Sangat sulit memahami agama tanpa kehadiran simbol-simbol material yang “mencitrakan” agama itu sendiri. Paling tidak kalau kita berbicara soal agama samawi kita akan mendapati Tembok Ratapan untuk orang Yahudi, Bethlehem untuk orang Nasrani dan Ka’bah untuk orang Islam, yang menjadi simbol material masing-masing agama tersebut. Maka tidak perlu heran jika di tempat-tempat itu kemudian diyakini memiliki makna spiritual yang “derajatnya” konon melebihi tempat-tempat ibadah lainnya. Dalam konteks ummat Islam Masjidil Haram dan masjid Nabawi misalkan diyakini memiliki keistimewaan dibandingkan masjid-masjid yang lain di muka bumi ini. 

Pemahaman semacam ini bukan tanpa resiko, sejak masa sahabat dan bahkan sejak ketika nabi masih ada, gejala pereduksian terhadap tempat-tempat suci yang dipahami hanya secara material sudah berkembang. Dan dewasa ini gejala tersebut semakin memuncak sehingga menghilangkan substansi ajaran yang sesungguhnya. Lihat saja betapa banyak orang beribadah di makkah hanya karena tergiur dengan keistimewaan bahwa ibadah di tempat tersebut bernilai 100.000 x dibandingkan di masjid lainnya. Betapa banyak dari ummat Islam yang lebih mementingkan ka’bah ketimbang Allah. Sehingga kemudian mereka sibuk menentukan arah kiblat ketimbang membangun kesadaran ber-Tuhan dalam aktivitas “pasca” sembahyang mereka. 

Padahal kalau kita perhatikan secara rasional ka’bah yang berukuran tidak lebih dari 5 x 5 meter tidak mungkin bisa dijadikan kiblat sholat secara pas (material) dengan ukuran masjid Istiqlal dan atau masjid al Akbar Surabaya misalkan yang lebar dan panjangnya lebih dari 50 meter. Bayangkan jamaah yang ada pinggir (yang melebihi radius 4 mater) tentu tidak akan pas menghadap ka’bah. Dalam konteks inilah perdebatan tentang ketepatan arah kiblat, nilai keistimewaan ibadah di tempat suci bisa menyebabkan seorang hamba salah “arah” dalam beribadah. Materialisasi dalam proses beragama justru semakin mendangkalkan nilai spiritual agama yang sesungguhnya. Karena dalam teks-teks suci (terutama Al-Qur’an), keistimewaan ibadah tersebut justru terletak dalam proses penghambaan pada level spiritual seperti kualitas keihklasan, ketaqwaan, kekhusu’an, dam ke Ihsanan. Apalah artinya berkali-kali naik haji dan umrah ke tanah suci kalau kualitas amaliyahnya hanya disandarkan pada kesadaran material dan bukan kesadaran spiritual. “Bukanlah kebaikan itu menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan Barat, tetapi kualitas keimanan yang berimplikasi pada lahirnya perbuatan mulia lah yang sesungguhnya  merupakan kebaikan.” #SeriPaijo

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *