Kemarin saya sudah mengulas sarung batik “Lar Gurda” yang tersimpan di lemari saya dengan ikatan sanad pada Uda Alfi Limbak Malintang Sati, seniman yang menjadi Pengasuh Majelis Taklim “Air Seni”. Uda Alfi mengambil sanad Lar Gurda dari Gus Irfan Nuruddin. Sekarang saya akan mengulas “Lar Gurda” berwarna-dasar hitam saya yang bersanad pada Yu Impian Nopitasari, Pengasuh Majelis Taklim “Al-Mar’atus Solekah (Perempuan yang Rajin Bersolek)”, yang juga mengambil sanad dari Gus Irfan. Saya akan memulai babaran ini dengan menselatankan ulasan bagian “kepala”, “papan”, “pinggir”, dan “seret” batik secara berurutan dalam satu anak judul, tidak terpisah seperti kemarin.

Baca Juga: Batik Adalah Rajah Adalah Doa

Tumpal di Candi dan Makam Wali

Ragi “tumpal” atau “pasung” atau “pucuk rebung” bersinggasana di kepala sarung batik ini (lihat photo ).

Di sarung ini, tumpal diisi oleh ragi kekembangan atau bebungaan yang sedang bertumbuh ke atas. Sedangkan latar tumpal berisi ragi “nithik”. Setiap tumpal disisihi oleh ragi “lar gurda” dan ragi nitik atau ceplok, yang dalam budaya batik pesisiran disebut ragi jlamprang. Berbeda dengan tumpal di sarung lar gurda saya yang kemarin, di sarung ini garis-garis segitiga sisi kanan-kiri tumpalnya berluk. Kalau tidak salah ada 7 luk yang mencitrakan gelombang pada dua sisi segitiga itu. Sehingga, sebagai segitiga, ia terkesan luwes. Mohon ingatkan saya jika ada khilaf terka di sini. Sedangkan tumpalnya sendiri di sini berjumlah 13. Di dalamnya terisi ragi bebungaan khas budaya batik pesisiran.

Kemarin saya sudah mengabarkan bahwa ragi tumpal ini juga terdapat di nisan-nisan dan jirat-jirat makam para wali, sultan, dan priyagung dari berbagai daerah di nusantara. Misalnya di jirat makam di kompleks Makam Syekh Syiah Kuala, Aceh (lihat photo 2, yang dimodeli oleh Kang Zainal Arifin).

Baca Juga : Teungku Syiah Kuala; Pemuka Ulama Aceh

Termasuk pula di jirat atau nisan makam-makam bercorak Aceh dan makam-makam bercorak Demak. Misalnya di bagian dinding kaki nisan Sultan Fatah, Demak dan di nisan salah satu makam kompleks Pasarean Ki Ageng Selo, Purwodadi (lihat photo ).

Nisan Ki Ageng Selo

Jauh sebelum itu, ragi ini juga lazim terdapat di dinding candi-candi. Ada yang tergurat di bagian tengah gawangan kanan-kiri pintu masuk, di bagian dinding, dan di atas atap candi. Ragi tumpal berisi kekembangan umumnya menghiasi tubuh candi pada zaman Klasik Tengah (800 M-1200 M) dan Klasik Muda (1200 M – 1400 M). Contohnya terdapat pada Candi Penataran, Candi Kidal, Candi Jago di Jawa Timur, dan Candi Merak di Karangnongko, Klaten (lihat photo ).

Kembangan di Candi penataran

Motif tumpal muncul pada zaman Klasik Muda karena pada saat itu, masyarakat Jawa khususnya Jawa Timur sedang menggenjot budaya batik. Fakta-fakta arkeologis ini bagi saya membantah klaim ihwal peniruan ragi tumpal yang sering dianggap sebagai ragi asli dari Koromandel, India.

Ragi Bebunga, Truntum, dan Parade Alif

Masuk ke bagian “papan” batik, yaitu bagian pinggir kanan dan kiri kepala yang berbentuk persegi panjang tegak lurus. Di sini akan dijumpai ragi bebungaan yang sedang bermekaran (lihat photo ).

Corak bebungaan di bagian papan ini tidak jauh berbeda dengan corak bebungaan yang menjadi isi tumpal. Corak bebungaan seperti ini sangat mirip dengan bunga-bunga harian di sekitar kehidupan manusia hari ini. Sependek pengetahuan saya, corak seperti ini tidak tergurat di candi-candi. Ia merupakan corak baru yang diperkirakan muncul di abad ke-19. Sedangkan bebungaan yang ada di candi-candi biasanya sangat jauh dari bentuk asli bunga-bunga harian yang ada di sekeliling kehidupan manusia

Memasuki “badan” sarung, ragi “truntum” tampak bersemarak (lihat photo).

Ini ragi hias perlambang kilau cinta, kasih, dan gelora asmara. Ragi ini, seperti telah disebutkan di atas, membawa citra bintang-gemintang yang bersinar dan juga citra bunga tanjung. Sedangkan bagian “pinggir” sarung dipenuhi oleh ragi kekembangan atau motif bebungaan (lihat photo).

Saya menangkap ada tiga citra kembang yang berbeda di sini. Ditambah dengan dedaunannya yang merambat dan menjalin-jalar. Titik-titik yang mencitrakan butir-butir padi tampak berserakan di bawah kekembangan itu. Masuk ke bagian “seret” sarung, ditemukan parade citra huruf alif yang diselingi oleh kembang meliuk berlawanan arah dari bawah ke atas (lihat photo bagian tepinya).

Melampaui Panglegena

Sarung batik Lar Gurda ini, sekali lagi, mencirikan kemanunggalan kebudayaan air dan kebudayaan tanah. Ada corak pantai dalam rupa ragi tumpal dan kekembangan. Ada pula corak tanah-sawah yang ditegaskan oleh kehadiran truntum dan nitik. “Lar Gurda atau sayap garuda” sendiri mewakili budaya batik kebudayaan tanah. Di Karaton Yogyakarta, batik ragi “lar gurda” yang biasa disebut “sawat gurda” dulunya dilarang dipakai oleh selain oleh Sultan. Tapi seirig perkembangan zaman, ia boleh dipakai oleh siapa saja. Dengan catatan bentuk lar atau sawat itu sudah dialih-ubah hingga tidak mirip lagi dengan pakem atau bentuk aslinya. Seperti halnya batik beragi tumpal yang pernah dilarang untuk dipakai untuk orang biasa oleh Pakubuwana III pada 1769.

Ragi paling memikat dari sarung ini, bagi saya, adalah tumpal, yang oleh berbagai sumber, disebut corak gigi buaya. Tumpal, dalam bahasa Jawa kuno, artinya mengatasi, menguasai, menanggulangi. Sekedar kabar, tertib pemakaian batik beragi tumpal untuk lelaki dan perempuan itu berbeda penempatannya. Untuk lelaki, bagian tumpalnya diletakkan di belakang. Sedangkan untuk perempuan diletakkan di depan, tepatnya sebagai penutup bagian paha kanan atau kiri. Tumpal, dalam khazanah kebudayaan Jawa merupakan rajah tolak bala. Kapan-kapan nanti saya akan mengulas bagian ini. Jika pemahaman ini terlalu jauh, paling tidak, ragi tumpal, truntum, nitik, dan kekembangan di sarung Lar Gurda ini bisa menjadi jalan untuk melihat harapan-harapan, doa, cita-cita, dan tentu saja nilai-nilai yang diungkapkan dalam goresan lambang-lambang.

Kebudayaan Jawa, sebagaimana watak manusia, berwujud lambang-lambang. Membacanya, seperti halnya membaca batik, tidak bisa hanya ditempuh secara harfiah. Harus melebihi keharfiahan. Apalagi, kemarin sudah saya kabarkan, bahwa sandangan atau pakaian bukan sekedar berguna sebagai sandangan belaka. Di Jawa, jarik atau sarung dalam bahasa hari ini, merupakan busana untuk mengelola “baitul mukadas”, yaitu anggota tubuh-badan, baik secara harfiah dan simbolik, yang berada di perut dan ke bawahnya lagi hingga bagian kemaluan. Babakan ini diampu oleh Sunan Giri. Ada yang mengatakan Sunan Kudus. Di Jawa, setiap lambang dan nama-nama memiliki 7 lapis makna. Mulai dari; panglegena, prasaja, paribasa, pasemon, pralambang, pralampita, lulungidan. Kira-kira, jika ingin memahami kualitas dari peringkat masing-masing makna, bisa ditelusuri dari tingkatan wujud kemaluan manusia; konthol, pringsilan, mani, madi, wadi, manikem, dan rahsa. Seluruh ragi yang dipoles di sarung Lar Gurda ini, dengan demikian, bisa dipahami dengan berpandu pada 7 makna itu.

Sayangnya, dalam perkembangan kebudayaan manusia hari ini, 7 lapis makna itu sepertinya belum mampu ditembus. Roland Barthes baru sampai pada pembacaan makna lapis ketiga; denotasi, konotasi, mitos. Levi-Strauss baru di dua lapis makna: surface structure (muka) dan deep structure (dalam). Derrida malah menunda-nunda kedatangan makna. Tapi mereka juga tidak jelas sedang menaiki tingkatan atau tangga-tangga tujuh makna atau hanya sedang berjalan mendatar di satu macam makna yang dibelah-belah menjadi dua hingga tiga makna saja. Entahlah.

Lebih penting dari itu, makna-makna itu, dalam kebudayaan Jawa, tidak bisa dibaca dengan sistem pengetahuan (epistemologi) dari luar. Bagaimana mungkin membaca keris, batik, serat-serat, dan materi kebudayaan Jawa lainnya dengan bekal epistemologi eropa, padang pasir, dan apalagi dengan epistemologi estetika peradaban perang. Maka, pertanyaan terakhir yang perlu kita ajukan adalah, di mana negara berada ketika umat Islam, sejak 30 hari ini kelaparan mulai sejak subuh hingga maghrib?

Wallahu a’lam.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *