Minggu ini film jejak Khilafah di Nusantara diputar di kanal YouTube. Di film tersebut narasi yang dibangun bahwa kerajaan Islam di Nusantara berbaiat ke Dinasti Umayah, Abbasiyah, dan Utsmaniyah. Meskipun saya baru menonton part 1.

Hal yang perlu ditekankan adalah apakah dinasti-dinasti itu sebuah Khilafah atau bukan? Hal ini perlu kita jawab agar mendapatkan nalar dan argumen yang tepat.

Pertama, kita harus melihat hadis yang menyatakan ke-Khilafah-an hanya 30 tahun setelah Nabi wafat, sebagaimana teks berikut  الخلافة من بعدى ثلاثون سنة ثم تكون ملكا, yang bisa diterjemahkan Khilafah setelah aku (Nabi Muhammad) 30 tahun setelahnya kerajaan. Dari sini jelas bahwa ke-Khilafah-an hanya 30 tahun.

Lalu bagaimana dengan hadis ثم تكون خلافة على منهاج النبوة؟ Hadis ini sering dikampanyekan oleh kalangan penyeru Khilafah. Terkait hadis ini kita perlu memahami interpretasi dari klasik, pertengahan, dan modern.

Interpretasi klasik menjelaskan bahwa teks hadis tersebut selesai di masa Raja Umar bin Abdul Aziz. Pertengahan bahwa hadis dimaksud kan dengan munculnya Imam Mahdi sebagaimana dijelaskan juga oleh Habib Umar di kanal YouTube (silakan cari sendiri). Di masa kontemporer ini diinterpretasikan sebagai kebangkitan Khilafah. Di mana para aktivis HTI menjelaskan bahwa setelah khulafaurasyidin itu kerajaan yang menggigit, dan kerajaan (penguasa) yang diktator dan akan muncul Khilafah ala minhaj AL-nubuwwah. Inilah yang sering dikampanyekan.

Dari penjelasan singkat di atas dapat dipahami bahwa dinasti Umayah, Abbasiyah, dan Utsmaniyah merupakan bukan ke-Khilafah-an sebagaimana hadis Nabi masa ke-Khilafah-an itu berumur 30 tahun dan setelahnya kerajaan. Hal ini juga sebetulnya dijelaskan Felix Siauw, Fatih Karim, dan aktivis HTI lainnya bahwa setelah masa khulafaurasyidin merupakan kerajan yang menggigit dan penguasa yang diktator. Namun demikian, alih-alih menguatkan argumen bahwa dinasti-dinasti itu sebuah ke-Khilafah-an namun di sisi lain bilang dinasti2 itu merupakan kerajaan yang menggigit (mulakan adhdhan) dan pasca runtuhnya dinasti Utsmaniyah disebut penguasa yang diktator (mulakan jabbariyan).

Dari sini dapat dipahami bahwa narasi dan argumennya tergantung kepentingannya saja, tidak secara jelas dijabarkan.

Jadi sebetulnya tidak perlu membuktikan apakah benar kerajaan Islam di Nusantara berbaiat ke dinasti2 tersebut? Meskipun berbaiat ternyata dinasti2 itu bukan sebuah ke-Khilafah-an.

Lalu kenapa seorang raja di masa dinasti disebut khalifah?

Sebetulnya dengan dibubarkan-nya HTI seakan-akan wacana Khilafah milik HTI saja, seolah-olah klaim Khilafah yah menurut HTI padahal banyak pandangan soal sistem pemerintahan dalam Islam.

Foucault mengatakan bahwa rezim wacana (dalam hal ini wacana Khilafah) merupakan bentuk dari kekuasaan. Wacana dapat berwujud sebagai praktik-praktik yang mengorganisasikan dan terorganisasikan, yang mengubah konstelasi sosial dan yang menghasilkan, dan wacana sebagai yang memiliki otonomi dan klaim atas kebenaran dan kontekstualisasi sebuah pengetahuan. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa tidak ada suatu kebenaran atau pengetahuan benar yang final dan bersifat universal. Kebenaran tidak lain merupakan kasus-kasus khusus mengenai kekeliruan yang pada suatu masa tertentu diakui otoritatif dan legitimate. Artinya, karena wujud kekuasaan itu tidak nampak, maka beroperasinya kekuasaan menjadi tidak disadari dan memang tidak dirasakan oleh individu sebagai praktik kekuasaan yang sebenarnya mengendalikan tubuh individu. Kekuasaan dapat diketahui dan dirasakan melalui efek-efeknya. Bentuk pengetahuan atau rezim wacana yang otoritatif itu merupakan efek dari kekuasaan tersebut. Ia tidak bisa dipisahkan dari aparatus yang dapat mengendalikan apakah pengetahuan itu otoritatif atau tidak.

Dengan narasi-narasi yang terkesan islami, banyak masyarakat akan percaya apa yang diwacanakan oleh aktivis HTI soal Khilafah, yang sebetulnya banyak pengertian-pengertian soal sistem pemerintahan Islam. Hal ini seharusnya yang dilakukan pemerintah diskusi-diskusi bersama para aktivis HTI bukan malah dibubarkan. Dengan dibubarkannya HTI kita bicara Khilafah seakan-akan takut apalagi sudah ada klaim bahwa Khilafah yah HTI. Ini yang bahaya, nanti malah bahwa wacana Khilafah ala HTI menjadi sumber otoritatif sebagai mana dijelaskan Foucault.

Sekian.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *