Secara umum, di Nusantara, para ulama yang sudah menamatkan pelajarannya di Mekkah pada abad silam akan mempunyai kedudukan di masyarakat dan kerajaan sebagai mufti, syaikhul Islam, kadi, pendiri pesantren (surau, dayah dan lainnya) imam, dan guru agama. Termasuk di wilayah Sumatera Timur (sekarang Sumatera Utara) yang membentang di dalamnya wilayah 4 kerajaan besar Melayu, ke-30 raja di Karo, Simalungun, Bilah dan Panai oleh Belanda yang diperintah oleh seorang Residen di Medan.
Keempat kerajaan/ kesultanan Melayu tersebut adalah Kesultanan Deli di Medan, Serdang, Asahan dan Langkat. Seorang sultan Melayu, selain sebagai kepala negara, ia juga sebagai pemangku adat dan pemimpin agama. Jabatan pemimpin agama ini diberikan tugas kepada mufti, syaikhul Islam dan Imam Paduka Tuan 3 Istilah tersebut mempunyai arti dan fungsi yang sama yaitu sebagai wakil sultan dalam urusan keagamaan. Hanya saja istilahnya yang berbeda di setiap kesultanan. Istilah Imam Paduka Tuan diberikan oleh Sultana Deli, sementara mufti oleh Sultan Asahan, Serdang dan Langkat.
Di kesultanan Serdang, istilah lain dari mufti juga dipakai adalah syaikhul Islam. Sebagai contoh, jabatan Imam Paduka Tuan dipegang oleh Syaikh Hasan Maksum Deli, mufti Langkat Syaikh Muhammad Nur, mufti Serdang Syaikh Zainuddin dan lainnya.
Sementara kadi dipilih langsung oleh seorang datuk yang menjadi kepala di kedatukan. Kadi bertanggung-jawab atas masalah perkawinan, perceraian dan pembagian warisan.
Adalah Syaikh Muhammad Zain Batubara (1302-1388 H/ 1884-1968 M) yang dikenal dengan Syaikh Matjen Tasak alumni pendidikan Batubara dan Mekkah. Guru-guru beliau diantaranya adalah Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Muhammad Mukhtar Bogor, Syaikh Usman Serawak, Syaikh Saleh Bafadhal dan lainnya. Setelah menamatkan pendidikannya selama 12 tahun, pada tahun 1333 H/ 19154 M, ia kembali ke tanah airnya di Batubara, tepatnya wilayah kedatukan Pesisir. Oleh datuk tersebut, beliau diangkat menjadi kadi. Namun, selain tugas utama diatas, sebagai ulama dan alumni Mekkah, ia juga menjadi rujukan masyarakat dengan memberikan fatwa-fatwa keagamaan yang dipertanyakan saat itu.
Namun, karena berselisih dengan rajanya (datuk), pada ia akhirnya mengundurkan diri dan pindah ke daerah kedatukan Inderapura yang dipimpin oleh rajanya Tengku Busu. Oleh kedatukan tersebut, ia juga ditawari sebagai kadi namun ditolak secara halus. Ia kemudian izin untuk dapat tinggal di wilayah kedatukan yang sekarang di kenal dengan kampung Muallim simpang masjid. Selama hidupnya di tempat ini, menurut penelusuran penulis melalui wawancara, beliau juga pernah ditawari sebagai mufti di kerajaan Perak negeri Jiran yang juga ditolaknya.
Kemungkinan tawaran tersebut pada saat di kerajaan tersebut dalam kekosongan jabatan mufti. Namun, di masa tuanya, ia juga ditawari jabatan sebagai kadi oleh kerajaan/ kedatukan Bedagai yang merupakan wakil kesultanan Deli yang saat itu bergelar Tengku Pangeran. Namun, beliau tetap menolaknya secara halus dengan alasan karena sudah tua.
Foto tersbut adalah naskah coretan Syaikh Muhammad Zain atas penolakannya jabatan kadi tersebut yang berbunyi:
“Ihwal adalah titah dauli yang mulia yang dijunjung najel Sulaiman telah sampailah kepada patik yang daif. Maka telah patik junjunglah titah duli yang mulia itu ke atas kepada patik (tetapi) pekerjaan jadi kadi tiadalah sampai himmah (kemauan) patik karena patik sudah tua. Mengadap ke bawah hadrat duli yang mulia seri paduka Tengku Pangeran Bedagai, wakil kerajaan Deli bersemayam di kota Firdaus (Perdos), dama baqauhu amin (semoga Allah mengekalkannya kerajaannya, amin).”
Medan
No responses yet