Oleh: KH. A. Mustofa_Bisri

Puluhan ribu orang datang melayat ke Langitan, Widang,Tuban. Entah berapa ribu lagi yang ingin datang tak kesampaian. Jalan raya pantura macet 5 km terhambat  lautan manusia. Sehari sebelumnya,  hari  Rabu, 29 Februari 2012, para pelayat sudah mulai berdatangan.  Sementara di gedung PBNU dan beberapa tempat  lain,  orang-orang  berdzikir dan berdoa. Belum lagi mereka yang menyampaikan takziahnya melalui  SMS, Facebook, dan Twitter.  Pada hari Rabu itu, sekitar jam 18.30, tokoh spiritual kharismatik NU, pengasuh Pesantren Langitan:  KH Abdullah Faqih dipanggil ke hadirat Ilahi. Innaa liLlaahi wainnaa ilaiHi raaji’uun.

Apabila ciri utama waliyullah, kekasih Allah, itu istiqamah dan dicintai orang banyak, maka  pastilah Kiai Abdullah Faqih –seperti keyakinan saya— termasuk waliyullah. Saya kebetulan mendapat anugerah kenal secara pribadi dan sering menjadi ‘penderek’ kegiatan yang melibatkan kiai tawaduk berwajah manis ini. Saya termasuk yang bersaksi mengenahi keistiqamahan beliau; baik istiqamah secara bahasa (lughatan ) mau pun menurut  istilah (isthilaahan). 

Semua orang tahu belaka keistiqamahan beliau dalam menjunjung tinggi norma-norma dan ajaran Islam. Karena hal itu mewujud dalam sikap dan perilaku beliau sehari-hari. Beliau adalah jenis kiai yang sebenar-benar kiai. Kiai yang berusaha semaksimal dan seoptimal mungkin mengikuti dan meniru jejak pemimpin agungnya,  Nabi Muhammad SAW. Beliau lembut, penyayang, rendah hati, ikhlas, dan suka menolong. Mereka yang pernah bergaul dengan Kiai Abdullah Faqih pasti bisa bercerita banyak tentang kelembutan sikap maupun tutur kata beliau.

Kiai Abdullah Faqih istiqamah mengayomi santri dan masyarakat. Bahkan mengayomi para kiai yang ‘berijtihad’ berjuang melalui politik praktis. Beliau mengayomi  seraya mendidik. Beliau mengayomi dan mendidik –tidak hanya mengajar– para santrinya. Beliau mengayomi dan mendidik masyarakat dengan sikap –tidak hanya dengan tutur kata. Ketika para kiai pendukung Gus Dur merasa kecewa, Kiai Faqih mengayomi mereka dengan menyediakan perhatian  dan pemikiran –tidak hanya waktu dan tempatnya.

Saya menggunakan istilah mendidik, karena Kiai Abdullah Faqih memang tidak sekedar member nasihat dan bila beramar-makruf-nahi-munkar hampir tidak terasa ‘amar’ mau pun ‘nahi’-nya oleh sebab kelembutannya itu tadi . Menasehati pun, beliau tidak terasa menasehati, karena beliau menyampaikan dengan ikhlas dan tidak menggurui. Saya pernah menyaksikan sendiri bagaimana beliau ‘menasihati’ Gus Dur, Allahu yarhamuh, dan Gus Dur  menerima dengan berterimakasih.  

Kiai Abdullah Faqih dari Jawa Timur adalah satu dari tiga hamba Allah yang  sempat disebut-sebut sebagai ‘Penyangga Tanah Jawa’. Beliau menyusul dua hamba Allah yang lain yang sudah lebih dahulu dipanggil ke hadiratNya ; yaitu dari Jawa Tengah: Kiai Abdullah Salam Kajen Pati, wafat  11 November 2001 dan dari Jawa Barat: Kiai Abdullah Abbas Buntet Cirebon, wafat 10 Agustu 2007. Rahimahumullah. 3 Abadilah, hamba-hamba Allah, inilah yang dulu mempelopori  mendukung Gus Dur agar menjadi Kiai Bangsa saja,  tidak menjadi – sekedar—presiden. Namun, ketika Gus Dur berijtihad menjadi presiden, mereka ini tidak menghalang-halangi.

3 tokoh Abdullah dari Jawa ini memang mempunyai banyak kemiripan. Mereka kiai pengasuh pesantren dengan ilmu keIslaman yang cukup dan akhlak yang mulia. ‘Mewakafkan’ diri mereka untuk masyarakat dan tidak pernah mementingkan diri sendiri. Menyintai dan peduli  terhadap Indonesia dan rakyat Indonesia. Ikhlas berjuang untuk itu secara lahir dan batin. Beramal dan berdoa. Semoga Allah menempatkan mereka di tempat yang indah di sisiNya.

Dengan wafatnya Kiai Abdullah Faqih, rahimahuLlah, habislah sudah ketiga Abdullah, hamba  Allah yang disebut-sebut sebagai ‘Penyangga Tanah Jawa’ itu. Mereka diambil oleh Kekasih mereka berserta ilmu-ilmu  dan akhlak mereka.  Mudah-mudahan ini bukan pertanda Allah membiarkan negeri ini menjadi semakin terpuruk dengan banyaknya umara dan ulama suu’. Tapi  semoga justru  Allah akan menolong negeri dan bangsa ini dengan memunculkan lagi hamba-hamba teladan seperti  3 kiai Abdullah itu;  seperti pepatah harapan: Gugur  satu tumbuh seribu. Semoga.

Lahul Fatihah…

Pernah dimuat di Jawa Pos hari Jum’at, 2 Maret 2012

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *