Tidak ada yang tahu persis, sejak kapan ada tradisi mudik di Indonesia. Mudik menjadi ‘ritual’ yang seolah-olah wajib. Padahal, hukum dasar mudik adalah boleh. Melakukan dan meninggalkannya sama-sama ‘netral’, tidak mendapat pahala  dan juga tidak memperoleh dosa. Nampaknya telah terjadi pergeseran nilai, mudik yang semula biasa-biasa menjadi luar biasa. Hari raya tanpa mudik seperti ada yang kurang pas. Atau Hari Raya Idul Fitri tanpa mudik adalah Hari Raya yang belum Hari Raya.    

Saya sebut tradisi, karena mudik adalah bagian kebiasaan yang dilakukan secara kolektif oleh masyarakat Indonesia. Dalam Islam, tradisi disebut dengan ‘Urf. Tradisi atau ‘Urf didefinisikan sebagai “Sesuatu yang dikenal manusia dan dijalankan secara biasa, baik berupa perkataan maupun perbuatan”.  Sementara, Ahmad Fahmi Abu Sunah (1947) mengatakan ‘urf sebagai “Sesuatu yang terpatri dalam jiwa karena dipandang rasional dan penerimaan watak yang sehat atasnya”.

Dalam Islam, tidak semua tradisi dilarang. Bahkan ada kecenderungan Islam mengakomodir tradisi sebagai local wisdom (kearifan lokal) selama tidak bertentangan dengan syariat Islam. Dalam kaidah fiqh disebutkan: ats-Tsabitu bil urfi kas tsabiti bin nasshi ma lam yukhalif nassan. Artinya, sesuatu yang ditetapkan oleh tradisi sama dengan sesuatu yang ditetapkan berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits, senyampang tidak bertentangan dengan Syariat Islam.

Dus, bahwa apa yang tidak ada di masa Nabi bukan berarti dilarang. Demikian juga, sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur’an dan al-Hadits belum tentu hal yang diharamkan, melainkan dilihat terlebih dahulu; apakah mengandung maslahah atau justru madlarah. Itulah wilayah ijtihad-nya pada ahli hukum Islam Tradisi mudik, semestinya dilihat dari perspektif maslahah dan madlaratnya sebagaimana catatan berikut.   

Tradisi On The Right Track

Meminjam bahasa Ushul Fiqh, mudik adalah tradisi yang shahih. Kita sebut tradisi shahih dengan tradisi yang on the right track, karena mudik mengandung sisi positif. Ada beberapa unsur positif dalam mudik, sebagaimana berikut:

Pertama, unsur silaturrahmi. Bahwa ketika mudik orang-orang melakukan silaturrahmi pada keluarga di kampung atau desa. Dalam Islam, memutus silaturrahmi dilarang. Bahkan, Allah Swt. membuat setara pemutus silaturrahmi dengan orang yang merusak di muka bumi.” Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan tali silaturahim (kekeluargaan)? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan telinga mereka dan dibutakan penglihatan mereka”.(QS. Muhammad:22-23).

Dalam hadits, Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia meyambung tali silaturrahmi”. (HR. Muttafaq ‘Alaihi)

Kedua, unsur memberi sedekah pada keluarga dan saudara. Allah Swt berfirman: “Dan jika dia diberi rizki yang telah ditentukan Allah, maka hendaknya ia bersedekah dengan apa yang Allah berikan padanya. (QS. at-Talaq: 7). Ketika mudik, orang juga sambil menitipkan sedekah sebagian hartanya pada keluarga, saudara dan handai tolan mereka. Kasih sayang dan ikatan persaudaraan yang kuat ini muncul berkat berbagi sedekah antar keluarga dan saudara ini. 

Ketiga, unsur melakukan birrul walidain sebagaimana QS al-Isra 23: “Allah memerintahkan untuk tidak menyembah selain-Nya dan berbuat baik pada orang kedua orang tua”. Ketika mudik, mereka melakukan birrul walidain pada orang tua, baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal dunia. Kalau hidup wajar, tapi bagaimana ketika sudah meninggal ? Birrul walidain dilakukan dengan cara mendoakan kedua orang tua dan menziarahi kuburannya.    

Keempat, unsur idkhalus surur atau memberikan kebahagiaan pada orang lain. Adalah sebuah kebahagiaan yang tak terkira, ketika anak datang pada orang tua sembari membaca cucu-cucunya. Idkhalus surur ini sendiri dianjurkan dalam agama Islam.  

Meski ketika mudik, ada hambatan perjalanan berupa macet dan kecelakaan—dalam Ushul Fiqh disebut mafsadah–, namun mafsadah ini sesungguhnya jauh lebih kecil takarannya sehingga tidak bisa menjadi alasan dilarangnya mudik. Demikian ini adalah melihat mudik ketika konfdisi normal, bukan kondisi darurat seperti saat pandemi Covid-19 ini.

Ketika  Mudik Dianggap ‘Madlarat’

Kala pandemi, mudik yang semula tradisi yang shahih bergeser menjadi tradisi yang fasid. Demikian ini karena mudik diduga mengandung madlarat sebagai media persebaran virus covid-19. Berbondongnya manusia kota ke desa dikhawatirkan akan mempercepat penyebaran virus corona tersebut. Oleh karena itu, langkah pemerintah Indonesia di awal sangat tepat untuk melarang mudik dengan pertimbangan kesehatan. Ini sejakan dengan hadits la dlarara wala dlirara. (HR. Bukhori). Artinya, tidak boleh membuat madlarat pada diri sendiri dan juga madlarat pada orang lain.

Sayang, kebijakan pemerintah pusat dilonggarkan hanya karena kepentingan ekonomi. Mudik dianggap dapat mendongkrak ekonomi yang mati karena covid, namun mengabaikan keselamatan rakyat Indonesia. Padahal, dalam kondisi ini mestinya berlaku kaidah dalam ilmu hukum, “Salus Populi Suprema lex esto”. Bahwa keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.

Jika pun pemerintah melonggarkan kebijakan mudik, maka demikian ini benar-benar karena pertimbangan berbasis riset kesehatan bahwa kurva covid-19 menunjukkan trend menurun setelah berbagai penanggulangan Covid-19 yang maksimal. Tentu sangat disayangkan jika kebijakan hanya karena desakan sebagian kalangan atau semata-mata kepentingan ekonomi saja seperti diduga banyak orang.

Apalagi, banyaknya Orang Tanpa Gejala semestinya menjadi alarm kita semua, bahwa Covid-19 bisa tersebar dmana-mana. Saya lebih setuju dengan kebijakan tegas larangan mudik, demi untuk menghindari penyebaran covid-19 secara meluas.  Cukup menjadi pedoman pemerintah kaidah Syeikh Nawawi al-Bantani dalam kitab Nihayatuz Zein: I, 112: “ idza aujaba bimubahin in kanat fihi maslahataun ammah katarki syurbih dukhani wajaaba”, jika pemrintah mewajibkan sesuatu yang mubah akan berubah menjadi wajib kalau di dalamnya mengandung kemaslahatan umum seperti meninggalkan merokok. Dan pasti, rakyat harus mematuhi kebijakan pemerintah sebagai Ulil Amri karena mengandung kemaslahatan tersebut.

Wallahu’alam. **   

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *