Suatu Jelang Maghrib saya mendapatkan hadiah buku dari Mas Faishol karya Sayyid Chaidar “Manaqib Mbah Ma’sum” edisi lawas. Buku langsung saya baca dari awal mulai kata pengantar sampai habis halaman terakhir yang berisi ralat, selesai jam 22.41.
Saya bisa memastikan buku setebal 102 halaman dengan huruf kecil-kecil terbitan Menara Kudus tahun 1972 itu digarap oleh penulisnya secara teliti. Selain ada kata pengantar dari KH. Idham Chalid yang memuji kehandalan penulisnya sebagai wartawan kantor berita APB di Jakarta, Sayyid Chaidar menulis buku ini juga diminta oleh keluarga besar Mbah Ma’shum. Artinya Sayyid Chaidar adalah pilihan, terlebih lagi beliau juga santrinya Mbah Ma’sum. Atas itu semua, penerbit Menara Kudus adalah jaminan atas suatu karya pada masa itu untuk khazanah keislaman. Menariknya, kesepenuhhatian dalam menulis buku ini juga terbaca dari halaman awal bahwa jika melihat gambar Mbah Ma’sum agar membaca Fatihah.
Walau buku ini termasuk tipis (lalu dianggap tidak serius), tapi kalau kita sering menganalisis bacaan, kita akan bisa menilai bahwa Sayyid Chaidar adalah tipe wartawan yang teliti dan tekun dalam mencatat.
Walhasil, foto yang dijelaskan sebagai KH. Abdulchamid Chasbullah (saudara dari K.H.A. Wahab Chasbullah) adalah benar adanya. Terlebih setelah penelusuran wawancara yang kami lakukan dengan menunjukkan foto berjejer para kiai itu, ternyata mayoritas mengafirmasi, sedikit yang pangling. Foto kecil, agak buram, pose dari samping dan mata sepuh serta sudah lawas adalah satu problem.
- Mbah Suroso kelahiran 1930, beliau mondok tahun 1955 (sebelumnya sekolah di MI sejak tahun 1953 pulang pergi Kabuh-Tambakberas, lalu tidur di musholla kampung, baru mondok tahun 1955). Mbah Suroso saya tunjukkan foto Mbah Hamid tanpa saya menyebut nama, beliau bilang, “Kadose tiyang Ndalem (sepertinya keluarga pondok).” Tapi saat saya bilang bahwa foto itu tertulis nama Mbah Kiai Hamid. Mbah Suroso pangling dan pungkasannya bilang, bisa saja yang ada di foto sudah berubah tidak seperti yang saya lihat dulu. Tentu Mbah Suroso kaget karena beliau dulu juga pernah berkisah bahwa Mbah Hamid tidak bisa difoto.
- Mbah Husni orang kampung, saat saya tunjukkan foto, beliau tidak mengenali.
- KH. Faiq Hasyim, adik KH. Fattah Hasyim yang pernah ikut ngaji ke Mbah Kiai Hamid dan sering diminta membaca kitab oleh Mbah Kiai Wahab saat beliau ngaji. KH. Faiq lahir tahun 1941 dan mondok di Tambakberas sejak masih bocah sampai dinikahkan, walhasil lama di Tambakberas. Saya meminta tolong kepada putrinya untuk menunjukkan kepada Kiai Faiq. Lalu putri Kiai Faiq menulis lewat WA, “Iya insya Allah benar Yai Hamid, dawuhe (kata) Abi.” Kurang puas, saya menelpon Kiai Faiq untuk memastikan, Jawaban Beliau dengan mantap, “Insya Allah iku Mbah Hamid.”
- Nyai Mu’tamaroh binti Kiai Wahab saat dikunjungi istri saya (Ning Iroh), beliau agak lupa wajah Mbah Hamid dan nampaknya juga fotonya kurang terlihat bagi mata beliau, namun jawabnya “Iso ae iku Man Hamid pas diajak Abah Yai (bisa saja itu Paman Hamid saat diajak Abah Wahab)”.
- Saya juga menjapri Bu Nur Kholilah putri KH. Akhyar, Gudo Jombang agar menanyakan foto yang lebih besar kepada Abahnya yang dahulu juga nyantri di Tambakberas. Kiai Akhyar lahir 1942. Pada tahun 1950 sudah masuk kelas shifir ula di Tambakberas. Jawaban Bu Nur Kholilah, “Assalamu’alaikum…Gus…njih leres ature Abah meniko piyantunipun Mbah Yai Hamid (Assalamualaikum..Gus… iya benar kata Abah bahwa itu adalah Mbah Kiai Hamid)”.
- Selanjutnya Ning Iroh sowan ke Bu Nyai Mahfudhoh binti Wahab. Saat ditanya tentang foto, beliau berkata: Nek menurutku iku sepintas koyok Man Hamid (Mbah Kiai Hamid Chasbullah) mergo iki foto teko iringan sing mirip banget karo dek Sholeh (KHM Sholeh A. Hamid) cirinya kuping besar panjang, nek sabukan ancen yo ngunu koyok abah yai (KHA. Wahab Hasbullah). Selang tidak lama, KH. Hasib Wahab datang ke Nyai Mahfudhoh dan berkata setelah ditunjukkan foto tersebut, “Bener iki fotoe Man Hamid, mergo aku eling banget, saat masih kecil sering bermain ke Man Hamid, bahkan mulai model duduk yang lebih seneng bersandar, apalagi beliau gemuk, saat dadanya terbuka dulu sering saya buat dulinan karena orang gemuk susue tak pegang-pegang.”
Catatan:
Kenapa Mbah Hamid ikut acara muktamar NU? Tentu biasa kiai sepuh diundang muktamar NU. Mbah Hamid Chasbullah adalah a’wan Syuriyah PBNU periode pertama seperti dijelaskan dalam buku karya KH. Abdul Chalim “Sejarah Perjuangan Kiai Haji Abdul Wahab” maupun bukunya Drs. Choirul Anam baik yang berjudul “Pertumbuhan dan Perkembangan NU” maupun “KH. Abdul Wahab Chasbullah, Hidup dan Perjuangannya”.
***

Kalau narasi itu dipakai tentu tidak cocok, karena KH. Hamid Chasbullah wafat tahun 1956. Apalagi seperti tercantum dalam buku karya Sayyid Chaidar di halaman agak depan bahwa Mbah Baidhowi wafat tahun 1970 alias setahun sebelum muktamar ke 25, berikut petikannya,
“Jauh-jauh hari sebelum Almarhum Mbah Ma’sum mangkat keharibaan Allah, tepatnya kurang lebih 2 tahun yang lalu, maka menjelang hari wafatnya Pamanda beliau Almarhum KH. Baidhowi, Almarhum Mbah Ma’sum pernah berkata di hadapan beliau: “Saya akan menyusul 2 tahun lagi andaikata hari ini Paman wafat.” Orang-orang di sekitar beliau yang datang bersama-sama meninjau sakitnya Almarhum KH. Baidhowi di saat itu agak terkejut mendengar pernyataan almarhum Mbah Ma’sum itu. Dan seperti kita ketahui, Almarhum KH. Baidhowi telah meninggal pada tgl. 12 Syawal 1390, bertepatan dengan 11 Desember 1970. Dan nyatanya, Almarhum Mbah Ma’sum benar-benar menyusul kemudlan pada tgl. 20 Oktober 1972.”
No responses yet