Categories:

Oleh: Rena Kasmarani

Fenomena kekerasan dan pelecehan seksual telah lama menjadi masalah di kalangan masyarakat. Kekerasan ini dapat terjadi di berbagai lapisan masyarakat, tanpa memandang usia, jenis kelamin, atau latar belakang sosial. Kekerasan dan pelecehan juga seksual dapat terjadi dimana saja, baik dalam lingkungan pendidikan, pekerjaan, bahkan keluarga. Namun, umumnya kekerasan dan pelecehan seksual paling sering terjadi pada perempuan, di sisi lain sering menganggap bahwa perempuan merupakan lambang kesucian, moralitas, dan berbagai istilah lain yang disematkan pada perempuan. Namun, faktanya masih banyak kasus yang membuat perempuan merasa tidak memiliki pengakuan atas istilah yang disematkan kepadanya, dikarenakan kekerasan dan pelecehan seksual yang dialaminya.

Menurut data Komnas Perempuan pada tahun 2022 tercatat 459.094 kasus kekerasan pada perempuan. Sebanyak 339.782 dari total pengaduan tersebut adalah kekerasan berbasis gender (KBG), yang 3442 di antaranya diadukan ke Komnas Perempuan. Kekerasan di ranah personal masih mendominasi pelaporan kasus KBG, yaitu 99% atau 336.804 kasus. Pada pengaduan di Komnas Perempuan, kasus di ranah personal mencapai 61% atau 2.098 kasus. Untuk kasus di ranah publik, tercatat total 2978 kasus dimana 1.276 di antaranya dilaporkan kepada Komnas Perempuan. Sementara itu, kasus kekerasan di ranah negara hanya ditemukan di Komnas Perempuan, dengan peningkatan hampir 2 kali lipat, dari 38 kasus di 2021 menjadi 68 kasus di 2022.

Kekerasan seksual dapat terjadi dimana saja, tak hanya melibatkan orang terdekat aksi kekerasan seksual juga justru terjadi di ruang privat dan publik. Bahkan di lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi lingkungan aman untuk para korban, malah menjadi tempat dimana para pelaku kekerasan seksual melakukan aksinya. Contohnya kasus kekerasan seksual yang terjadi di Bandung, dimana seorang guru pesantren yang seharusnya menjadi pelindung utama para santriwati malah menjadi pelaku kekerasan seksual. HW seorang guru pesantren  tega melakukan kekerasan seksual terhadap 13 satriwatinya, dimana diketahui bahwa kasusnya sendiri sudah berlangsung sejak 2016 tapi baru terungkap pada 2021, dan Sembilan bayi lahir akibat kekerasan seksual tersebut.

Menurut data Federasi Serikat Guru Indonesia (FGSI) tercatat 22 kasus kekerasan seksual dengan 202 peserta didik di seluruh satuan pendidikan sepanjang Januari-Mei 2023, jika dirata-rata, terjadi satu kasus kekerasan seksual setiap pekan. Data FGSI juga menunjukan bahwa pelaku kekerasan seksual didominasi guru (31,8%), disusul dengan pemimpin pondok pesantren (18,2%), dan kepala sekolah (13,63%). Pelaku lainnya adalah guru ngaji informal (13,63%), pengasuh asrama atau pondok (4,5%), kepala madrasah (4,5%), dan penjaga sekolah (4,5%). Kasus-kasus ini sebagian besar terjadi di satuan Pendidikan dibawah KemendikbudRistek (50%), sedangkan yang terjadi di bawah Kementerian Agama 36,36%. Sisanya terjadi di lembaga informal.

Dapat dilihat bahwa perempuan masih sering mengalami ketidaksetaraan atau penindasan gender, perempuan dianggap kurang berdaya dalam menghadapi situasi ini, berbeda dengan laki-laki yang memiliki daya yang lebih dari perempuan untuk menghadapi situasi. Daya disini adalah kekuatan untuk menggunakan potensi yang sama-sama dimiliki oleh pria maupun perempuan untuk mengaktualisasikan diri memenuhi suatu kebutuhan. Penindasan gender: mendeskripsikan situasi wanita sebagai akibat dari  kekuasaan pria terhadap perempuan. Pria mempunyai kepentingan fundamental dan konkret di dalam mengendalikan, memanfaatkan, dan menindas perempuan yaitu dalam praktik dominasi. pria (dominan), perempuan (subordinat). Situasi dimana perempuan didominasi dan ditindas oleh pria, pola penindasan yang biasa disebut budaya patriarki, yaitu masyarakat mengistimewakan laki-laki dalam berbagai hal. Contohnya, dapat kita lihat Ketika ada kasus kekerasan seksual pada perempuan, perempuan sebagai korban akan merasa ditindas oleh pelaku maupun masyarakat, dimana perempuan sebagai korban akan disalahkan , dikucilkan, disudutkan, dan mendapat sanksi sosial lainnya. Sedangkan laki-laki? Laki-laki sebagai pelaku kekerasan seksual masih saja memiliki keistimewaan dari pandangan Masyarakat, anggapan seperti “laki-laki tidak akan melakukan tindakan tersebut jika perempuannya tidak memancing dulan”, contoh lainnya yaitu kasus perempuan korban kekerasan seksual yang mengalami depresi berat setelah mendapat perlakukan kekerasan seksual dan penindasan terhadap dirinya dan janin didalam perutnya dan oknum polisi (pria) yang disinyalir melakukan pelecehan dan penindasan tersebut tidak mau bertanggung jawab terhadap janin yang dikandung korban.

Perlu disadari juga bahwa kekerasan dan pelecehan seksual dapat didasari dari candaan terhadap tubuh dan ekspresi gender, stereotipe terhadap gender tertentu, hingga yang paling puncak adalah pembunuhan. Fenomena budaya perkosaan yang baik disadari atau tidak, menganggap pemerkosaan atau kekerasan seksual sebagai sesuatu yang dianggap wajar di masyarakat, dimana hal tersebut terbentuk dalam masyarakat patriarki yang memandang maskulinitas dan laki-laki berada pada puncak hierarki.

Sebagai bentuk nyata perlindungan perempuan dan anak terhadap kekerasan seksual, maka dibentuklah beberapa perundang-undangan yang telah mengatur terkait kekerasan seksual. Adapun perundangan-undangan tersebut ialah KUHP atau kitab undang-undang hukum pidana pasal 285 dan pasal 289 KUHP. Pasal 285 menyebutkan bahwa barangsiapa dengan kekerasan atau ancam kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya berhubungan seksual dengan dia, dihukum karena memperkosa dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun. Sedangkan dalam pasal 289 KUHP disebutkan bahwa barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.

Dalam hal ini negara juga memiliki kewajiban untuk melindungi dan memastikan para perempuan yang telah menjadi korban mendapatkan rasa aman dan bebas dari kekerasan dan segala bentuk penyiksaan serta penindasan yang merendahkan martabat perempuan, negara juga harus memberikan ruang aman untuk para korban untuk melakukan pengakuan dan melaporkan kekerasan atau pelecehan seksual yang mereka alami. Masyarakat juga harus memiliki kepedulian dan dukungan satu sama lain untuk bersama-sama melawan kekerasan seksual, serta masyarakat harus bersikap tegas dan berani untuk menegur pelaku bahwa tindakannya sangat salah, atau bisa dengan cara merekam kejadian kekerasan dan pelecehan yang seksual dan melaporkan kejadian tersebut kepada pihak berwajib sebagai barang bukti.

SUMBER:

Siaran Pers Komnas Perempuan. (2020), Kebijakan Penghapusan Kekerasan Seksual untuk Membangun Ruang Aman Bagi Perempuan dan Anak Perempuan

Sasmio Madrim. (2023). FSGI: Setiap Pekan Terjadi 1 Kasus Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan

Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2020, (2021). Perempuan dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak, dan Keterbatasan di Tengah Covid-19

Seminar Pencegahan Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus dan IMM, 2023

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *