Menurut Imam Ghozali, cinta itu muncul dalam diri kita pada sesuatu yang kita senangi dan memuaskan kita secara sadar dan penuh penerimaan lahir batin. Cinta biasanya diawali ridho (penerimaan), lalu muncul anis (akrab dan luwes karena terbiasa). Semakin kuat cintanya, maka muncul ‘isyq (cinta yg mendalam).

Pada dasarnya, mengaku mencintai sesuatu itu berarti berikrar dalam hati untuk sanggup menanggung resiko. Misal seorang suami yang sangat mencintai istrinya, dia akan menerima semua resiko potensi baik atau buruk yang datang dari istrinya itu, tanpa banyak kata. Kalo benci resikonya, batal kecintaannya. Kalo ngomong suka resiko, maka cintanya cuma gombal.

Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan mahabbatu lillah (mencintai Gusti Allah) Imam Fudhail bin Iyadh dawuh, bahwa jika kita ditanya “Apakah kamu mencintai Gusti Allah?” Maka kita harus diam dan terus beramal. Kalo kita mengatakan “tidak” maka kafirlah kita, kalau kita bilang “Iya”, maka itu bukan sifat seorang pecinta Gusti Allah.

Konsep mencintai Gusti Allah bisa berupa keseimbangan khouf dan roja’ kepada Gusti Allah disertai takwa. Seperti yg disebutkan dlm satu syair dalam Qomi’ut Tughyaan :

واحبب إلهك حف اليم عقابه # ولرحمة ارج توكلنا يا مسلم

“Cintailah Tuhanmu, takutlah akan kepedihan siksa-Nya, berharaplah engkau pada rahmat-Nya dan bertakwalah benar-benar hai engkau orang muslim”

Ada lagi konsep mahabbah menurut makna dawuh dari Syaikh Hatim bin Alwan, bahwa siapa saja yang mengaku tiga hal tanpa tiga hal, maka dia pembohong.

  1. Mengaku mencintai Gusti Allah tapi tidak menjauhi larangan-Nya
  2. Mengaku mencintai Kanjeng Nabi Muhammad SAW tapi tidak mencintai kefaqiran
  3. Mengaku mencintai surga tapi tidak mau sedekah

Sebagian ahli makrifat dawuh bahwa jika iman seseorang berada di luar hati, dalam arti hanya sekedar melakukan ketaatan untuk menggugurkan kewajiban atau buat pantes-pantesan, maka dia akan mencintai Gusti Allah dengan kecintaan yg sedang. Jika iman seseorang telah masuk ke tengah hati, dalam arti menjauhi larangan karena butuh banget mencari ridho, maka dia akan mencintai Gusti Allah dengan kecintaan yg sepenuhnya dan akan meninggalkan keburukan2.

Kesimpulannya, secara logical framework dan pengamalannya, mahabbah itu seperti yang didawuhkan Imam Sahal At Tustari

علامة حب الله حب القرآن، وعلامة حب القرآن حب النبي صلى الله عليه وسلم ، وعلامة حب النبي صلى الله عليه وسلم حب سنته، وعلامة حب السنة حب الآخرة، وعلامة حب الآخرة بغض الدنيا، وعلامة بغض الدنيا أن لا يدخر منها إلا زادا وبُلْغة إلى الآخرة

“Tanda mencintai Gusti Allah adalah mencintai Al Qur’an. Tanda mencintai Gusti Allah dan Al Qur’an adalah mencintai Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Tanda mencintai Kanjeng Nabi Muhammad SAW adalah mencintai sunnah (ucapan, tingkah laku dan sikap) beliau. Tanda mencintai sunnah adalah mencintai akhirat. Tanda mencintai akhirat adalah membenci dunia (pujian orang, suka pamer, kemewahan dan lainnya). Tanda membenci dunia adalah tidak menggunakan dunianya kecuali sebagai bekal menuju akhirat”

Namun perlu ditegaskan seperti di alinea awal, bahwa kecintaan itu harus berdasarkan apa yg disenangi secara sadar dan penuh penerimaan lahir batin. Bukan senang karena paksaan, rasa sungkan, penjara dogma atau bujuk rayu. Karena bukan cinta namanya bila berdasarkan keterpaksaan.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *