Oleh : Zia Ul Haq
SANTRI SEKARAT
Dulu ada santri yang mengidap kanker cukup parah. Detail penyakitnya aku tak begitu paham. Sebenarnya ia sudah sakit sejak dari rumahnya di Jawa Timur sana, dan disarankan oleh dokter di kota asalnya, untuk check-up tiap bulan jika sudah tinggal di Jogja.
Entah lupa, tak sempat, atau bagaimana, ia abai anjuran itu. Ia fokus mengaji, setoran hapalan Quran sampai khatam 30 juz. Hingga suatu ketika kesehatannya memburuk. Saat periksa ke rumah sakit, dokter kaget melihat hasil lab. Kankernya sudah stadium empat. Ada benjolan di tubuhnya yang berpindah-pindah.
Dokter menyesalkan ia tak rutin periksa. Santri malang itu mendapat kabar pahit. Kata dokter, kesempatannya hidup sangat tipis. Paling lama hanya tiga bulan.
“Tidak!” seru santri itu sambil misuh-misuh. Disertai gemetar dan emosi. Tentu saja ia terguncang. Ia masih muda, cita-citanya banyak, semangatnya melimpah.
Lalu ia pulang ke pondok, kalut dan bingung. Ia sowan ke ndalem gurunya, Mbah Yai Najib, dan mengabarkan vonis pahit itu. Di ndalem, Mbah Yai menasehati agar sabar, juga menyuruhnya untuk riyadhah Quran. Yakni membaca Quran terus menerus selama 40 hari.
Dengan penuh keyakinan, si santri langsung melaksanakan titah itu. Ia duduk di pojok aula Madrasah Huffadh. Di sana ia nderes Quran terus menerus tanpa henti. Hanya jeda saat shalat, makan, buang hajat, dan ngliyep.
Hari ketiga puluh mulai keluar bau bacin dari tubuhnya. Sementara ia sendiri menggigil kedinginan. Seluruh tubuhnya diselimuti karpet. Mukanya pucat pasi, kusut, lemas, keringat terus bercucuran. Di hari-hari terakhir riyadhah ia sudah nampak lebih segar. Benjolan kankernya sudah lenyap entah kemana.
Saat diperiksakan kembali, memang betul-betul penyakit itu sudah sembuh. Si santri bahkan terus melanjutkan hidup sampai kini. Hingga kemudian berdakwah dan menjadi pejuang Quran di luar Jawa.
Begitulah kekuatan keyakinan dan keberkahan guru. Menjadi penyembuh dan jalan keluar bagi masalah yang dikira buntu.
Mendengar kisah ini, aku pun terinspirasi. Dulu, ketika mulai sering ambruk sebab masalah lambung, aku sowan Mbah Yai. Sebenarnya sowan dalam rangka pamit pulang, tapi sekalian saja mlipir-mlipir kuhaturkan masalah kesehatanku. Saat itu setoranku baru sampai juz 5.
“Apa yang dirasakan, Kang?” tanya beliau. Lalu kujelaskan gejala-gejala yang kerap terasa saat kumat. Perut begah, dada panas, punggung menggigil, bahkan jika sudah memuncak, lambung melilit seperti diremas.
Dengan mengisahkan gejala-gejala ini, kuharap Mbah Yai mengasihaniku, lalu mengijazahiku amalan apa gitu biar sembuh. Seperti kisah santri kanker tadi, atau minimal seperti kisah Si Raja Galau.
Eh, tak kusangka, Mbah Yai malah berujar sambil senyum-setengah-tawa-kecil beliau yang khas;
“Wah, aku juga kadang begitu, Kang.”
Waduh, skak mat. Lahul Fatihah.
__
Kalibening, 16-1-2021