Di suatu hari yang cerah, Al Walid ibn Al-Mughirah, Al-‘Aash ibn Wa’il, Al-Aswad ibn Al Muthalib, dan Umayyah ibn Khalaf menemui Muhammad ibn Abdullah, Sang Nabi dan Rasul, di Mekkah.

Kedatangan mereka dimaksudkan untuk membuat win-win solution. Karena, masalahnya adalah; Bagi generasi tua dan penguasa sosial, Muhammad dengan ajaran tauhidnya berhasil meraih simpati banyak orang, khususnya para pemuda. Tentu, ini bisa dianggap sabagai ancaman terhadap legitimasi kuasa sosial mereka dan ajaran kepercayaannya, terlebih ancaman terhadap persatuan masyarakat Mekkah saat itu.

Adapun win-win solution yang ditawarkan adalah; Muhammad akan diberi harta melimpah, perempuan-perempuan cantik yang siap dikawini, dan para pengawal setia, serta jabatan sosial. Ini dengan syarat Muhammad menghentikan aktivitas penyebaran ajarannya, dan ikut ajaran resmi mayoritas Suku Quraisy.

Muhammad, Sang Nabi menjawab; Andaipun kalian berikan Matahari di tangan kananku dan Rembulan di tangan kiriku, tidak sedikit pun aku mundur dari mendakwahkan ajaran Tauhid ini. 

Mendengar jawaban tersebut, mereka pun tidak patah arang. Lalu, mereka memutar otak dan menawarkan win-win solution lainnya. Mereka bilang; Bagaimana kalau kita buat perdamaian saja? Kita kongsi baik-baik, yakni; di tahun pertama, kita mengikuti ibadahmu, menyembah yang engkau sembah, dan mengikuti segala kebaikan yang engkau katakan. Lalu, di tahun berikutnya, engkau beribadah bersama kami di tempat pemujaan kami, ritual di hadapan sesembahan kami, dan mengikuti ajaran kebaikan dari agama kami.

Muhammad, Sang Rasul pun termenung untuk mencari jawaban yang pas dan mudah dipahami mereka. 

Lalu, Allah subhanahu wa ta’ala dgn firman-Nya memberi jawaban;

Katakanlah (Muhammad); Wahai, orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku. 

Kemudian ini diabadikan menjadi Surah Al Kafirun ayat 1 hingga 6. Surah ini adalah surah ke 109 dalam Al-Qur’an.

Maka, Islam menegaskan bahwa soal ibadah dasarnya harus ikut-manut Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Ini identitas keislaman. Tidak ada toleransi untuk mencapurbaurkan dengan ibadah agama lain. Ini prinsipnya.

Adapun, selain daripada itu, yakni bab muamalah dan sosial-budaya antar manusia, demi membangun Peradaban dan Kesejahteraan bersama, maka Islam menganjurkan prinsip Ahlak Karimah, Budi Pekerti, Saling Menghormati-Menghargai, tenggang rasa dan kesetiakawanan sosial.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *