Kontributor : Andi Rafli Rafiuddin (Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Al Habib Salim bin Jindan lahir di Surabaya, 7 September 1906. Beliau salah satu pendakwah besar di masanya. Berbagai penjuru negeri pernah beliau dakwahi, hingga Ibukota negara pun sudah dijangkau olehnya. Meski penulis tak tahu banyak rekam jejak Al Habib di DKI Jakarta, tapi pengakuan mantan gubernur, Ali Sadikin kepada As Sayyid Salim bin Muhammad Solahuddin bin Jindan bahwa Habib Salim bin Jindan adalah sosok yang tegas namun hangat, cukup membuktikan bahwa beliau salah satu ulama besar di Ibukota.
Tak hanya itu, terdapat satu manuskrip karangan beliau yang cukup menarik untuk kita ulas, berjudul Riwayah bi al’Fi’l. Ini adalah karya di bidang ilmu hadis.Sebelum mengulas, apakah anda tahu apa itu manuskrip? Jadi, manuskrip adalah naskah kuno yang ditulis sebelum mesin cetak ditemukan. Kontennya pun beragam, ada yang bertema agama, sejarah, hikayat, dan lainnya. Pastinya, banyak informasi dari zaman dahulu yang bisa digali para ahli. Maka penelitian manuskrip sangat penting karena bangsa yang baik adalah bangsa yang mengembangkan ilmu para pendahulu bangsa, bukan?
Kembali ke karya Habib Salim. Judul Riwayah bi al-Fi’l sejatinya bukan judul asli manuskrip tersebut. Nama itu diberikan oleh filolog yang meneliti karya ini. Apa alasannya? Ternyata karena manuskrip itu tidak utuh lagi terutama bagian sampul. Selain judul asli, tanggal pembuatan pun sudah tidak diketahui. Meski begitu, kondisi kertasnya cukup baik. Naskah ini berisi 14 lembar dan 28 halaman. Teks naskah bertuliskan Arab gundul dengan tinta biru
Manuskrip ini berisi sanad hadis Nabi S.a.w. Sanad adalah mata rantai periwayatan hadis. Jika rantainya sampai ke Nabi, kemungkinan besar hadis itu shahih.
Teks diawali tulisan “Allāh”, sebagai pengagungan bahwa segala sesuatu bermula dari keberadaanNya. Lalu ditulislah nama-nama orang beserta kunyah nya, seperti Muhammad ibn Sulaiman Al-Makki Al Mishry, Abdullah ibn Idris As-Sanusi, Ibn Yusuf Al-Ghazy Ad-Damasyqi, hingga Jalaluddin As-Suyuthi. Meski penulis belum menemukan matan (lafadz hadis) di teks ini, namun sanad nya begitu lengkap dengan banyaknya perawi generasi modern.
Baca Juga : Jejak Habaib Di Jayakarta (9) : Habib Salim Jindan
Cukup unik di halaman 28 bahwa setiap sanad diselingi kalimat “faqāla lī” atau “faqāla lanā”, kemudian “unẓur fī al-musḥaf”. Artinya “Maka ia berkata kepada aku/kami, lihatlah di mushaf.” Ini adalah cara guru meriwayatkan hadis kepada muridnya, yakni memerintahkan melihat hadis yang ada di mushaf (lembaran) gurunya.
Akhirnya kita bisa tahu alasan manuskrip ini bernama Riwayah bi Al-Fi’l (riwayat dengan perbuatan), karena berisi metode riwayat hadis dengan perbuatan melihat mushaf.
Dari karya Habib Salim kita bisa belajar bahwa ulama Nusantara juga punya kapasitas dalam keilmuan. Sejatinya ini hanyalah satu dari banyak karya yang tersebar di Indonesia. Tokoh besar seperti Nuruddin Ar-Raniry, Mahfud Termas, K. H. Sholeh Darat, Syekh Nawawi Al-Bantani, dan selainnya telah melahirkan banyak karya baik di bidang tasawuf, ilmu hadis, tafsir, dan sebagainya. Kita juga bisa ambil hikmah bahwa ilmu Islam bukan hanya milik bangsa Timur Tengah, tapi untuk seluruh bangsa di dunia.
Baca Juga: Kecintaan Habib Salim bin Jindan terhadap Indonesia
Nah, jika anda ingin melihat naskah yang kita bahas kali ini, bisa ditemukan di website lektur.kemenag.go.id. Sedangkan naskah aslinya sekarang dipegang oleh Habib Ahmad bin Novel, tersimpan rapi di Pondok Pesantren Al-Fakhriyah, Otista, Jakarta Timur.
No responses yet