Shalat adalah wujud pengabdian kepada Tuhan yang berbentuk mahdlah. Aturan syaraiat, rukun, syarat dalam shalat kebanyakan diejawantahkan dalam bidang kajian-kajian fiqih. Bahkan tidak sedikit yang rela berdebat panjang dalam membahas masalah shalat. Salah satu warisan pesantren di masa lalu tampak pada salah satu kitab kuno tentang ajaran shalat. Shallū kama raitumuni ushalli, begitu kiranya perintah Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Shalatlah kalian semua seperti yang pernah aku contohkan, kurang lebih begitu interpretasinya.
Kitab kuno yang ada di Perpusnas dengan kode NB 564 ini menjelaskan bahwa ketika mengucapkan kalimat takbir pada setiap gerakan shalat, maka yang tampak seharusnya adalah empan hirarki wihdatul wujud; af’al, asma’, sifat dan dzat. Hirarki ini adalah sebuah proses kesadaran – paling tidak menuju kepada kesadaran seorang hamba. Dikatakan di dalam uraian kitab tersebut bahwa “Petang perkara ikulah sebab e tetemu, lan lungguh iku panembahing bumi, kerana dén dadékaken saking ruku’, kerono ruku;’ iku panembahing angin, lan sujud iku panembahing banyu, kerono sĕtuhune ngadĕk iku panembahing gĕni, lan wong kang shalat iku anduweni makna limane.
Di mana seorang yang shalat adalah mereka yang mengenali bahwa ketika ia sedang duduk ia akan kenal pada buminya, ketika ia sedang ruku’ makai a kenal dengan angin, ketika ia sujud maka ia akan mengenali airnya, dan ketika ia berdiri maka ia akan menenali apinya. Sedangkan manunggalnya dalam gerakan shalat itulah yang menjadi makna filosofis munculnya lima waktu.
Pendekatan ini yang kemudian oleh kebanyakan orang dikatakan sebagai aliran sinkretisme atau cucologi. Padahal, budaya dan tradisi pesantren menunjukkan bahwa ada kemelekatan yang era tantara substansi dengan esensi, antara fenomena dengan espektasi, antara faktas dengan fiksi. Agaknya pendekatan inilah yang kemudian melahirkan istilah bahwa sholat sadawaning urip, artinya sholat bukan hanya ketika memasuki lima waktu itu saja, melainkan ketika bertani di lading maka ia juga melaksanakan sholat, ketika berdagang, ketika mengajar dan lain sebagainya.
Ungkapan yang sudah mafhum di telinga kita adalah man arafa nafsahu, faqad arafa rabbahu. Untuk mengenal Tuhan maka kita perlu mengenal diri kita. shalatpun demikian. Sebagai hamba yang memiliki hak dan kewajiban untuk mengabdi, maka pengabdian itu dilaksanakan dalam setiap hal. Maka wajar, ketika para sepuh mengatakan bawalah shalatmu ke dalam setiap aktivitasmu, nyangking shalat ing gegawe.
Dari af’al, asma’ sifat dan dzat kita dapat melihat bahwa proses kesadaran ini bukan hanya dalam bentuk kepasrahan begitu saja. Mengapa kita perlu menyadri af’al karena apapun yang terjadi adalah kendali dan kehendakNya. Asma’, dari semua yang tampak pun yang tidak tampak pasti mencakup namaNya. Sifat, hal ini tiada batas interpretasinya, karena tuhan maha segala-galanya tentu Ia memiliki hak dan sifat yang berpurwa rupa. Dzat, adalah kesadaran terahir yang perlu ditumbuh kembangkan selalu, karena akan dibiaskan dengan persepsi masing-masing tentang Tuhan. Di samping itu manusia hanya mampu mereka-reka, itupun kadang masih jauh dari kata tepat.
Perihal keempat proses kesadaran manunggaling ini, maka manusia – seperti yang dikatakan Ar-Razi pancaran Tuhan perlu untuk selalu menumbuhkan semangat tauhid kepada Tuhan. Istilah manunggaling bukan berate mewakili aliran tertentu, tetapi perihal bahasa tidak jarang berbeda-beda tetapi memiliki makna yang sama. Oleh karenanya, shalat dapat dilihat dari beragam perspektif, yang mana dengan demikian akan menambah keimanan kita kepada Tuhan, Amin. []
No responses yet