Di antara tokoh yang begitu mengagumkan saya dalam pemikiran, sikap dan perilaku yang konsisten selama hidup hingga wafat adalah Mbah Ahmad Dahlan dan Mbah Hasyim Asy’ari. Dua tokoh simbol utama kaum modernis dan tradisionalis yang masih “bersaudara” dan memiliki sanad keilmuan yang kredibel. Beliau berdua adalah wasilah bagi kebesaran dan keberkahan Islam di Nusantara yang tetap bisa kita rasakan hingga sekarang ini. 

Jika Mbah Ahmad Dahlan mencoba berkompromi dengan nilai-nilai modernitas yang dibawa bangsa penjajah untuk memajukan dunia pendidikan Islam. Mbah Hasyim sebaliknya, mencoba mempertahankan nilai-nilai akademik tradisional dalam kultur pesantren yang sudah tertanam kuat di masyarakat. Keduanya seperti  fungsi gas dan rem dalam sistem kendaraan bermotor. 

Dalam sejarah Islam di Nusantara keduanya  mampu menjadi lokomotif bagi dua komunitas masyarakat Islam urban dan rural untuk sama-sama berkembang. Jika Mbah Dahlan menjadi wasilah kaum intelektual “perkotaan” yang modernis,maka Mbah Hasyim menjadi wasilah para ulama pesantren yang merepresentasikan masyarakat pedesaan. Keduanya mewakili aspirasi  bangsa Indonesia yang tidak ingin ummat terus berada dalam “kekosongan” kepemimpinan di era kolonial. Maka perlu wadah sosial dan sekaligus figur yang mampu menjadi simbol “perjuangan dan perlawanan” terhadap kolonialisme yang sudah merasuk ke dalam tata nilai budaya masyarakat. Begitulah dua tokoh ini saling bahu membahu menjaga ummat.

Dalam perkembangan selanjutnya ketika usaha kedua tokoh itu telah semakin matang dan bangsa Indonesia telah meraih kemerdekaan. Keduanya yang tanpa lelah mengawal ummat,  dipanggil Allah SWT yang lebih mencintai keduanya.  Tidak menunggu waktu terlalu lama ummat kembali terjebak dalam kejumudan wacana. Entah kenapa tiba-tiba ummat seolah berhenti berpikir dan bergerak. Mereka hanya berkutat dengan apa yang sudah diraih para pelopor dan berupaya menjadikannya “ideologi” yang kaku dan tertutup. Maka bermunculanlah para pemuja simbol dan kelompok, sehingga ummat kembali lagi dalam “kekosongan nalar kritis”.

Dalam suasana keber-agama-an yang serba formal simbolik dan “berhenti bergerak”,  lahirlah  Gus Dur dan Cak Nur.  Dua penerus  yang suka menginjak gas yang terkadang membuat kaum tradisionalis dan modernis melaju sangat kencang dan melebihi batas. Namun begitu, keduanya menjadi idola kaum muda yang bahkan bisa mempertemukan dua generasi komunitas keagamaan tradisionalis dan modernis yang sempat terbelah karena lupa akan pesan dua “tokoh utamanya”, yang meminta ummat agar terus bergerak agar tidak ada kesempatan untuk saling “menyepak”. Gus Dur dan Cak Nur inilah yang menjadikan kaum tradisionalis dan modernis menjadi kaum “pasca”. Yaitu pasca tradisionalis dan pasca modernis, yang lebih bebas dan bergerak dalam memperjuangkan nilai-nilai substantif Islam sebagai Rahmatan Lil aalamin. Kedua tokoh inipun juga telah dipanggil Allah SWT dan meninggalkan kita dalam euforia yang ternyata susah diakhiri. Akibatnya kita lupa kepada jati diri sejati yang menjadi pondasi ummat karena terlena oleh nikmatnya “kebebasan” berekspresi. Maka tak perlu heran jika ummat kemudian “berhijrah” kembali ke dalam “kejahiliyahan” yang dibungkus dengan istilah salafi dan syar’i. Padahal isinya penuh kepentingan pribadi (handdun nafsi) yang  bersifat materi dan atau kesenangan duniawi.  

Dalam situasi yang penuh dilema dan tidak adanya kepercayaan diri untuk kembali menyatukan ummat, Allah kembali “mengirim” Gus Baha yang seolah menyatukan spirit dua komunitas ummat, yaitu memiliki akar kuat dalam tradisi akademik pesantren namun melahirkan pemikiran “modern” yang tidak fanatis. Meskipun sebagaimana tokoh-tokoh sebelumnya, beliau juga tetap memiliki “kelemahan”. Walaupun kelemahan itu sangat bisa dimaklumi sebagai hal yang sangat manusiawi. Karena itu  saya terus berdoa agar Gus Baha (yang memiliki potensi besar untuk menghidupkan kembali tradisi “akademik” khas pesantren Ala “Mbah Hasyim” Asy’ari yang dalam kacamata Gus Dur dianggap sebagai sebuah sub kultur,  yang sedang ditarik-tarik ke ekstrim kiri. Serta di sisi lain bisa membangkitkan spirit modernitas Mbah Dahlan yang saat ini sedang ditarik-tarik ke ekstrim kanan, untuk bisa dikuatkan kembali di jalur tengah atau moderasi) selalu diberi kesehatan dan umur panjang serta  Istiqomah dalam mengawal dan merawat kedua tradisi tersebut untuk tetap berkembang subur di bumi Pertiwi. #SeriPaijo

Tawangsari, 19 Agustus 2020

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *