Di meja Presiden, surat Buya Syafi’i Maarif bersanding dengan surat bos besar perusahaan raksasa jarum — dua madzhab berseteru siapa dimenangkan ? Bagi Buya, matinya dokter di saat pandemi adalah awal petaka sebagaimana langkanya petani di saat krisis pangan.

*^^*

Buya Syafi’i adalah begawan akal waras — tidak sembarang berkata selalu bersandar pada ilmu yang diyakini. Mengedepankan adab dan kesantunan. Semua yang dilakukan insya Allah atas dasar kebenaran yang diyakini, jadi siapapun tak perlu berlebihan setuju ketika sesuai dengan kehendak atau berbalik menghujat saat yang beliau lakukan berlawanan dengan keinginan hati.

Aktor dan pemikir revolusi Iran Ali Syariati membedakan ilmuwan dengan cendekiawan — ilmuwan hanyalah seorang ahli dibidangnya melakukan riset, kajian atau tulisan yang ditumpuk berserak di rak perpustakaan kampus— atau diseminarkan kemudian menjadi catatan kaki.

Sementara Cendekiawan atau raushnfikr mengutip pendapat Prof Ahmad Jainuri adalah orang yang menggunakan kecerdasannya untuk menyoal dan menjawab persoalan tentang berbagai gagasan atau keadaan. Sedang ilmuwan adalah orang yang ahli dan banyak pengetahuannya dalam suatu atau beberapa bidang ilmu.

*^^^*

Terbukti bahwa surat Buya lebih menghentak — melahirkan berbagai spekulasi meski tak jarang ada yang bilang telat — saya bilang Buya Syafi’i bukan tukang membuat meme sekelas Gerung atau lainnya.

Buya itu independent. Seorang ulama MUHAMMADIYAH yang bersahaja. Jadi saya sangat paham beliau seperti apa. Bukan mabuk disanjung tapi juga tak takut kritik atau hujatan. Beliau ‘sejenis’ ulama beritergritas, ilmuwan yang humanis dan cendekiawan produktif hingga di ujung usia. Karena sikapnya yang humanis dan Independent itu beberapa yang tidak sepemikiran menyebuthya liberal tapi mereka tau apa. Selalu irasional meski mengaku waras.

Buya Syafi’i selalu memberi reason yang cerdas dalam pernyataan dan sikapnya meski banyak orang yang tak sabaran — karena subyektifitas dan ego nya yang dominan. Persis ngendikan Buya Yunahar Ilyas : ‘ketika setuju kalian mendukung dan ketika tidak sesuai dengan keinginan kalian menolak sebenarnya kamu tidak menghargai ulama tapi memperalat’. Pernyataan ini sangat keras mengingatkan sekaligus meneguhkan posisi ulama ditengah umatnya.

Tidak selamanya ulama sebagai pewaris nabi selalu sama seiring dengan umat, bahkan sering kali menjadi antitesis umatnya sendiri, sebagaimana para nabi yang di lawan, dibantah bahkan diusir dan dibunuh karena melawan kehendak umat.

*^^^*

Ke-zuhud-an Buya Syafi’i Maarif sebagaimana ulama-ulama Muhammadiyah lainnya saya pikir tak perlu diragukan lagi — sudah teruji, jadi amat sangat telat kalau kemudian ada yang mengaitkan dengan popularitas, jabatan apalagi uang —

Buya hanya ingin menempatkan diri sebagai orang tua bagi Jokowi atau siapapaun termasuk kepada ‘anak sendiri’ yang tak patuh sekalipun — saya hanya melihat simpel, sederhana dan tak perlu banyak perspektif spekulatif—sederhana sajalah —‘ kata Buya saat saya bertemu di teras masjid Nogotirto usai shalat Ashar sambil nutup pintu masjid.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *