Catatan Muhammad Munir

Kunjungan ke Makam KH. Daeng menjadi agenda terakhir hari ini (02/08) bersama Tim yang terdiri dari Dr. Muhammad Zain (Kapus LKKMO Kemenag RI), Dr. Zainul Milal Bizawie (penulis dan sejarawan santri), Alfaqir A. Ginanjar Sya’ban (Filologi), Dr. Asro’i, KH. Abdul Waris Zain (cucu Syaikh Arsyad Maddapungan), dan kawan-kawan komunitas pecinta “Turats Ulama Mandar” (Farham, Amir Hamzah, Agus Ichsan dan Syahrul). Ini tentu menjadi sebuah momentum untuk terus menjejaki keberadaan para penyebar dan penganjur Islam di Mandar. Bahwa Mandar adalah gudang ulama yang tidak saja bergerak di Mandar, bahkan keluar daerah Mandar. Demikian juga masuk dan berkembangnya Islam di Mandar tentu tak bisa lepas dari peran penting orang-orang Arab dan Jawa.

Menurut Gus Milal, menelusuri jaringan-jaringan ulama yang ada di Nusantara ini menjadi penting, untuk membuktikan bahwa ulama-ulama kita memiliki keterhubungan terutama antara ulama Jawa dan Mandar. Dari hubungan inilah yang kemudian mampu menyatukan Indonesia.

Tokoh utama penganjur dan penyebar Islam yang banyak direkam dalam lontara’ dan manuskrip-manuskrip tua di Mandar adalah Raden Mas Suryodilogo. Beliau pernah menjadi Adipati Kediri dan pernah berguru dengan Sunan Bonang. Masa berikutnya adalah Syekh Zakaria dari Maghribi yang menetap pertama kali di Mamuju awal abad 17, kemudian Syekh Abdul Mannan Tosalama’ dari Demak yang mengislamkan Banggae . Setelahnya ada Abdurrahim Kamaluddin (Tuan/Tosalama di Binuang), seorang Syekh dari Arab bersama Syekh Bil Ma’ruf (Sayye’ Losa). Krberlangsungan dakwahnya kemudian dilanjutkan oleh Sayid Al Adiy keturunan Malik Ibrahim dari Jawa yang memiliki pengaruh di Polewali, Mandar (Zainul Milal Bizawie).

Jaringan ulama Campalagian Manjopai pada abad 19-20 juga melahirkan ulama-ulama yang memiliki pengaruh besar. Di antara ulama-ulama tersebut adalah Sayyid Abdullah bin Husain bin Sahl dari Lasem (Rembang) yang tak lain adalah ayah dari Habib Alwi bin Sahl Jamalullail (Puag Toa) yang memiliki keturunan bernama Habib Hasan bin Alwi (Puang Lero). Beliau adalah sahabat dari Muhammad Thahir (Imam Lapeo) yang merupakan murid dari Saikhina Kholil Bangkalan (Madura) bersama Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari.

Pada awal abad 19 muncul juga seorang tokoh bernama Haji Muhammad Amin dari Banyuwangi Ketapang yang mendirikan masjid Campalagian. Ini boleh jadi memiliki tautan dengan diaspora masyarakat Mandar di Banyuangi. Tapi tentu saja harus diriset lebih lanjut terkait konektivitas antara ulama di Campalagian dengan ulama Banyuwangi.

Tak sampai disitu, ketika Turki runtuh, seorang tokoh terkenal bernama Syekh Said al Yamani beserta anaknya yang bernama Syekh Soleh bin Said al Yamani dan Syekh Hasan bin Said al Yamani datang ke Nusantara tiga tahun sebelum Makkah dikuasai oleh King Saud. Saat berada di Batavia ia mencari seorang ulama bernama bernama Muhammad Arsyad Maddappungen hingga berkunjung ke Polewali, di sinilah Syekh Hasan putra Syekh Said menetap yang kemudian banyak ulama yang belajar kepadanya. Adapun ulama yang dimaksud diantaranya adalah KH. Yahya Abdurrazaq, KH. Muhammad Zein yang merupakan tokoh sentral yang juga melahirkan banyak ulama termasuk Dr. Muhammad Zain, Kepala Pusat LKKMO Balitbang & Pusdiklat Kemenag RI juga salah satu murid kesayangannya pada 38 tahun yang lalu.

Intinya adalah orang Mandar, Jawa dan Arab adalah sebuah kesatuan yang utuh dan integral ketika membincang Islam dan penyebarannya di wilayah eks Afdeling Mandar ini.

Tulisan-tulisan selanjutnya akan hadir sebagai bentuk reportase pribadi dari penjejakan Annangguru di Mandar, tetapi tidak lagi bersama rombongan dari Kementerian Agama RI. Penulis merasa terpanggil untuk terus memberikan informasi terkait annangguru yang telah sangat berjasa dalam proses melanggengkan ajaran agama Islam di Mandar.

Obyek yang menjadi
kunjungan selanjutnya adalah Makam Tosalama’ Binuang atau Abdurrahim Kamaluddin dan Syekh Bil Ma’ruf di Pulau Tosalama atau Dusun Pulau Tangnga Desa Amassangan Kec. Binuang Kabupaten Polewali Mandar. Untuk sampai ke Pulau Tosalama ini, para pengunjung harus menggunakan perahu mesin sekitar kurang lebih 30 menit dengan biaya Rp.170. 000 (pulang pergi). Para pengunjung yang ingin berlama lama (satu hari) bisa carter perahu Rp. 350.000.

Kecamatan Binuang memang memiliki gugusan pulau-pulau eksotik yang mempunyai daya tarik wisata yang unik. Termasuk Pulo Tosalama, pulau yang menjadi tempat Syekh Abdurrahim Kamaluddin dikebumikan. Pulau ini kerap dikunjungi masyarakat untuk berwisata sejarah. Terlebih jika bulan Ramadan dan hari lebaran, pasti akan sangat banyak pengunjung. Untuk bulan bulan biasa, pengunjung tetap ada tapi tidak seramai dengan Ramadhan dan lebaran. Mereka yang datang hanya yang mempunyai nazar.

Di Makam Tosalama ini ada ritual yang dikenal dengan istilah Massampo. Ritual ini dilaksanakan dengan menyembelih hewan ternak, menaburkan uang koin ke makam, membungkus batu nisan dengan kafan, menaburkan minyak wangi, serta potongan daun pandan dan bunga ke makam. Ritual ini digelar sebagai bentuk syukur bila cita-cita seseorang terpenuhi. Tidak semua pengunjung melakukan ritual ini, sebab hanya mereka yang punya niatan dan nazar.

Kompleks Makam tepat berada di punggung bukit Pulo Tosalama dan sudah dijadikan situs cagar budaya oleh pemerintah Sulawesi Barat. Untuk melihat langsung makam, harus melalui sekitar 30-an anak tangga yang terbuat dari batu marmer warna putih dengan kemiringan sekitar 25/30 derajat. terdapat tiga nisan. Nisan pertama yang terletak ditengah tengah bangunan yang diyakini makam Abdurrahim Kamaluddin dan Syekh Bil Ma’ruf. Nisan yang satunya lagi berada di dinding tembok bangunan yang diyakini makam pengikutnya. Bentuk nisannya berupa susunan batu karang persegi dengan panjang 2 meter dan lebar 1,73 meter. Terdapat batu padas setinggi 17 centimeter tertancap sebagai nisan. Makam ini bernaung di bawah sebuah rumah yang berlantai keramik putih.
(Bersambung)

Sumber : FB Mandar Studies

10 Responses

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *