Mengajar murid pintar bukanlah tantangan. Hal itu bisa dilakukan oleh semua orang. Bagaimana jika muridmu itu adalah orang yang sangat lambat paham? 

Kesabaran seorang pengajar betul betul diuji dalam hal ini.

Menurut informasi yang pernah saya baca, keinginan Mbah Hasyim Asy’ari yang belum sempat terlaksana adalah mengajar anak anak membaca al-Quran. Mengajar anak kecil dan mengajar murid yang lambat paham mempunyai kemiripan: sama sama dituntut benar benar menurunkan “ego intelektual” kita. Sekelas Mbah Hasyim Asy’ari, seorang kaliber dalam banyak disiplin ilmu, dalam benak tenaga pengajar amatiran, tidaklah level mengajar anak kecil.

Namun kenyataannya tidak demikian. 

Dalam buku Syekh Usamah, Asânid al-Mishriyyin, ada seorang ahli kalam kaliber yang jadi rujukan dunia Islam kala itu. Namanya Syekh Muhammad Fudhali al-Azhari. Beliau adalah guru Ibrahim al-Baijuri dan dikenal sebagai penganggit Kifayat al-Awam. 

Syekh Fudhali setiap hari melakukan perjalanan dari rumahnya, Giza, ke Masjid al Azhar menaiki angkutan keledai. Beliau diantar oleh kusir keledai yang berbeda beda. Setiap perjalanan, Syekh Fudhali bercengkrama santai dengan kusir: ia sederhanakan pembahasan ilmu kalam, hingga para kusir memahami masalah masalahnya, lantas ia ajak mereka berdiskusi satu masalah dlm ilmu tersebut. 

Syekh Usamah mengatakan, kusir-kusir keledai ketika itu sampai bisa fasih membahas masalah kalam karena membawa Syekh Fudhali. Menurut Syekh Ali Jumah, dalam bentangan periodisasi ilmu kalam “produk al-Azhar”, inovasi yang paling kentara dalam ilmu kalam adalah periode Syekh Fudhali. Kemungkinan karena banyak orang berbicara ilmu kalam, dan sudah menjadi bahan obrolan biasa di semua level masyarakat. 

Syekh Fudhali yang “memproduksi” Syekh Al-Baijuri adalah kebanggaan. Tapi kusir kusir keledai yang mempunyai “fokus ekonomi” sampai fasih berbicara ilmu kalam, ini adalah menurunkan level intelektual pada batas maksimal untuk kelas kaliber Syekh Fudhali. Jelas bukan perkara mudah, saudara saudara. 

Kita tentu ingat kesabaran Imam Syafi’i terhadap muridnya, Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi. 

Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi adalah murid kesayangan Imam Syafi’i. Ini diungkapkan secara langsung oleh sang Imam:

“Duh, Rabi’, sungguh aku sangat menyukaimu.” Sang Imam juga mengungkapkan, “tak ada yang melayaniku sebaik Rabi’ al-Muradi.”

Namun ia termasuk murid yang sangat lambat mencerna pelajaran. Bahkan Imam Syafi’i harus mengulang 40 kali untuk setiap masalah yang dijelaskan pada Rabi’. Di penjelasan yang keempat puluh, Rabi mengangguk tanda ia memahami permasalahan. 

Meski demikian, sang Imam belum puas. Ia panggil lagi Rabi seorang diri. Penjelasannya diulang entah yang keberapa, sampai sang Imam yakin bahwa Rabi’ benar benar sudah paham. Terakhir sang imam mengatakan,

“demi Allah, jika aku bisa menyuapkan ilmu ini padamu, niscaya akan aku suapkan tanpa sisa.”

Berkah sabarnya sang Imam, madzhab Syafi’i berkembang dari tangan Rabi’ yang dahulu lambat ini. Sang Imam mengatakan secara “kasysyaf” pada Rabi’, “kelak kau akan menjadi periwayat kitab kitabku.” Perjalanan madzhab ini mencatat:

  • Al-Anmathi mengambil dari Rabi’ dan madzhab Syafi’i berkembang di Baghdad
  • Ahmad bin Utsman al-Dimasyqi mengambil dari Rabi’ dan madzhab Syafi’i berkembang di Syam
  • Al-Qaffal al-Syasi mengambil dari Rabi dan madzhab Syafi’i berkembang di Transoxania
  • Abu Muhammad al-Marwazi mengambil dari Rabi’ dan madzhab Syafi’i berkembang di Marwa dan Khurasan
  • Abu Awanah al-Isfarayini mengambil dari Rabi’ dan madzhab Syafi’i berkembang di Esfarayen. 

Terhitung ada 700 ulama yang memburu riwayat Imam Syafi’i dari Rabi’. Ini adalah kesaksian Muhammad bin Hamdan. Ia mengatakan, “Suatu hari saya datang ke rumah Rabi’, dan aku dapati di depan rumahnya ada sekitar 700 kendaraan yang membawa orang yang datang mempelajari kitab Syafi’i dari beliau.”

Ego intelektual Imam Syafi’i jelas diturunkan dalam memahamkan Rabi’. Seperti ego senioritas Syekh Fudhali mengajar kusir keledai.

Cerita tersebut tertulis di halaman 228-229, bukan pada bagian biografi Syekh Fudhali, tapi pada biografi Syekh Ibrahim al-Baijuri yang diceritakan sangat terpengaruh dari Syekh Fudhali dalam menyederhanakan masalah rumit. Bahkan di akhir disebutkan, “tidaklah Syekh Fudhali meninggal, sampai semua kusir keledai sudah mahir berbicara ilmu kalam.”

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *