Menyambung penjelasan Kiai As’ad Said Ali tentang Kiai Achmad Shiddiq di https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=3689662237778082&id=100002030278192

1. Penjelasan Kiai As’ad Said Ali di atas menurut saya adalah baru  (saya baru tahu). Saya tidak bisa langsung “menerima” karena data sejarah yang saya baca dari Buku Sejarah Tambakberas yang mengutip dari buku KH. Saifuddin Zuhri dan sumber lain dijelaskan bahwa saat jelang dekrit Presiden Juli 1959, Presiden Soekarno Lewat Jenderal AH. Nasution menemui Kiai Idham Chalid dan KH. Saifuddin Zuhri. Intinya, Presiden Soekarno ingin mengetahui pendapat Kiai Wahab Chasbullah. Kata k dua kiai itu kepada Jenderal Nasution bahwa Kiai Wahab menyetujui dekrit dengan syarat nilai Piagam Jakarta menjiwai Pancasila.  Sebelumnya, suara masalah “menjiwai” ini juga telah disampaikan oleh ketua fraksi NU di Konstituante,  KH. Masykur. 

2. Saya juga membaca tulisan Kiai Mun’im DZ  di bawah ini yang juga tidak menyebut KH. Achmad Shiddiq,  https://nu.or.id/post/read/92484/peran-nu-dalam-dekrit-presiden-5-juli-1959

3. Adapun yang umum diketahui, Kiai Achmad Siddiq berperan besar bersama ulama lain pada  tahun 1983 dan 1984. Tepatnya saat Munas dan muktamar NU terkait Pancasila, dan Islam serta NKRI, seperti contoh di bawah ini:

A. Makalah  KH. Achmad Shiddiq  saat Muktamar NU 1984. KH Shiddiq menyimpulkan, “Republik Indonesia adalah bentuk upaya final seluruh nasion (tulisannya di makalah begitu) teristimewa kaum muslimin untuk mendirikan negara di wilayah Nusantara.”

B.  Dalam buku karya Prof Kiai Ali Haidar  yang mengulas peristiwa Munas Alim Ulama NU tahun 1983 dimana KH Ahmad Shiddiq (saat itu menjadi anggota Mustasyar PB Syuriyah NU) menyampaikan makalah sebagian isinya adalah menanggapi ajakan pemerintah tentang asas tunggal. KH Achmad Siddiq mengatakan, “Pemerintah tidak mengajak NU menerima asas tunggal Pancasila, pada saat yang sama, mengesampingkan Islam’. Oleh Karena itu, KH. Achmad Siddiq menyimpulkan, ‘NU dapat dibenarkan memenuhi ajakan pemerintah tentang asas tunggal Pancasila, dengan pengertian hal itu tidak berarti NU mengesampingkan Islam’. 

Selanjutnya KH. Achmad Shiddiq mengusulkan agar anggaran dasar NU diubah sedemikian rupa agar asas tunggal Pancasila dan Islam tidak saling bertentangan. Diusulkan agar dalam AD NU dicantumkan mukaddimah yang memuat sikap dasar NU, terutama mengenai orientasi NU tentang Islam. Selanjutnya pasal-pasal anggaran dasar perlu disusun kembali dengan mencantumkan asas tunggal Pancasila dan menyesuaikan beberapa pasal dengan penegasan dan pemantapan langkah kembali kepada Khittah 1926. 

Saat pembahasan makalah KH. Achmad Siddiq tentang asas tunggal Pancasila dalam komisi khittah muncul  reaksi cukup keras. Tidak kurang dari 34 orang yang menanggapi makalah itu, hanya 2 orang yang setuju, 32 lainnya menentang. Muncul pula pernyataan yang disebarkan kepada peserta munas antara lain pernyataan yang ditandatangani 37 kiai dari 36 pesantren di Madura, pengurus besar HMI dan KAHMI (Korps Alumni HMI) Surabaya. Pernyataan pertama menegaskan hendaknya munas alim ulama NU tidak menerima asas tunggal Pancasila sebelum RUU keormasan ditetapkan menjadi undang-undang. Sementara pernyataan HMI dan KAHMI mendesak NU agar menolak asas tunggal Pancasila.

4. Karena pengetahuan saya tentang KH. Achmad Shiddiq adalah di atas sehingga masih perlu “mencari tahu” penjelasan Kiai As’ad Ali yang tidak disertai penjelasan sumbernya. Untuk itu saya bertanya kepada KH. Mun’im DZ tentang sumber itu dan beliau menjawab, “Ya menurut penuturan KH. Muchith Muzadi, KH. Achmad Shiddiq sudah mengajukan solusi Negara Pancasila tahun 1957/1958. Tetapi belum diterima utuh oleh NU. Tapi memasuki 1959, bulan Februari sampai dengan  Mei, NU sudah mengusulkan Pancasila dijiwai Islam. (Bukan Pancasila PKI). Ini diterima Sidang Konstituante kemudian menjadi dasar perumusan  Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Wallahu’alam.” 

Lalu Kiai Mun’im mengakhiri, “Panglima tinggu NU dalam Konstituante  adalah Kiai Wahab Chasbullah. Komandan lapangan adalah Kiai Saifuddin Zuhri. Kiai  Achmad Shiddiq di luar. Kalimat Pancasila dan UUD 45 dijiwai Piagam Djakarta, itu kalimat dari para  Ulama NU. Tahun 1968, hingga 1980-an, Kiai Achmad Shiddiq terus menggali Pancasila.”

Kepada seluruh Kiai NU pejuang NKRI dan Pancasila lahumul Fatihah..

**

Foto bersama Prof Kiai Ali Haidar yang memegang buku Tambakberas saat menguji disertasi mas Miftakhul Arief Fathh tentang Kiai Wahab Chasbullah.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *