Oleh : Al Haikal (Mahasiswa UIN Jalarta)
Perlu kita sadari bahwa dunia tempat kita dilahirkan mengharuskan manusia agar tak lepas dari kehidupan sosial dan di dalamnya ada tersemai cinta. Baik cinta kepada pencipta, sahabat, keluarga, pun kekasih hati. Dengan mata cinta seseorang bisa melihat dunia dengan luas dan indah. Rasa cinta inilah yang seharusnya dipupuk oleh setiap insan agar pohon kehidupan berbuah damai, aman, sejahtera dan penuh toleran. Tanpa melihat warna kulit dan perbedaan lainnya yang sudah menjadi ketentuannya.
Apalagi sekarang kita berada di zaman modern yang semuanya serba online. bahkan saling menyakitipun tak perlu menyentuh fisik, dengan komentar kasar saling fitnah dan adu domba semuanya bisa dilakukan di sosial media. Tentu hal seperti ini tak bisa membuat kita menyalahkan perkembangan zaman, akan tetapi pribadi kita yang berada di zaman itulah yang harusnya diservice dan di didik agar lebih baik dan siap atas segala perubahan. Hal buruk bisa terjadi karena memang kebiasaan buruk telah ada dalam diri pribadi. Karenanya yang jadi masalah bukanlah perkembangan zaman, akan tetapi bobroknya pekerti dikarenakan kurangnya cinta dalam diri. Sebab jika di dalam diri seseorang ada cinta, ia tak akan mungkin egois karena ia sudah terbiasa bersikap kasih terhadap sang kekasih. Semua hidupnya akan indah karena matanya sudah dibalut oleh keindahan cinta, dan takan melihat sesuatu apapun kecuali cinta.
Yang perlu dan sangat harus kita sadari aadalah bahwa sebagai manusia kita berperan sebagai khalifah di muka bumi. Dalam menjalankan perannya itu manusia harus menerapkan cinta dan kasih sebagai cerminan dari sifat rahman dan rahim yang menciptakannya.
Kita banyak mengenal tokoh tokoh tasawuf yang fenomenal seperti Jalaluddin Rumi, Al-Ghazali, Sabistari, Ibnu arabi, Rabiah al-Adawiyah dan lainnya. Di mana mereka masyhur dikarenakan syair syairnya yang menyejukkan hati. Mereka mampu mengemas rasa cinta yang ada dalam hati mereka dan kemudian di tuangkan dalam bait-bait syair yang bak peluru tajam menghunjam ke hati tiap pembacanya dan bak mutiara yang akan terus berkilau sepanjang masa. Seperti halnya cinta yang abadi, puisi cinta pun abadi, ia akan terus menggugah hasrat pembacanya walau datangnya dari zaman yang berbeda. Karena cinta yang sederhana dan universal itu mampu menembus apapun.
Para sufi mampu mencapai kebahagiaan dalam mengarungi kehidupan tentu tak segampang membalikkan telapak tangan. Pastinya itu melalui pencarian panjang sampai mereka menemukan cinta sejati yang bisa mengubah pandangan meraka akan kehidupan yang indah dan penuh cinta. Karena semua yang hidup dalam genggaman dan pengaruh cinta. Kita ambil contoh dari al-Ghazali. Beliau ini sebelumnya adalah seorang teolog dan filsuf handal, akan tetapi dalam perjalanannya, disiplin ilmu yang ia kuasai ini tak memberikan ketenangan dan ketentraman dalam jiwanya. Jiwanya selalu dihantui rasa gelisah dan galau. Hingga ia memutuskan untuk berkelana mencari suatu tempat yang tepat untuk berkhalwat dan merenungkan pergolakan yang terjadi dalam dirinya. Dan al-Ghazali pun akhirnya menemukan apa yang dicari oleh jiwanya selama ini melalui riyadhah (spiritual exercime). Ia menyadari bahwa untuk dapat memperoleh kebahagiaan hakiki, seseorang harus mencinta dengan sungguh, salah satunya adalah melalui penyucian jiwa.
Cinta dalam pandangan sufi adalah cinta yang berwujud kerinduan kepada Allah. Cinta menurut Rumi terbagi dalam tiga tingkatan yakni:
- Cinta karena pemberian. Cinta seperti ini merupakan tingkatan cinta paling rendah, ibarat anak kecil yang mencintai siapa saja mereka yang sering memberikannya hadiah, dan cinta seperti ini sangat labil dan inkonsisten. Cinta seperti ini juga bisa dikatakan adalah cinta orientasi pasar kata Erich Fromm. Yang mana ada uang ada barang. Maksudnya, apapun yang ia berikan harus ada balasannya, biasanya cinta seperti ini akan cepat meredup bahkan layu baik dikarenakan beralihnya sesuatu yang ia sukai baik fisik maupun materi.
- Cinta atas dasar kekaguman. Seperti kita mencintai seseorang karena cantik atau tampan, pun seperti kita mencintai Allah karena memang Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Bijaksana dan Maha lainnya, itu sudah menjadi fitrah manusia. Akan tetapi biasanya cinta seperti ini hanya selalu melihat baik-baiknya saja. Kekaguman ini menafikan bahwa muda bisa tua, indah bisa buruk, pun Allah juga bisa berkehendak dengan rahasia yang ia punya yang tak sesui keinginan kita bukan?
- Cinta tanpa alasan. Cinta seperti ini sangat sulit untuk dijelaskan. Karena cinta memang untuk dirasakan bukan untuk dijelaskan. Kata Rabiah al-Adawiyah cinta itu hanya memperlihatkan kerinduan gambaran perasaan, hanya orang yang merasakannya dapat mengetahuinya. Sebanyak apapun kamu baca buku dan nonton video tentang cinta, kalau kamu belum pernah jatuh cinta, sebenarnya kamu belum tau dan mengerti apa itu cinta. Cinta itu adalah ungkapan dari manifestasi rindu, makanya sulit dijelaskan dan hanya bisa dirasakan. Dan juga cinta jenis ini bukannya tak memiliki alasan, tapi saking banyaknya alasannya sampai sulit dijelaskan, apalagi bagi mereka yang hanya melihat bentuk fisik semata. Seperti alegori cinta ilahiyat karya Nizami Ganjavi, layla majnun yang sangat masyhur, dimana pernah suatu ketika teman teman Qais bertanya padanya, apa sih yang kau suka dari layla itu sampai kau jadi seperti ini? Apa tidak adakah wanita lain selain layla di dunia ini? Qais pun menjawab agak kesal, kalian takan paham atas apa yang kurasakan karna kalian hanya melihat fisiknya, sungguh apakah kalian lebih suka gelas emas berhiaskan mutiara tetapi berisikan cuka, atau gelas jelek lagi tua yang berisikan anggur? Itulah cinta sekali kau mereguk manisnya anggur cintanya kau takan melihat keburukan padanya.
Beginilah cara sufi ingin mejelaskan kepada kita apa itu cinta yang suci nan tulus, cara mereka mencintai Allah dan ciptaannya, agar mudah menyeberangi lautan kehidupan menuju keabadian. Karena tak lain kehidupan dunia ini hanya bersifat majazi sedangkan akhirat bersifat hakiki
No responses yet