Hari ini (Kamis, 30/7/2020) adalah hari Arafah. Seluruh jamaah haji di tanah suci berbondong-bondong menuju Arafah untuk menunaikan wukuf. Karena wukuf di Arafah merupakan salah satu rukun haji yang tidak bisa diwakilkan. Oleh sebab itu, seluruh jamaah haji dalam kondisi apapun harus berwukuf di Arafah.

Salah satu amalan yang biasa dilakukan jamaah haji di Arafah adalah meperbanyak zikir dan doa. Karena hari Arafah merupakan waktu mustajab. Begitu juga, tempat wukuf di arafah adalah tempat doa yang mustajab. Tak heran, jika momen Arafah dimanfaatkan oleh para jamaah haji untuk memperbanyak berdoa kepada-Nya.

Hal itu tidak berlaku bagi Fudhail bin Iyādh. 

Diriwayatkan oleh Ishāq bin Ibrahim al-Thabarī, ia bercerita: Saya bersama Fudhail bin Iyādh wukuf di Arafah. Selama berdiam diri di Arafah, saya tidak mendengar dari bibir Fudhail untaian doa apapun. Fudhail hanya diam membisu seraya tangan kanannya diletakkan di pipinya dan tertunduk lesu. Perlahan-lahan, matanya berkaca-kaca, Fudhail menangis lirih sepanjang hari.

Kondisi itupun terus berlangsung hingga sore hari. Fudhail masih tidak bergeming dan terus melebur dalam maqam spiritual-nya. Sementara itu, jamaah haji lainnya mulai bergerak meninggalkan Arafah menuju Muzdalifah.

Saat sore hari tiba, Fudhail memandangi langit seraya terucap dari bibirnya ungkapan berikut: “Demi Allah, alangkah buruknya diriku di hadapan-Mu sekalipun aku diampuni!”

Hanya ungkapan itu yang sanggup diucapkan selama di Arafah. Fudhail bin Iyādh mengucapkannya tiga kali.

Pertanyaannya, mengapa Fudhail bin Iyādh tidak berdoa? 

Fudhail bin Iyādh tidak mampu untuk memanjatkan doa apapun di Arafah karena ia sedang dibayang-bayangi oleh masa lalunya. Ya, sebagaimana diketahui masa lalu Fudhail bin Iyādh sangat kelam. Fudhail merenungi atas perbuatan yang telah dilakukannya sebelum ia bertaubat kepada-Nya.

Fudhail bin Iyādh benar-benar mengenang memori semua keburukan dirinya di masa lalu. Meskipun ia sudah bertaubat, dan akan mendapat ampunan dari-Nya, tetapi ia merasa menyesal atas perbuatan “bodoh”-nya. Fudhail menyesali atas “kelalaian” (ghaflah) dalam dirinya. Fudhail juga menyesali kemenangan hawa nafsunya atas kelemahan jiwanya.

Fudhail bin Iyādh ketika itu benar-benar diselimuti rasa malu kepada Allah swt., sehingga ia tidak mengambil kesempatan emas pada waktu mustajab untuk berdoa seperti orang lain lakukan saat wukuf di Arafah. Fudhail hanya mampu menangis pelan hingga waktu wukuf berakhir.

Begitulah maqam fanā bagi seorang hamba. Ia akan tenggelam di laut keesaan-Nya. Sehingga ia tidak lagi memandang wujud dirinya. Tidak heran, jika baginya sulit terucap doa dari bibirnya. Karena doa baginya menjadi tidak etis (su’ul adab) di hadapan-Nya. Dan, Fudhail bin Iyādh merasakan maqam ini di Arafah.

Tetapi, jika seorang hamba dikembalikan pada kesadaran akan dirinya, maka ia kembali dalam maqam baqā. Orang pada maqam ini kerapkali berdoa sebagai bentuk penghambaan (ubūdiyah) dan kepatuhan atas perintah-Nya. Bukan mengharapkan sesuatu atas doanya. Begitulah, kondisi spiritual para sufi di hadapan-Nya.

Jadi, maqam fanā bagi sufi menjadikan berdoa itu tidak etis baginya sehingga ia tinggalkan. Sementara saat maqam baqā kembali, berdoa itu bentuk penghambaan kepada-Nya, sehingga ia kerjakan. Semuanya itu dilakukan dalam rangka menjaga adab [etis] di hadapan Allah.

Bagaimana dengan maqam kita? Entahlah.[]

Wallāhu a’lam.

Kamis dini hari, 30 Juli 2020

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *