Oleh Zia Ul Haq

WIRIDAN

Selain wirid-wirid yang diajarkan khusus orang perorang, atau wirid-wirid yang diamalkan Mbah Yai Najib saat sendiri, ada juga wirid-wirid beliau yang nampak dan bisa disaksikan para santri secara umum. Baik yang diajarkan, diijazahkan, atau dicontohkan.

Misalnya adalah wirid-wirid berikut ini;

1. Nderes Quran. Ini amalan utama yang selalu beliau anjurkan secara berulang-ulang. Bagi santri yang sedang menghapal Quran, beliau anjurkan jangan kebanyakan wirid, cukup deresan Quran dan shalawat saja. Bagi yang sudah khatam hapalan Qurannya, bisa 3 hari khatam atau seminggu khatam. Atau apes-apesnya -kata beliau- ya sebulan sekali khatam. Jadi minimal sehari satu juz.

2. Shalawat. Apapun jenis shalawatnya, yang penting ada yang diistiqamahkan tiap hari. Saat syawalan di Magelang, beliau pernah menyebut beberapa contoh; shalawat Rahmat (bahkan melafalkannya juga; shollallohu ‘ala Muhammad), Nariyah/Kamilah, Thibbul Qulub, dan Munjiyah.

3. Doa Tresna Quran. Yaitu bacaan “Allahumma bilhaqqi anzaltahu, dst.” Biasa beliau baca sebelum simakan Quran setelah tawasul Fatihah.

4. Rangkaian zikir sebelum mulai simakan. Biasanya dibaca setelah tertib tawasul Fatihah dan doa Bilhaqqi. Yaitu; syahadatain, shalawat, hawqalah, dan robbisyrokhli. Masing-masing dibaca tiga kali.

5. Kalamun Qadimun. Dibaca tiga kali sebelum mulai takror hapalan Quran bakda maghrib dan bakda subuh.

6. At-Taubah 128-129 (Laqod Jaakum). Dibaca tujuh kali setelah maghrib dan subuh. Wirid ini beliau ijazahkan -seingatku- saat talaqqi pagi.

7. Ayat limo. Yaitu; Al-Baqarah 246, Alu Imran 181, An-Nisa 77, Al-Maidah 27, dan Ar-Ra’du 16. Amalan ini juga beliau ijazahkan saat talaqqi pagi.

8. Empat surat jelang surup. Yaitu as-Syams, al-Lail, al-Falaq, dan an-Nas. Empat surat ini dibaca menjelang terbenam matahari. Fadhilahnya, kata Mbah Yai yang mengutip dhawuh Mbah Yai Asnawi Kudus, agar rejeki turah seperti hujan yang deras. Amalan ini beliau ijazahkan juga saat talaqqi pagi.

9. Doa perlindungan (bismillahil ladzi la yadlurru dst.). Dibaca tiga kali bakda maghrib dan bakda subuh. Amalan ini diijazahkan belakangan saat mulai masa pandemi.

10. Amalan Jalbul Muhim. Yakni berisi tawasul para wali, bacaan fatihah 41 kali, dan hailalah 1000 kali tapi bisa diganti shalawat Ismul A’zham 11 kali. Wirid ini diijazahkan dalam mujahadah Selasa Wage. Sanadnya dari Abuya Dimyathi Banten. Mbah Yai mengatakan bahwa wirid ini bisa diamalkan seminggu sekali atau sebulan sekali.

11. Shalawat Ismul A’zham. Ini juga diijazahkan saat mujahadah Selasa Wage bersama Jalbul Muhim. Keterangan tentang shalawat ini ada di kitab Sa’adatud Darain susunan Syaikh Yusuf an-Nabhani, di urutan shalawat ke-111.

12. Shalawat Nariyah 4.444 kali. Sejak mulai proyek pembangunan gedung Ribath Al-Quran, amaliah Jalbul Muhim tiap malam Selasa Wage diganti menjadi pembacaan shalawat Nariyah 4.444 kali.

13. Tarawih hapalan Quran. Selama Ramadan, Mbah Yai nderes hapalan Quran dalam shalat tarawih di masjid pondok. Satu setengah juz dibaca secara hadr (cepat dan tartil) dalam 20 rakaat. Malam ke-20 khataman dalam tarawih. Wirid ini sudah beliau amalkan sejak usia 16 tahun.

14. Tartilan Ramadan. Selain dalam saat tarawih, Mbah Yai juga nderes hapalan Quran setiap bakda zhuhur sampai Ashar. Dulu dilaksanakan di ndalem, belakangan pindah ke Aula G yang baru. Beliau membaca 1,5 juz dengan tartil dan lambat.

15. Simakan tartil malam Sabtu Wage. Yaitu pembacaan hapalan Quran secara estafet Mbah Yai bersama para santri senior. Dalam kesempatan ini dibacakan 3 juz Quran dengan tartil dan berlagu. Para santri lain wajib hadir menyimak.

16. Talaqqi Pagi. Beberapa tahun belakangan Mbah Yai menggelar talaqqi Quran tiap bakda shubuh. Dulu berlokasi di aula Madrasah Huffadh 1, lalu pindah ke aula Ribath Al-Quran. Tiap pagi beliau nderes 1 lembar Quran secara tahqiq. Jelas tiap huruf dan makhrajnya. Seluruh santri yang hadir juga membaca dengan cara yang sama tahqiqan hari sebelumnya, secara bersama-sama.

17. Tiga shalawat. Tiap kali membuka doa, Mbah Yai selalu mengawalinya dengan tiga shalawat. Yakni shalawat Fatih, Thibbul Qulub, dan Munjiyah.

Itulah beberapa wirid Mbah Yai yang nampak secara umum di mata para santri ‘aam sepertiku. Tentu saja yang lebih paham amaliah khusus Mbah Yai adalah para santri khos. Yakni para santri ndalem, sopir, pengurus, atau para ustadz yang kerap membersamai beliau.

Kalau kita perhatikan, wirid yang beliau ajarkan secara umum adalah Quran dan shalawat. Persis sebagaimana sering dipesankan Mbah Yai Hafidh, “Kalau ingin hidup beruntung dan manfaat, perbanyaklah baca Quran dan shalawat.”

Semoga kita bisa mengamalkan ajaran Mbah Yai dengan istiqamah. Meski secara zhahir beliau tak lagi bersama kita, tapi wirid-wirid ajarannya akan selalu menjadi penyambung jiwa kita dengan beliau. 

NGEWONGKE

Sudah masyhur di kalangan santri bahwa Mbah Yai Najib selalu ‘ngewongke’ (memanusiakan) siapapun. Sesuai keadaan masing-masing orang.

Kepada tamu yang sowan, beliau betul-betul memperhatikan. Tiap obrolannya bukan basa-basi. Semua tamu -siapapun itu- dianggap pembawa berkah, dan ini serius beliau lakukan, bukan cuma ‘abang-abang lambe’. Bahkan sisa minum tamu yang tak habis akan beliau kumpulkan ke satu gelas, kemudian beliau minum sampai habis.

Saat bertamu pun beliau tak mau mengecewakan tuan rumah. Tiap suguhan yang dihidangkan pasti dicicipi. Bahkan pernah ada tuan rumah yang menghidangkan mie ayam cukup pedas. Beliau tak menolak. Tetap beliau santap sedikit-sedikit, sambil diselingi obrolan, hingga habis.

Ketika ada tamu yang bertanya tentang ilmu-ilmu Quran, beliau akan persilakan santri yang memang mendalami ulumul Quran untuk menjawabnya. Jika tamu yang bertanya ada tendensi menguji (nge-tes), beliau dengan rendah hati menjawab, “Saya tidak tahu.”

Ada seorang santri Madrasah Huffadh yang sudah mentok tak sanggup menghapal setelah bertahun-tahun berusaha. Orang tuanya sudah minta dia pulang. Akhirnya sowan dan matur kepada Mbah Yai. Beliaupun memaklumi dan menyuruhnya setoran Quran secara bin-nazhar dulu kepada salah satu ustadz sebelum boyong.

Pernah saat ziarah di makam Habib Husein Alaydrus Luar Batang, beliau tak jua memulai tahlil. Padahal saat itu beliau dan para santri sudah belasan menit duduk berkumpul di depan makam. Hanya untuk menungguku yang masih ambil wudhu.

Pasalnya, saat itu akulah yang menjadi pemandu jalan dari parkiran bis ke area makam. Saat aku datang, Mbah Yai bertanya padaku tentang nama habib yang sedang diziarahi, lalu menyuruhku duduk dekat beliau. Semata-mata untuk ‘ngewongke’ si penunjuk jalan ini.

Pernah juga suatu malam, sekitar jam 9 sebelum setoran, kulihat lelaki berpakaian lusuh dan berpenampilan dekil masuk masjid. Rambutnya awut-awutan. Baunya, duh, masyaallah. Dia mengajakku salaman. Akupun menyambut uluran tangannya sambil terus berusaha husnuzhon. Sangkin dekilnya, tanganku terasa berbekas debu setelah salaman dengannya.

Tak kuat dengan baunya, aku bergegas menuju ndalem untuk ngantri. Siapa juga yang betah berlama-lama dengan bau apek semacam itu. Aku masuk ke ruang tamu, bersama para santri lain. Seperti biasa, Mbah Yai Najib tidak langsung membuka setoran. Beliau duduk-duduk santai dulu di teras ndalem, memperhatikan sekitar.

Saat itulah kulihat pria dekil tadi mendekati Mbah Yai. Dia salaman dan cium tangan beliau. Kemudian duduk berhadapan. Baik Mbah Yai maupun orang itu sama-sama terdiam, tak ada sepatah katapun terucap.

Mbah Yai tetap dengan gestur tubuhnya yang biasa menunduk dan kadang manggut-manggut. Cukup lama, ada kira-kira sepuluh menitan. Baru kemudian orang itu pergi, Mbah Yai masuk ke ndalem dan membuka setoran.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *