Tempat peristirahatan abadi Rumi ini dilingkari oleh tembok. Muzesi maulana mendampingi Camii Aladin tadi. “Nah, dari sini kita masuk. Kita akan membayar 5 LT”. Mari Kiyai, kata Hari lagi. Aku melihat taman dan sebuah kafe di sana. “Biasanya para pengunjung bisa minum cai gratis di kafe itu, tapi hari ini sepertinya tidak lagi”. Apakah di lingkungan museum ini disediakan wifi?”, aku bertanya. “Iya, biasanya ada wifi di sini, tetapi hari ini saya tidak tahu”. Pada setiap persinggahan di Turki, aku selalu bertanya atau membuka HP atau Tab, untuk mencari wifi, agar dapat berkomunikasi dengan teman-teman di seluruh dunia, membagi kabar atau mengupload foto dan sebagainya. Keperluanku akan Wifi di tempat ini menjadi semakin penting.
Chenchen Muthahari, atau Gayatri Muthari , “keponakanku”, eh, sahabatku, putri cendikiawan sekaligus budayawan terkemuka ; Abdul Hadi WM, meminta aku bertemu dengan sahabatnya sekaligus sahabat ayahnya. Namanya : Kemal Enz Argon, PhD, seorang guru besar di Necmettin Erbakan University, Divinity Faculty. Dia seorang spesialis hubungan antar Iman dan Islamologi. Chenchen berharap aku bisa bertemu dan berbincang-bincang dengannya. Tetapi sayang, aku gagal menemukan saluran komunikasi. Aku menulis inbox nya, manakala sudah ada komunikasi: “Chenchen, maaf sekali, aku kesulitan komunikasi di Konya. Wifi di museum Maulana ga jalan”.
Hari menuntun aku menuju sebuah pintu masuk, sedikit sempit. Aku memintanya mengambil gambar. Kini aku sudah di dalam ruang museum Maulana. Semerbak Maulana meliputi ruang-ruang itu. Aku melihat banyak peziarah dari berbagai bangsa, bahasa dan agama berkumpul di sana. Mataku seperti menjadi jalang (nakal), menatap dan menyapu seluruh ruang, tanpa sisa. Di luar bangunan tempat Maulana, terdapat tempat wudhu, dan beberapa ruang/kamar yang sempit. Pintunya pendek sekali, sehingga kepala harus ditundukkan ketika memasukinya. Ini adalah kamar-kamar di mana peninggalan Maulana diabadikan. Aku memasuki kamar-kamar itu dan mengambil gambarnya. Di dalamnya aku melihat tulisan-tulisan tangan dengan khat yang dihiasi mozaik yang indah dan tinta emas, sabhah yang melingkar dengan biji-biji yang besar, Ney-ney (seruling), rebab, baju, topi turbus, patung-patung dengan pakaian lengkap penari Sama’, dan lain-lain. Usai berkeliling kamar-kamar Muzesi Maulana itu, aku menatap bangunan megah, tempat Maulana berada. “di bawah kubah hijau yang menjulang itulah, Maulana Rumi berada”, kata Hari. Aku melangkah menuju pintu masuk. Di atas pintu masuk itu aku membaca kaligrafi Arab manis bertuliskan : “Hadhrat Maulana”. Ini seakan mengisyaratkan ucapan : “Selamat Datang di peristirahatan yang Mulia Maulana”.
26.08.2021
HM
No responses yet