Mereka yang tahu diri, selalu sadar diri. Dan tak akan bangga diri…

”Siapapun yang mengungkapkan hamparan kebajikan dari dirinya, maka rasa buruk pada dirinya di hadapan Tuhannya akan membungkamnya. Dan siapa yang mengungkapkan hamparan kebajikan Allah Swt kepadanya, maka keburukan yang dilakukan tidak membuatnya terbungkam.”

Orang-orang, yang menceritakan tentang DIRINYA sendiri, akan merasa tak layak, dan pada akhirnya bungkam menceritakan kebaikan, sebab dia menilai dirinya tak layak. Karena, kebaikan dalam hal ini diasosiasikan dengan DIRINYA sendiri. Dirinya adalah kebaikan itu sendiri, sedangkan dirinya sejatinya tak begitu baik, maka berhentilah dia menceritakan kebaikan.

Sedangkan, orang-orang yang menceritakan tentang Rahmat Tuhannya, tentang rahmat Allah SWT, tidak akan bungkam dalam menceritakan kebaikan, karena mereka hanya menceritakan tentang kebaikan Allah, rahmat Allah yang tersebar-sebar, dan tak ada konteks dirinya sendiri dalam hal tersebut.

Ibarat kata, orang ini bertutur “Lho… memang saya pendosa kok, tapi ini bukan tentang saya, ini tentang Tuhan Saya.”

Rupanya, para ulama, para arifin, bisa menulis berjilid-jilid buku dan ribuan tulisan berjudul-judul, adalah karena mereka berada dalam sikap batin yang merasa hanya sebagai “Story Teller” pencerita, penyampai, tentang rahmat Allah, kebaikan Allah yang mereka rasakan dan mereka lihat sepanjang sejarah hidup mereka.

Tengoklah sejarah dimana para ulama itu semakin banyak bukunya, semakin sering pula menangis. Kenapa menangis? karena mereka sadar diri mereka pendosa. Lho kok pendosa menulis? ya tentu menulis, karena tulisannya bukan tentang diri mereka, tetapi tentang rahmat Tuhannya.

Jaga keterhubungan, jaga ketersambungan jiwamu dengan-nya.

Mengingat Allah dalam setiap jenak kehidupan kita. MengingatNya sekuat tenaga terus menerus, terus menerus. Awalnya pelik memang, tapi tak ada cara lain untuk mengkonversi wacana menjadi realita kejiwaan agar kita paham sensasinya, selain dari berdzikir dan minta dituntun oleh Allah sendiri.

Karena rupanya dengan konsisten menjaga ‘koneksi’ kita pada Tuhan, maka seketika itu juga kita seperti membuat sebuah tema besar dalam hidup kita. Temanya adalah “minta dituntun”. Minta diajari, supaya kita mengerti apa yang sebenarnya dirasakan orang-orang sholeh guru-guru kita itu. Dan dengan berdzikir dan menghayati hidup, maka nilai-nilai yang tadinya wacana semata itu, pelan-pelan menjadi bagian dari karakter kita. Pelan-pelan dan tanpa kita sadar. Lama memang, tapi setidaknya kita bergerak ke arah situ.

Kalau kawan-kawan sudah kadung kebanyakan informasi keberagamaan yang silang sengketa satu sama lain, makin dibaca makin membuat kita penuh sesak dengan segala logika debat-mendebat tapi kok rasanya tidak membuat kita semakin dekat dan gimaanaaaa gitu kepada Tuhan, mungkin ini saatnya kita tarik nafas dulu, dan menjaga ‘koneksi’ padaNya dengan mengingatNya. Supaya tidak keliru-keliru menapaki hidup. Jangan-jangan, kita memang belum beriman yang sebenarnya.

Seperti sebuah kisah yang masyhur kala Rasulullah SAW ditemui seorang arab badui yang mengaku telah beriman, maka Sang Nabi mengatakan bahwa orang itu belum beriman. Karena iman itu belum menyesap ke dalam dadanya.

Kata Rasulullah, levelan begitu itu namanya kita baru ‘tunduk’. Karena Iman yang sebenarnya belum masuk ke dalam dada kita. Karena kita belum sampai pada ‘penyaksian’ yang sebenarnya. Karena kita kerjanya menumpuk-numpuk wacana debat ilmiah agama semata, tidak pernah mengkonversinya menjadi realita kejiwaan kita. Tidak pernah. Tidak pernah.

Diam seperti apa, yang menunjukan adab dan hikmah ?

Banyak orang keliru, telah mengira bahwa ucapan lisan dan detak di dalam hati itu berbeda. Mereka mengira, bahwa Allah menilai apa yang terlahir di lisan, sementara Allah lupa apa dengan yang di dalam hati.

Mereka tak meminta apa-apa pada “Lisan” mereka, demi mencontohi sikap tinggi para Aulia dengan “Diam”nya, tetapi belakangan mereka menyadari bahwa jika di hati masih gelisah dan merasakan berat dengan keadaan, dan detak hati mereka masih hendak meminta pertolongan, berarti kondisi itulah sebenarnya yang lahir pada mereka.

Lisan diam, tetapi hati bergolak, sama sekali tidak menjadikan kita selevel aulia.

Dengan diamnya lisan, tetapi di hati masih berdetak meminta pertolongan Allah untuk dipindahkan ketempat yang lebih cocok dengan kita, berarti kita masih harus mengakrabi Allah pada tataran itu.

Mengakrabi Allah lewat kebutuhan di dalam hidup kita.

Jadi satu yang harus digaris bawahi adalah, perlu jujur melihat apa gerangan yang bergejolak di hati kita. Dan lewat segala gejolak di hati itulah kita diundang untuk menemui Allah.

Jika di hati bergejolak meminta pertolongan, maka lahirkanlah gejolak hati itu dalam lisan yang berdo’a. Berdo’a berarti menegakkan kehambaan. Jangan gegabah meloncat pada level tinggi yang tak sanggup kita tiru.

Jika Allah mentakdirkan gejolak rasa butuh di dalam hati, maka jadikan saja itu sebagai kendaraan menuju Allah. Sebagaimana Umar r.a. berkata: “Aku tidak membawa hasrat pengabulan, tetapi aku membawa hasrat do’a. Jika aku tergerak berdo’a, maka aku tahu pengabulan bersamanya”.

Zakariya a.s berdo’a meminta keturunan berpuluh tahun. Musa pun berdo’a ketika diperintahkan menghadapi Fir’aun. Berdo’a adalah wujud kehambaan. 

Jalani apa yang harus dijalani, tak perlu memikirkannya.

Allah, Saja.!

Bahwa untuk sampai kepada maqam spiritual yang “Tiada lagi kehendak diri kita” dan berganti dengan semua kehendak Allah mewujud, pastilah ada prosesnya.

Dan proses itu adalah jalan kehidupan kita masing-masing. Tergantung cerita hidup, tergantung konteks kita masing-masing, tergantung peranan masing-masing.

Maka ada orang-orang yang hidupnya dibanting-banting dan dengan itu merasa begitu butuh pertolongan Allah, menjadi fakir di hadapan Allah. Maka pulanglah kepada Allah lewat gejolak rasa itu. Berdoa, dalam doa yang menyatakan kefakiran diri.

Ada orang yang hidupnya digelontori karunia dan kemudahan, maka tak terpandang olehnya selain dari keMaha Baikan Allah dan welas asihNya, tak mungkin orang ini pulang lewat tangisan mendayu-dayu, karena gejolak rasa yang ada pada dirinya adalah bahagia dan kesyukuran. Maka pulanglah lewat tahadduts bin ni’mah. Mensyukuri pemberian Allah, dengan mengabarkan karunia Allah. Atau dalam konteks lain, maksudnya adalah menceritakan kebaikan Allah, sehingga apa yang ada pada kita dimaknai BUKAN sebagai pencapaian diri sendiri, melainkan dimaknai sebagai kebaikan dari Allah.

Dan orang yang selalu kembali pada Allah lewat apapun takdir hidup yang dia alami, lama kelamaan akan terproses untuk sampai pada sebuah kondisi dimana dia merasa tak penting lagi segala kejadian hidup. Yang penting Allah-nya.

Dan saya rasa itulah maksud dari Hadist Qudsi: “Siapa yang lebih sibuk berzikir kepadaKu dibanding meminta kepadaKu, justru Aku beri ia lebih utama dibanding yang Kuberikan kepada orang-orang yang meminta”.

Hadits ini belakangan baru saya mengerti, bercerita tentang maqom seseorang yang sudah Musyahadah (menyaksikan pengaturan Allah dimana-mana). Bahwa orang-orang yang sudah memandang Allah melulu, akan mendapatkan keutamaan dibanding orang yang mepandang melulu kebendaan.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *