Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya meriwayatkan;

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ مَا خُيِّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا اخْتَارَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَأْثَمْ فَإِذَا كَانَ الْإِثْمُ كَانَ أَبْعَدَهُمَا مِنْهُ وَاللَّهِ مَا انْتَقَمَ لِنَفْسِهِ فِي شَيْءٍ يُؤْتَى إِلَيْهِ قَطُّ حَتَّى تُنْتَهَكَ حُرُمَاتُ اللَّهِ فَيَنْتَقِمُ لِلَّه

Diriwayatkan dari Aisyah, beliau berkata;

“Nabi shallallahu alaihi wasalam memilih perkara yang ringan jika ada dua pilihan selama tidak mengandung dosa. Jika mengandung dosa, maka Beliau akan menjauhinya. Demi Allah, beliau tidak pernah marah karena urusan (kepentingan) pribadi, tapi jika AJARAN-AJARAN ALLAH dilanggar maka beliau menjadi marah KARENA ALLAH (lillahi ta’ala).”

Dalam riwayat lain dari Imam Muslim, Imam Abu Dawud, At-Tirmidzi, At-Thabrani dan lainnya, dijelaskan;

لا تغضبه الدنيا وما كان لها، فإذا تعرض للحق لم يعرفه أحد، ولم يقيم لغضبه شيء حتى ينتصر له.

 “Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam tidak marah disebabkan urusan duniawi, tetapi apabila KEBENARAN itu didustakan dan ditentang, beliau akan marah tanpa ada seorangpun yang bisa tegak dihadapan kemarahan beliau, sehingga beliau memenangkan Kebenaran itu baginya.”

Selain dari pada yang tersebut di atas, ada juga riwayat-riwayat lainnya. Tetapi, secara garis besarnya adalah sbgaimna inti dari dua riwayat tersebut di atas.

Perlu diketahui, ada juga yang ‘memlintir’ riwayat di atas, shg menjadi slogan; “klo berkenaan dgn pribadi, yha beri maaf, sdgkan bila berkenaan dgn penistaan agama, yhaa harus marah.” Jadi, kata ‘hurumatullah’ dan kata ‘al-haq’ dalam riwayat tersebut diplintir jadi framing  ‘Hina agama’ dan ‘penistaan agama’

Padahal, terjemahan yang tepat untuk kata “Hurumatullah” adalah ajaran-ajaran Allah, sementara untuk kata “al-haq” adalah Kebenaran. Lebih bersifat universal dan normatif. 

Soal Marah, mayoritas riwayatnya adalah berkategori sunnah Fi’liyah. Yakni, sahabat “memotret” perbuatan Nabi, lalu mengkisahkannya. Sehingga, dalam memahami hal demikian haruslah melihat maqashid syari’ah (inti semangat/tujuan syar’i) yang terkandung di dalamnya.

Sehingga hal ini seyogyanya dipahami; 

  1. Rasulullah itu sangat zuhud dan wara’, sehingga urusan pribadi dan keduniawiaan tidak akan pernah mampu menyulut kemarahannya.
  2. Rasulullah Marah kepada SIAPAPUN saja, yang ajaran Allah dan Kebenaran-Nya dilanggar.

Marah di sini tidaklah elok bila dimaknai dengan ngamuk-ngamuk, mata melotot, mengumpat, mengancam siap gorok leher, dan yang sejenisnya. Karena, pemaknaan ini tidak sesuai dengan firman Allah ta’ala;

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang luhur. (Q.S. Al-Qalam; 4)

Sehingga yang pas untuk memaknai marah di sini adalah MENGINGKARINYA. Lalu, kemudian melakukan strategi-strategi dakwah dan perbaikan, demi hadirnya tuntunan yang solutif, bukan tuntutan geram yang menakut-nakuti.

Sebab, yang namanya Durhaka dan Melanggar Ajaran Allah serta Kebenaran-Nya bisa terjadi kepada SIAPAPUN saja dan kapan saja. Jadi, kalau marahnya diartikan ngamuk-ngamuk, maka berapa banyak masa/waktu yang habis hanya untuk itu, dan berapa banyak orang yang harus diamuk?

Maka, DENGAN NIAT KARENA ALLAH, lalu yang jadi pegangan hendaklah firman Allah Subhanahu wata’ala yg anjurkan;

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk. (Q.S. An-Nahl; 125)

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *