dari yang tidak atau kurang religius menjadi sangat religius. Pemaknaan baru hijrah ini cukup praktis dan terasa sekali ghirah atau semangatnya.
Dari perspektif yang positik, perkembangan in iperlu disambut dengan baik. Namun perlu ada langkah-langkah yang tepat. Para pendakwah atau para ahli di bidang agama harus menfasilitasi umat Islam yang ingin belajara agama agar mendapatkan sumber pembelajaran agama Islam yang otoritatif dan moderat.
Dulu, orang susah menemukan saluran belajar agama. Mereka yang kita sebut para pehijrah ini berjarak dengan kaum santri yang memang sehari-hari bergelut dengan ilmu-ilmu agama. Sekalipun ada kiai atau ustadz di dekat rumah, para calon pehijrah tidak selalu menemukan saluran komunikasi yang pas untuk mulai menanyakan soal-soal agama. Mereka juga mungkin masih berat melangkahkan kaki mengikuti majelis taklim. “Memangnya siapa saya?” Ada beban sosial dan juga psikologis karena mereka baru mulai menapaki kesalihan.
Sekarang, para pehijrah menemukan agama di smartphone mereka. Tak perlu datang ke ustadz atau ikut majelis taklim, search angine Google akan menjawab pertanyaan apapun soal agama yang mereka butuhkan. Bukan sekedar tata cara shalat yang baik dan benar, dengan mengetik beberapa kata di Youtube ibu-ibu atau para wanita karir yang ingin menutup aurat juga akan mendapatkan tutorial berhijab yang syar’i tapi tetap modis dan bisa beraktifitas seperti biasa.
Semangat para pehijrah untuk belajar agama dan mengamalkan anjuran agama ini sangat luar biasa. Bukan hanya perkara wajib, tetapi juga amalan-amalan sunnah. Misalnya, seseorang pehijrah di satu WAG tiba-tiba mengajak tetangganya bikin acara buka puasa bersama di hari pertama bulan Rajab, atau menyebarkan meme ajakan shalat gerhana bulan: aktifitas religius warga yang mungkin tidak terbanyangkan beberapa tahun yang lalu.
Gejala ini tidak sebenarnya hanya ada di kota besar, tapi di tempat-tempat di belahan dunia yang terjangkau internet. Para pehijrah tersambung satu sama lain, lintas negara, lintas usia, dan strata ekonomi. Mereka saling berbagi informasi, berbagi ilmu, berbagi simpati, bahkan saling berkirim derma. Ini adalah sisi lain dari revolusi teknologi. Bahwa teknologi informasi juga bisa menjadi saluran warga untuk menjadi religius.
Para pehijrah sebenarnya tidak banyak butuh terlibat dalam kajian yang terlalu ilmiah, kontroversi (khilafiyah) dan perdebatan soal pemahaman agama, apalagi istilah-istilah khusus yang dipelajari di ma’had ali atau perguruan tinggi Islam. Mdereka tidak banyak berkepentingkan dengan yang sumit-rumit soal agama, namun ajaran ajaran yang bisa diterapkan, mulai dari ibadah ritual wajib, amalan-amalan sunnah baik ritual maupun sosial, tata cara bergaul yang benar sesuai perintah agama, tuntunan dalam berkeluarga, dan seterusnya. Selebihnya, mereka berkutat dalam aktivitas rutin kerja dan rumah tangga.
Dibandingkan soal-soal filosofis agama yang rumit-rumit, para pehijrah lebih suka tuntunan praktis yang bersifat rutin, syukur-syukur yang bersifat motivasi, sesuai dengan semangat perbaikan diri dalam proses berhijrah itu. Seorang pekerja kantor mengingatkan rekannya di jam istirahat. “Eh sudah live loh. Temanya tentang qadha puasa Ramadhan,” katanya. Dia rutin mengikuti pegajian seorang ustadz di akun Instagramnya.
Kampanye Moderasi
Karakter beragama kaum muslim baru tersebut sangat dipengaruhi oleh konten keislaman yang mereka peroleh dari internet. Sementara penjelasan-penjelasan mengenai ajaran agama cenderung diterima sebagai sebuah ajaran untuk diamalkan, karena sesungguhnya yang diinginkan oleh para pehijrah adalah pengamalan ajaran agama, bukan berdiskusi soal agama seperti layaknya kalangan akademisi.
Karena itulah pesan-pesan moderasi agama, dalam hal ini moderasi Islam, perlu didiseminasikan melalui media baru ini agar dimanifestasikan oleh para pehijrah yang sedang bersemangat menjalankan ajaran agama. Tidak perlu memunculkan banyak perdebatan ilmiah, pesan moderasi diterjemahkan dalam bahasa pesan praktis untuk bisa diamalkan oleh para pehijrah.
Istilah „moderasi Islam‟ atau „muslim moderat‟ menjadi salah satu fokus perhatian para peneliti agama di Timur dan Barat, meskipun pemaknaannya agak berbeda. Kata kunci yang dikaji di sini adalah „moderasi‟ atau „moderat‟ yang dilekatkan dengan agama Islam atau penganut Islam (Muslim). Pada mulanya, kosa kata khusus ini dihasilkan oleh media dan akademisi yang dilatarbelakangi meletusnya revolusi Iran pada 1979. Penyebutan moderasi atau moderat itu digunakan untuk menggambarkan Islam atau Muslim terkait hubungannya dengan Barat. Misalnya, Geneive Abdo, seorang jurnalis Amerika asal Timur Tengah, muncul dengan frasa „Islamis moderat‟ berlawanan dengan „Islamis garis keras‟. Beberapa rekan jurnalisnya langsung mengadopsinya.
Secara teoritis, perdebatan tentang moderasi telah berkembang sedemikian rupa ke dalam studi tentang politik partai (terutama di Barat) dan nasib kelompok-kelompok pasca- revolusioner yang dihadapkan dengan integrasi ke dalam politik yang terlembagakan. Diskusi tentang kaum moderat dan radikal muncul dalam perdebatan tentang manfaat dan risiko inklusivitas demokrasi, tantangan demokratisasi, dan substansi demokrasi itu sendiri. Singkatnya, moderasi didefinisikan secara sempit sebagai komit men untuk menjalankan praktik demokrasi.
Tampaknya, penggunaan istilah moderasi oleh Barat sebagian besar berkaitan dengan agenda politik mereka di dunia Muslim. Seperti disinggung di atas, istilah „moderat‟ atau „moderasi‟ yang dipakai oleh para jurnalis merupakan antitesa dari istilah „radikal‟. Penggunaan istilah ini secara implisit (dan kadang-kadang secara eksplisit) oleh para sarjana dan peneliti Barat terkait dengan gagasan liberal tentang hak-hak individu dan gagasan demokratis tentang toleransi, pluralisme, dan kerja sama Muslim (terutama di Timur Tengah) dengan Barat. Teori-teori moderasi selalu memperlakukan moderasi sebagai semacam adaptasi, kesediaan untuk bekerja sama atau kompromi, dan fokus untuk menemukan minat atau atribut ideologis yang dilekatkan dengan Barat.
Sedangkan, penggunaan istilah moderasi oleh para sarjana Islam secara fundamental mengacu pada teologi, etika, dan sistem kepercayaan di dalam Islam. Berbeda dengan Barat, penggunaan istilah moderasi oleh orang Islam selalu dilekatkan dengan kata dalam bahasa Arab „al-wasath‟ atau „al-wasathiyyah‟ atau „tengah-tengah‟ atau „posisi tengah‟. Sementara kata „al-wasath‟ (اطسو) ini merujuk pada surat Al-Baqarah ayat 143 berikut ini:
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.”
Ketika istilah moderasi dilekatkan dengan kata Islam menjadi moderasi Islam maka oleh para sarjana Islam ini dimaksudkan sebagai „al-wasathhiyah al-islamiyyah‟. Kata „wasath‟ dan pemaknaannya merujuk pada ayat tersebut. Syekh Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan moderasi sebagai bentuk keseimbangan dalam keyakinan, sikap, perilaku, ketertiban, muamalah, dan moralitas. Moderasi Islam menunjukkan pemahaman bahwa Islam adalah agama yang sangat moderat, tidak berlebihan dalam semua urusan, tidak berlebihan dalam agama, tidak ekstrem pada kepercayaan, tidak sombong atau lembut dan lain-lain.
Islam yang berkarakter moderat merupakan ajaran yang dibangun oleh Al-Qur‟an. Umat yang washat (moderat) tidak memihak pada satu sisi, berlaku adil di tengah beragamnya agama, budaya, dan peradaban sehingga terbuka menjadi saksi atau berlaku adil. Apabila ditarik dalam dunia pendidikan, misalnya, moderasi yang dimaksud dalam ajaran moderasi Islam berarti menyeimbangkan pendidikan dan kebutuhan pada setiap era generasi dalam menyesuaikan perkembangan zamannya.
Moderasi juga dikaitkan dengan „al-wasathiyyah‟ oleh Yusuf Qardawi dalam karyanya “Kalimat fi al-Wasathiyyah wa Madlimiha”. Moderasi Islam adalah sebuah pandangan atau sikap yang selalu berusaha mengambil posisi tengah dari dua sikap yang berseberangan dan berlebihan sehingga salah satu dari kedua sikap yang di maksud tidak mendominasi dalam pikiran dan sikap seseorang. Ia mempunyai hubungan dengan kata tawazun, i’tidal atau ta’adul dan istiqamah.
Istilah “moderasi beragama” sebagaimana digunakan oleh Kementerian Agama sebenarnya lebih tepat daripada “moderasi agama”, karena pada dasarnya setiap agama mempunyai kandungan ajaran mengenai moderasi. Namun yang perlu dimoderasi adalah cara kita beragama atau cara kita memahami agama atau cara kita mengekspresikan ajaran agama. Inilah yang disebut dengan moderasi beragama. Beragama secara moderat sudah menjadi karakteristik umat beragama di Indonesia, dan lebih cocok untuk kontur masyarakat kita yang majemuk. Beragama secara moderat adalah model beragama yang telah lama dipraktikkan dan tetap diperlukan pada era sekarang.
Apalagi belakangan ini, keragaman Indonesia sedang diuji, dimana sikap keberagamaan yang ekstrem diekspresikan oleh sekelompok orang atas nama agama, tidak hanya di media sosial, tapi juga di jalanan. Tidak hanya di Indonesia, bahkan dunia sedang menghadapi tantangan adanya kelompok masyarakat yang bersikap eksklusif, eskplosif, serta intoleran dengan mengatasnamakan agama.
Bersambung..
No responses yet