Kajian mengenai Al-Qur’an tentunya tidak bisa lepas dari nilai-nilai sejarah yang dibawanya, apalagi eksistensinya sebagai sumber primer-otoritatif sekaligus pedoman bagi umat Islam; tentu sangat sensitif. Dari persoalan keyakinan semata hingga persoalan kelogisan yang terus dipertanyakan dalam skema dan stigma yang didudukan sebagai objek yang dikaji. Tidak hanya sebatas kalangan umat Islam, melainkan juga para akademisi non-muslim, yang memiliki visi lain dalam membedah eksistensi dan esensi Al-Qur’an. Dalam Islam, perdebatan ihwal Al-Qur’an dapat ditemukan dalam tema besar lingkup tauhid, yang tentunya memiliki ciri khas dan karakter pemikiran sendiri-sendiri antar satu aliran dengan aliran lain, meskipun, dalam ruang agama yang sama yakni Islam. Alhasil, memberi dampak pada cara pandang hingga pegangan dogmatis individu dalam beragama.
Perdebatan ihwal Al-Qur’an dalam Islam pastinya sarat dengan kelogisan dan sarat dengan keyakinan. Dimungkinkan terdapat integrasi antar keduanya (logis dan yakin), juga terdapat interkoneksi yang mensinkronkan keduanya. Bagaimana tidak, penemuan sebuah kajian yang dilalui dengan cara logis-terbimbing, boleh jadi mempengaruhi persepsi individu dalam beragama hingga merubah keyakinan yang diyakininya. Output dari eksplorasi dan analisis kritis individu dapat mempengaruhi konsep keyakinan yang diyakini individu; antara semakin kokoh dalam konsistensi keyakinan hingga merubah sistem kepercayaan yang diyakini sebelumnya. Lebih dari itu, eksistensi kajian atau analisis tidak lain ialah menemukan alur argumentasi yang dikonstruk individu. Pun diskusi kritis dalam membahas suatu fenomena. Dalam hal ini ialah tentang Al-Qur’an; kalamullah dan makhluk. Sebab, hingga kini, tidak sedikit yang ‘kebingungan’ dalam menjawab permasalahan ini. Umumnya disebabkan lemahnya kaidah berpikir kritis dalam ketuhanan. Akibatnya, tidak memiliki konsep nalar dalam membedah problem demikian dan tidak cukup mumpuni untuk melogiskan alur berpikir.
Kaitannya dengan kajian Al-Qur’an, maka sangat diprioritaskan pemetaan diksi terlebih dahulu, khususnya untuk membatasi ruang perbedaan dalam diksinya. Ada 2 bagian batasan yang saya tawarkan untuk membatasi kajian Al-Qur’an, yakni Al-Qur’an dan Kitab Al-Qur’an. Sebab, jika tidak ada batasan, kajian ini akan berkelok-kelok liar tidak teratur. Sehingga, sangat penting untuk membatasinya, guna membedakan antara Al-Qur’an dan Kitab Al-Qur’an. Selain, itu beragam kebingungan juga hadir dalam wujud pertanyaan-pertanyaan individu yang pastinya membutuhkan jawaban logis. Diantara beberapa pertanyaan sebagai berikut, Al-Qur’an itu kalamullah atau makhluk? Malaikat Jibril menyampaikan Al-Qur’an kepada Rasul Muhammad bahasanya apa? Apakah Al-Qur’an yang sekarang banyak dipegang umat muslim merupakan kalamullah? Dan lain sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentunya sangat normal dipertanyakan oleh umat muslim, juga normal pula jika dipertanyakan oleh umat non-muslim, apalagi ihwal Al-Qur’an termasuk dalam keimanan kepada Tuhan, yang terdapat dalam urutan pertama rukun iman dan urutan pertama dalam penyaksian, yakni ihwal sifat kalam dalam penetapan sifat wajib Allah.
Adalah penting mendalami sifat kalam Allah dalam kelogisan berfikir. Adapun tujuannya ialah untuk membuktikan bahwa sifat kalam Allah pasti berbeda dengan kalam ciptaanNya. Kepastian berbeda tersebut tidak cukup ‘hanya itu’, melainkan juga butuh argumentasi jawabannya. Sebab, eksistensi argumentasi ialah untuk membuktikan bahwa ucapan tersebut tidak hanya sebatas doktrin, melainkan kajian logis yang benar-benar dipaham. Alhasil, outputnya dapat diterima oleh setiap kalangan yang mau ‘dingin dan sehat’ mendudukan kajian dalam nalar kritis. Sehingga, berdampak pada tercerahkannya konsep penetapan atas Tuhan dalam penyucian siat kesempurnaannya yang mustahil sama dengan ciptaanNya.
Perlu diketahui bersama, sifat wajib Allah yang kalam dapat dipahami bahwa Allah pasti berbicara, mustahil Allah bisu. Tentu, bicaranya Allah bukan huruf juga bukan suara, tidak bermula juga tidak berakhir, tidak terkena tempat (atas, bawah, sisi). Sebab, jika Allah berbicara dengan huruf dan suara, pastinya Allah butuh huruf dan butuh suara, sedangkan huruf dan suara itu baharu, tentu memiliki permulaan dan akhir. Maka, kalam Allah bukanlah huruf dan suara. Pun kalam Allah tidak bermula juga tidak berakhir, melainkan Allah pasti berkalam, dan kalam Allah wajib tidak terkena waktu, mustahil kalam Allah baharu; memiliki permulaan akan adanya (kalam) dan memiliki akhir akan tiadanya (kalam). Maka, kalam Allah mustahil terkena waktu. Kalam Allah juga wajib wahdaniyah, mustahil tersusun.
No responses yet