Ketika kaum Haruriyyah (Khawarij) memberontak, mereka berkumpul menyendiri di satu daerah. Mereka berjumlah 6 ribu orang. Ibnu Abbas mengatakan pada Ali, “Wahai Ali, bisakah Anda tunda shalat Dzuhur di waktu yang agak sejuk agar aku bisa menemui mereka.”

Ali mengatakan, “Aku khawatir terjadi sesuatu padamu.”

“Tenanglah.” Ibnu Abbas meyakinkan.

Setelah mendapat persetujuan Ali, Ibnu Abbas keluar memakai pakaian terindah dan menghiasinya dengan perhiasan terbaik dari Yaman. Sesampainya di perkumpulan Khawarij, mata mereka tercengang melihat perhiasan yang dikenakan Ibnu Abbas. Mereka menyambut Ibnu Abbas,

“Selamat datang Ibnu Abbas. Alangkah indahnya perhiasanmu!”

“Kalian tidak menyukainya? Rasulullah SAW adalah permisalan terbaik orang yang memakai perhiasan. Allah berfirman,

 ﻗُﻞْ ﻣَﻦْ ﺣَﺮَّﻡَ ﺯِﻳْﻨَﺔَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺍﻟَّﺘِﻲْ ﺃَﺧْﺮَﺝَ ﻟِﻌِﺒَﺎﺩِﻩِ

“Katakanlah, siapa yang mengharamkan perhiasan Allah yang diperuntukkan untuk hamba-Nya.”

“Apa yang membuatmu datang kemari?” tanya seorang dari mereka.

Ibnu Abbas menjawab, “Aku datang sebagai utusan Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib, juga mewakili shahabat-shahabat Rasulullah Saw., dan kalangan Muhajirin dan Anshar. Aku lihat kalian bukan termasuk shahabat Rasul, bukan pula bagian dari Muhajirin dan Anshar. Pada mereka pula diturunkan al-Quran, dan mereka tentu lebih tahu tafsirnya dari kalian. Aku akan sampaikan yang mereka katakan, dan yang kalian persoalkan juga akan aku sampaikan ke mereka.”

“Sebenarnya apa yang kalian persoalkan dari Ali, anak paman sekaligus menantu Nabi?” Ibnu Abbas memulai dialog.

“Ada tiga hal,” jawab mereka.

“Pertama, ia telah menyerahkan keputusan hukum dalam agama Allah kepada juru putus (manusia). Kedua, ia telah melakukan peperangan, tetapi tidak mau menjadikan musuhnya sebagai tawanan dan tidak mengambil harta mereka sebagai rampasan perang. Ketiga, Ali menghapus gelarnya sebagai Amirul Mu’minin (pemimpin orang mukmin) dalam perjanjiannya dengan Mu’awiyah. Kalau ia bukan Amirul Mukminin, berarti ia Amirul Musyrikin (pemimpin kaum Musyrik).”

Ibnu Abbas berkata, “Jika aku sebutkan alasan sikap Ali berdasarkan al-Quran dan Sunnah Rasul-Nya, apakah kalian akan mencabut sikap kalian?”

Mereka menjawab, “Tentu saja, kami akan mencabut sikap kami.”

Ibnu Abbas mulai memaparkan jawabannya:

“Pendapat kalian yang menganggap Ali salah karena menyerahkan keputusan pada manusia, aku mendapatinya dari firman Allah dalam al-Qur’an:

 ﻳَﺤْﻜُﻢُ ﺑِﻪِ ﺫَﻭَﺍ ﻋَﺪْﻝٍ ﻣِﻨْﻜُﻢْ

“Hal itu akan diputuskan oleh dua orang yang adil di antara kalian.”

“Ayat tersebut berkaitan dengan harga buruan kelinci atau semisalnya, yaitu seharga ¼ Dirham. Allah menyerahkan hukumnya kepada orang-orang yang adil,” lanjut Ibnu Abbas.

Allah juga berfirman:

 ﻭَﺇِﻥْ ﺧِﻔْﺘُﻢْ ﺷِﻘَﺎﻕَ ﺑَﻴْﻨِﻬِﻤَﺎ ﻓَﺎﺑْﻌَﺜُﻮْﺍ ﺣَﻜَﻤًﺎ ﻣِﻦْ ﺃَﻫْﻠِﻪِ ﻭَﺣَﻜَﻤًﺎ ﻣِﻦْ ﺃَﻫْﻠِﻬَﺎ

“Dan jika kamu khawatirkan ada perselisihan antara keduanya, kirimlah seorang penengah dari keluarga laki-laki dan dari keluarga perempuan.”

“Kalian bisa menerima?” Ibnu Abbas bertanya.

Kaum Khawarij berkata, “Iya.”

Ibnu Abbas melanjutkan, “Kalian mengatakan, Ali telah memerangi seseorang tetapi tidak menawan musuhnya dan tidak menjadikan harta mereka sebagai rampasan, itu karena yang diperangi Ali adalah Sayidah Aisyah: Ibu kalian dan ibu kita semua. Allah telah berfirman:

 ﻭَﺃَﺯْﻭَﺍﺟُﻪُ ﺃُﻣَّﻬَﺎﺗُﻬُﻢْ

“Istri-istri Nabi adalah ibu-ibu mereka (kaum beriman).”

Ibnu Abbas berkata, “Jika kalian berasumsi bahwa ia bukan ibu kalian, berarti kalian kafir. Dan jika kalian menerima bahwa Aisyah adalah ibu kalian, maka jelas tidak halal menjadikannya sebagai tawanan. Jadi kalian berada antara dua pilihan yang membingungkan.”

“Apakah kalian menerima penjelasanku?” tanya beliau.

Kaum Khawarij menjawab, “Iya.”

Ibnu Abbas melanjutkan, “Menurut kalian, karena Ali telah menghapus gelarnya sebagai Amirul Mukminin, berarti ia Amirul Musyrikin.”

“Tidakkah kalian tahu sikap Nabi SAW pada perjanjian Hudaibiyah, ketika terjadi penulisan perjanjian antara Nabi dengan Suhail bin Amr. Beliau bersabda, “Wahai Ali, tulislah! Ini adalah apa yang menjadi perdamaian antara Muhammad Rasulullah dengan Suhail bin Amr.”

Lalu orang-orang Musyrik berkata, “Jika kami percaya engkau Rasul, kami tak akan memerangimu. Cukup tulis namamu saja.”

Kemudian Nabi SAW mengambil lembaran tersebut, lalu menghapus gelar Rasulullah dengan tangannya, kemudian bersabda, “Wahai Ali, tulislah, ‘Ini adalah apa yang menjadi perdamaian antara Muhammad bin Abdullah dan Suhail bin Amr.’”

Ibnu Abbas berkata, “Demi Allah, penghapusan gelar tersebut tidak mengeluarkan baginda dari kenabian.”

“Apakah penjelasanku dapat diterima?” tanya beliau.

Kaum Khawarij menjawab, “Iya.”

***

Tesis Khawarij yang dipatahkan Ibnu Abbas adalah akar dari paham radikalisme dan “muara pemberontakan” kelompok islamis sekarang. Ibnu Abbas mengajari kita banyak hal:

Pertama, Ibnu Abbas mengambil langkah antisipatif yang sangat cermat: tidak menunggu mereka mendatangi dan bertanya atau membuat kegaduhan. Gerakan pemberontakan yang berpotensi chaos, harus diantisipasi sedini mungkin. Sikap Ibnu Abbas menunjukkan perhatian dan kesigapan pemerintah kala itu terhadap potensi radikalisme dan ekstremisme yang berkembang di masyarakat.

Diceritakan, bahwa sepertiga dari kaum Khawarij tunduk pada argumen Ibnu Abbas dan kembali ke barisan Ali bin Abi Thalib. Dalam satu riwayat yang disebutkan oleh al-Nasai, ada sekitar 2000 orang yang kembali ke barisan Ali bin Abi Thalib. Sedang sisanya dibunuh oleh pasukan umat Islam yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar.

Kedua, Ibnu Abbas datang sambil mengenakan pakaian dan perhiasan terbaik. Sikap Ibnu Abbas hendak memberi pesan implisit, bahwa ada bagian penting dari sunah Nabi yang jarang diperhatikan, yakni keindahan lahiriah/fisik. Jika sense keindahan hilang, maka akan berefek pada hilangnya metode berpikir yang indah dalam memahami syariat. Eksesnya, ruh syariat (maqashid) menjadi hilang. Keindahan lahirian serta batiniah adalah sesuatu yang integral sebagai satu kesatuan. Minimal ia membantu untuk lebih fokus berpikir.

Lihatlah seseorang yang hendak shalat, sebelumnya diperintah untuk bersuci dan membersihkan diri dari kotoran. Syekh Abdul Halim Mahmud mengatakan, “Kebersihan diri saat shalat membantumu untuk khusyuk berpikir keagungan Allah.”

Mari kita lihat peristiwa Ashabul Kahfi yang diabadikan dalam ayat berikut,

فَلْيَنظُرْ أَيُّهَآ أَزْكَىٰ طَعَامًا فَلْيَأْتِكُم بِرِزْقٍ مِّنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ

“Maka lihatlah, mana makanan yang paling baik. Dan bawa pada kalian makanan itu, serta berlemah lembutlah.”

Apa yang membuat mereka memilih makanan yang paling baik, sementara mereka baru saja bangun setelah mengalami tidur panjang selama 309 tahun? Hal itu tidak lain muncul dari keteraturan, rahmat, dan kesempurnaan dalam metode berpikir yang terbangun dalam diri Ashabul Kahfi. Jika di dalamnya ada keindahan yang menjadikan keteraturan dan kejelian berpikir, niscaya akan memunculkan sikap cinta terhadap keindahan lahir.

