Sejujurnya, saya berusaha menahan diri untuk tidak merespon persoalan ini. Namun tidak sedikit sahabat dan beberapa pegiat majlis taklim yang minta tanggapan baik lewat japri, inbox, maupun langsung di WAG.
Mbah Maemoen adalah tokoh panutan di NU, rasanya agak canggung mengomentari apapun yang terjadi dilingkungan keluarga beliau. Bukan semata-mata sikap apatisme. Tapi inilah tatak-rama, etika, adab, andab ashor yang benar-benar dipegang teguh dilingkungan Nahdlatul Ulama, apalagi saya yang lahir di Madura yang sejak awal dikenalkan dengan doktrin, bapak-bapuk, guru, ratoh (orang tua, guru, dan pemerintah) adalah trio yang harus diposisikan secara terhormat sesuai urutannya.
Namun, catatan ini ‘terpaksa’ saya buat saat beberapa jemaah disalah-satu WAG meminta dengan serius tanggapan saya. Ini terjadi setelah beberapa vidio Gus Najih muncul di WAG tersebut. Sayapun meresponnya dengan beberapa catatan :
1. Saya akan usahakan sesingkat mungkin
2. Catatan ini bukan doktrin, hanya narasi berdasarkan beberapa fakta sejarah.
Ok, mas bro dan mba sist….. sadulur sedoyo… !!!!!!!
Mbah Maemoen salah satu ulama sepuh kharismatik dan panutan di NU. Beliau anggota Ahwa (ahlul halli wal aqdi) pada Muktamar Jombang yang memilih Rois Suriah (KH. Ma’ruf Amien) dan selanjutnya jajaran Suriah menetapkan Buya Said Agil sebagai ketua Tanfidz. Pun, juga saat KH. Ma’ruf menjadi Wapres, mbah Moen pula yang merestui KH. Miftahul Akhyar sebagai Rois.
Bahkan Mbah Moen sangat akomodatif dengan prinsip Islam Nusantara yang diangkat dalam tema Muktamar Jombang. Dalam beberapa kesempatan mbah Moen senantiasa mengenalkan Islam Nusantara secara proporsional. Saat pilpres kemarin, mbah Moen memberikan sorban sebagai bentuk dukungan terhadap Jokowi.
Ini sangat bertolak belakang dengan Gus Najih yang menyerang pemerintah, Buya Said, Gus Dur, Islam Nusantara dengan sangat sarkastik. Lontaran-lontaran Gus Najih terkesan emosional dengan berbagai lebel seperti syiah, komunis, antek China dan lain-lain. Tidak terkesan sama sekali lontaran ini keluar dari seorang ulama dan putra seorang ulama panutan. Bahkan terkesan lontaran Gus Najih sangat emosional layaknya lontaran-lontaran yang biasa berseleweran di pasar-pasar.
Melihat fenomena ini saya coba tawarkan 3 perspektif untuk menjawab japrian salah seorang pegiat majlis taklim yang menurutnya sudah sangat akut dan lebih akut dari pandemi covid.
1. Dalam Islam, terutama Aswaja, perbedaan adalah hal yang lumrah. Imam Hanbali berbeda dengan gurunya Imam Syafi’ie dalam beberapa hal. Demikian juga Imam Syafi’ie dengan gurunya Imam Maliki. Saat menangani tawanan perang Badar, Sayyidina Umar berbeda pendapat dengan sahabat-sahabat seneor. Dan yang paling jelas adalah perbedaan antara Sayyidina Ali dengan Sitti Aisyah yang berakhir dengan perang Jamal. Maupun perbedaan antara Sayyidina Ali dengan Sayyidina Mu’awiyah yang berakhir dalam perang Shiffin. Pasca perang Shiffin seorang sahabat bertanya kepada Sayyidina Ali tentang sahabat yang bersama Mu’awiyah. Apakah mereka kafir, atau murtad?. Dengan bijak sayyidina Ali menjawab : mereka tidak kafir karena mereka pernah bersama-sama berjihad saat Rosulullah masih ada. Mereka tidak murtad karena mereka masih bersyahadat, tapi mereka adalah golongan yang berbeda pandangan dengan kita. Itulah jawaban Sayyidina Ali.
2. Saat Orde Baru, Gus Dur mendapatkan perlakuan yang sangat diskriminatif dari penguasa. Gus Dur mengambil sikap oposisi dengan mendirikan Prodem.Tapi KH. As’ad Syamsul Arifin mengambil langkah yang berbeda. Saat ditanya, Ulama Kharismatik dan tempat bertanyanya ulama-ulama NU, sekaligus penyambung komunikasi Syechuna Kholil dengan Hadlarotus Syech Hasyim Asy’ari ini menjawab :”saya mengambil langkah akomodatif terhadap pemerintah Orde Baru justru untuk melindungi Gus Dur. Siapa yang bisa mengendalikan penguasa kalau semuanya berseberangan..!”
3. Ini yang ekstrim. Dalam dunia selalu ada pengecualian. Semua orang harus lahir dari suami-istri tapi Nabi Isa AS adalah pengecualian. Bani Hasyim adalah kabilah terbaik dari suku Qurays. Dari Bani Hasyim lahir tokoh-tokoh panutan bangsa Arab karena kearifannya, kepribadiannya, ketulusan dan pengabdiannya terhadap para peziarah tanah suci. Tapi tentu ada saja pengecualian. Dibalik ketokohan Abdul Muthollib, terus Abu Tholib, Hamzah, Abbas, Abdullah semuanya turunan Abdul Mthollib. Tapi ada Abu Lahab sebagai pengecualian. Demikian juga salah seorang ulul azmi nabi Nuh AS. Putra-putra beliau termasuk yang selamat dari banjir bandang saat itu kecuali salah satu putranya Kan’an. Kan’an adalah pengecualian dari kisah Nabiullah Nuh AS.
Nah, posisi Gus Najih ada dinomor berapa? Hhmm (sampaibada yang menyamakan Gus Najih dengan Gus Nur alis Sugik Nur Raharja, mungkin karena kesamaan bahasa pasar yang dipakai, sama-sama berawalan Gus, walaupun latar belakang keilmuan beda jauh). Wallahu a’lam, silahkan pembaca analisa. Mbah Maemoen sangat mencintai NKRI, salah satu pentarjih Islam Nusantara, supportnya yang luar biasa untuk pemerintah dan presiden Jokowi dan Ahwa PBNU. Gus Najih tidak mewakili Mbah Maemon karena salah satu putra beliau Gus Ghafur sangat gamblang membetengi pemahaman Islam Nusantara dari oknum yang suka memelintirnya. Gus T. Yasin bahkan menjadi bagian dari pemerintah dengan menjadi Wagub Jawa Tengah.
*****
Ntah benar atau tidak, konon ada yang sengaja memainkan peran ini. Sekali lagi, entah benar atau tidak, konon, diposisi manapun Gus Najih, ada yang mengambil keuntungan untuk memperkeruh suasana. Itulah eks aktifis HTI, eks FPI dan beberapa oknum partai oposisi terutama PKS dan Demokrat. Yang terakhir saya hanya bisa berkomentar : “hanya Allah Yang Tahu!”… “kalau ya..semoga Gus Najih segera menyadari!”
No responses yet