Keluar dari lingkungan “Green Mausoleum”, kuburan Maulana Rumi yang berada di bawah payung menara biru yang menjulang ke langit itu, temanku, Hari Pebriantok, aku lihat sibuk menerima telpon entah dari siapa. Aku merasa dia ditelpon Yanuar Agung yang mungkin mengabarkan sudah sampai di daerah sekitar. “Agung?”, kataku. “Ya, dia sudah datang dan sekarang menunggu kita di Camii Syams Tabrizi”, jawab Hari. Cami istilah untuk masjid di Turki.
Saat itu matahari sudah bergerak ke arah Barat dan mengurangi ketajaman panasnya. Udara berubah menjadi sedikit teduh. Bila nanti mega langit berubah warna menjadi kuning bercampur merah saga, udara akan berhembus lembut. Aku menyeberang jalan dan mengajak Hari mencari kafe dan duduk-duduk sebentar sambil minum teh Turki yang sedap dan menagih. Dia mengusulkan untuk minum di tempat dekat Cami Syams Tabrizi. “Kita minum di sana saja. Di sana ada kafe”, katanya, sambil menunjuk ke suatu arah. Kami terus berjalan kaki menuju ke sana. Jaraknya tidak jauh, kira-kira 300-500 meter saja. Bila kakiku kemudian merasa lelah, aku duduk sejenak dan membiarkan Hari berjalan sendiri, meninggalkan aku. Tetapi manakala dia kemudian menengok dan melihat aku duduk, dia menghentikan langkahnya dan menjemput aku. Ia sabar sekali melayani tamunya yang sudah berusia setengah lanjut itu. He he. Dan tak lama aku bangun dan melanjutkan perjalanan setapak demi setapak.
Tak lama kami sampai, tetapi sejenak aku tak melihat Agung yang konon sudah menunggu di sana. Mataku menatap halaman rerumputan yang luas dan bersih. Sebuah taman luas dengan pohon-pohon tinggu yang rindang dan tenang. Begitu indah. Tangan Hari menunjuk ke sebuah bangunan masjid kecil dan aku membaca di depan pintu masjid itu : “Cami Syams Tabrizi”. Aku tercengan-cengang, seperti orang yang tak percaya. Ya Salam. Aku sama sekali tak mengira tempat istirahat guru besar Maulana ini sangat bersahaja, sederhana dan sepi, sepi sekali. Sangat jauh dari tempat istirah muridnya maulana Rumi yang megah dan anggun itu. Aku melihat masjid itu sepi. tak banyak orang hadir di sana. Aku bertanya-tanya sendiri: Bagaimana mungkin sufi besar yang penuh misteri dan merubah jalan hidup Maulana Rumi ini begitu sepi. Dan tak banyak peziarah. Mengapa pengaruhnya tak sebesar sang murid?. Mungkinkah karena dia orang asing?. Pikiran itu melayang-layang di otakku sambil melangkah masuk ke dalam.
Agung tiba-tiba muncul. Wajah tersenyum. Tangannya membawa plastic berisi barang. Setelah bersalaman kami bertiga : Aku, Agung dan Hari langsung masuk ke dalam camii Syams Tabrizi. “Ngobrolnya” dan “ngetehnya; nanti saja ya kiai sesudah ini, biar leluasa dan santai, kata Agung. Aku mengangguk sambil tersenyum.
Aku melihat tak ada orang di dalamnya. Mataku langsung menumbuk kuburan Syams Tabrizi yang dibungkus kain hijau, yang diletakkan di atas. Di belakangnya ada dua papan yang betuliskan : Ini tempat Istirahat Syams Tabrizi. Ya kuburan zahid pengembara yang nyentrik itu. Seperti di hadapan Maulana, aku menyampaikan salam : Assalamu Alaiks ya Waliyallah”. Assalamu ‘Alaika ya Syeikh Syams al Tabrizi. Lalu mengajak dua temanku untuk membaca Tahlil singkat, zikir, shalawat atas Nabi dan berdo’a kepada Allah untuk kenyamanan istirah “matahari dari Tabriz” ini. Sesudah itu aku shalat Tahiyyat Masjid dan shalat Asar, berjamaah.
Siapakah Syams Tabrizi ?
31.08.21
HM
No responses yet