Sikap itulah yang diperlihatkan oleh Ibnu Abbas. Perangai kasar, tak indah dipandang, dan pakaian kumuh yang muncul dalam sikap lahir, tak lain tersambung dari metode berpikir yang kacau dalam diri. Dan kerapian dalam sikap lahir, adalah efek dari kejernihan dan ketepatan metode berpikir. “Kekumuhan” itu diperlihatkan dalam satu perkataan Ibnu Abbas berikut:

“Aku berada di tengah suatu kaum yang belum pernah kujumpai sebelumnya: mereka orang yang sangat bersemangat beribadah; dahinya penuh luka bekas sujud, tangan menebal seperti lutut-lutut unta; wajah mereka pucat karena tidak tidur menghabiskan malam untuk beribadah.”

Ketiga, Ibnu Abbas menjelaskan aspek kelemahan mereka, dan aspek kuat rivalnya. Pertama, karena di sekeliling Ali adalah shahabat-shahabat agung Nabi SAW; Kedua, karena pada mereka turun al-Quran, hingga tahu sebab, peruntukan, waktu, pengaplikasian pada realitas, serta rahasia-rahasia al-Quran; Ketiga, mereka lebih mengetahui penafsiran al-Quran dengan segala keistimewaan yang melekat pada nama besar shahabat-shahabat Nabi. Hal itu jelas karena “pangkat kedekatan” para shahabat dengan sosok Nabi; Keempat, golongan mulia yang disebutkan oleh Ibnu Abbas, tidak satu pun yang tergabung dalam barusan Khawarij kala itu.

Jika kita mempelajari Adâb al-Bahs wa al-Munâdzarah, pernyataan Ibnu Abbas bisa kita sebut dengan al-Mu’âradlah Tandafi’ bi at-Tarjîh (المعارضة تندفع بالترجيح), yakni pembatalan atas klaim lawan dengan pengunggulan: jika Ali dan kalian sama sama mempunyai penafsiran, sementara kalian mengklaim pemahaman Ali keliru dan kalianlah yang terbaik dengan berbagai argumentasi, ketahuilah: bahwa di sekililing Ali ada shahabat agung, ada Muhajirin dan Anshar, bahkan al-Quran turun untuk mereka, serta mereka terbiasa bertanya langsung pada Nabi. Sementara kalian tak ada satu pun dari golongan yang sudah aku sebut di atas (Muhajirin dan Anshar).

Keempat, Ibnu Abbas memulai dengan pertanyaan jeli yang menjadi tiga poros penting pemikiran mereka dan titik tolak bangunan teori teorinya. Penjabaran oleh mereka menjadi penting untuk menganalisa dan mengidentifikasi teori primer penopang gerakan mereka. Dan dari poros inilah dialog dibuka.

Metode tersebut belakangan dikembangkan oleh para ahli Kalam dengan sebutan Maqâlât al-Firaq (rangkaian ucapan sekte sekte), seperti bisa kita jumpai pada Maqâlât al-Islâmiyyin (Abu al-Hasan al-Asy’ari) dan Maqâlât al-Mulhidîn (kitab Asyari yang hilang) serta Maqâshid al-Falâsifah Imam al-Ghazali. Sebagaimana bisa kita jumpai pada karya al-Razi, Muhashshal Afkâr al-Mutaqaddimîn wa al-Muta’akhkhirîn. Deskripsi ini penting untuk mengurai mana “akar” pemikiran dan “ranting”nya, serta mana pokok dan cabangnya.

Kelima, problematika krusial yang dimunculkan adalah teori Hakimiyah. Teori ini juga menjadi poros ekstremis yang berkembang di era kita sekarang.

Ibnu Abbas membantah dengan metode sangat sederhana: harmonisasi antar ayat dalam permasalahan yang dimaksud, yang jika dikumpulkan dalam satu rangkaian, akan secara otomatis menganulir pemahaman mereka yang keliru. Ini membuktikan pemahaman mereka sejatinya parsial dan tidak komprehensif.

Teori Ibnu Abbas bisa disebut juga dengan Naqdh (النقض): pembatalan klaim lawan melalui permisalan lain yang bertolak belakang. Atau kerap diredaksikan dengan Illat yang tidak selalu membersamai hukum (تخلف الحكم عن العلة) . Jika pemutusan hukum agama Allah tidak boleh dilimpahkan wewenangnya pada manusia, kenapa Allah sendiri melimpahkan urusan harga kelinci pada dua orang adil dalam ayat Yahkumu bihi Dzawâ Adlin minkum? Begitu juga penengah (hakam) dari kedua belah pihak juga dari manusia dalam ayat Fab’atsu Hakaman min Ahlihi wa Hakaman min ahliha?

Demikian beberapa pelajaran penting yang sudah dicontohkan oleh Ibnu Abbas pada kita. Ibnu Abbas sebagai “ulamanya shahabat” menghalau secara langsung potensi makar dalam sebuah negara. Harus ada sinergitas dan kesigapan antara pemimpin dan ulama dalam memerangi radikalisme.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *