Bagaimana setelan yang pas agar bisa menghasilkan akhlaq yang baik?
Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi Quwwatul ‘Adl. Tiga faktor ini setelannya harus imbang. Tiga faktor itu antara lain :
- Mesin Quwwatul Ghodhob, kita atur sedemikian rupa amarah agar cenderung ke sifat syuja’ah (keperwiraan). Gusti Allah sangat menyukai sifat keperwiraan yang berisi sifat kemuliaan, kewibawaan, kesabaran, tanggung jawab, dedikasi, loyalitas, kewaspadaan dan keberanian. Kalau kita lepas dalam mengontrol amarah, kita disebut ngawur, brutal, sombong, ujub. Kalau terlalu mengecilkan setelan amarah, kita disebut pengecut, culun, tidak berwibawa, sembrono, gak punya semangat dan cita-cita, lemah dan gak punya harapan.
- Mesin Quwwatusy Syahwat, kita atur sedemikian rupa agar syahwat cenderung ke sifat ‘affah (kasih sayang). Sifat kasih sayang ini berisi sifat dermawan, malu, sabar, sopan, toleran, mental kaya, hati-hati, jujur, lembut dan tidak tamak. Kalau kita lepas kontrol terhadap syahwat kita bakal punya sifat rakus, kasar, tidak sopan, pelit, cabul, riya’, gak tau malu, hasud, moral bejat, raja tega, penjilat, meremehkan dan lain sebagainya. Kalau terlalu kecil setelan syahwat, kita bakal disebut tak punya perasaan, malas, kurang percaya diri, minder, gampang putus asa dan galau.
- Informasi yang dikumpulkan dan diolah akal sehat, dengan setelan imbang, kita berharap adanya alasan yang bagus, pemikiran yang berkualitas, logika yang lurus, pandangan yang tajam, prasangka yang kuat, ketelitian dalam melihat detail, kemampuan mengukur diri dan kewaspadaan yang terjaga.
Kalau kita terlalu berpegang pada informasi yg dikumpulkan dan diolah akal sehat, maka yang terjadi kita punya pikiran jahat, jadi penipu, tukang hoax, tukang silat lidah, korup, tukang protes dan provokator.
Kalau kita mengabaikan akal sehat, maka kita akan jadi bodoh, dungu, kudet, terbelakang, ndeso dan mudah ditipu.
Semua elemen itu kalau setelannya gak pas atau gak imbang, satu elemen saja, maka gak akan menghasilkan akhlaq yang baik. Jadi, akhlaq baik adalah terpeliharanya keseimbangan semua elemen mesin yang berada di khuluq.
Imam Ghozali dawuh, tigak ada cara lain, jalan satu-satunya memperbaiki akhlaq kita adalah dengan mujahadah dan riyadhoh. Menurut Imam Ghozali, mujahadah di sini definisinya adalah usaha sungguh-sungguh untuk menyematkan sifat-sifat yang sangat berbeda dari sifat-sifat kesehariannya yang dulu, sehingga amal yang dilakukan pun berlawanan dengan yang dulu.
Misal dulu suka makan sekarang berusaha diet, dulu pelit sekarang berusaha sedekah, dulu suka males sholat sekarang usaha rajin sholat.
Kalau kita bawa masa sekarang, mirip istilah kekinian “hijrah”. Istilah bagus tapi kini jadi salah kaprah. Karena istilah “hijrah” kekinian pada prakteknya sering salah proses dan salah tempat. Perubahan yang terjadi terlalu ekstrim dan terlalu cepat. Sehingga pelakunya malah jadi sombong dan ujub. Ini saya bukan mengkritik “hijrah”, tapi misuhi pelakunya.
Maksud dari mujahadah di sini, misal kita biasanya pelit maka kita gak sampai langsung jadi sembarangan berderma hingga membebani kita. Melainkan bertahap pelan-pelan hingga meningkat hingga amal sedekah itu mendarah daging dalam diri. Sehingga akhirnya sedekah itu teraplikasikan secara menyeluruh sesuai dengan definisi yang diinginkan syariat.
Misal lagi, kita biasa berhemat, dengan mujahadah maka jatuhnya bukan jadi pelit, namun jadi berhemat di saat yang tepat. Biasanya husnudzon, dengan mujahadah maka bisa berhusnudzon pada tempatnya.
Maka, tujuan mujahadah adalah tumbuhnya rasa tawadhu’ atau sadar diri dan adanya kemampuan menempatkan sesuatu pada tempatnya dalam jiwa hingga mendarah daging menjadi satu naluri di jiwa kita. Namun kalau perubahan itu dipaksakan secara ekstrim hingga diri kita tidak bisa bertawadhu’, itu bukan mujahadah, namanya terpaksa dan malah jadi beban.
Misal kalau kita sering bersedekah tapi justru membebani keuangan kita, maka itu bukan tawadhu’. Lalu kita sering sholat dhuha, tapi pekerjaan terbengkalai, itu semua bukan tawadhu’.
Karena mujahadah itu sasarannya khuluq atau jiwa yang sifatnya halus. Seperti membentuk ukiran indah di satu media yang rapuh seperti tanah liat yang basah, maka perubahan harus dilakukan bertahap, kontinyu, pelan-pelan, teliti dan hati-hati sehingga hasilnya indah, bukan asal jadi karena perubahan yang terlalu cepat akibat ada rasa terpaksa dan cuma jadi beban .
Misal mengobati malas dalam beramal, kita tidak bisa langsung secara ekstrim dan secara cepat mengekang nafsu untuk malas. Itu sangat tidak mungkin. Kalau pun berhasil, kita malah ujub dan sombong. Maka mujahadahnya lewat amal secara istiqomah sambil menambah ilmu dan merenungi amal-amal yang diistiqomahi. Lama-lama malas itu hilang dan amal istiqomah itu pun mendarah daging jadi watak kita. Beramal bukan lagi jadi satu keterpaksaan dan beban tapi sudah jadi naluri.
Kalau amal itu udah jadi kebiasaan, adat dan naluri kita, kita gak peduli mau dipuji atau dihina. Kita pun bisa paham bagaimana menempatkan amal itu secara benar dan tepat, paham hakikat diri dan hakikat amal itu sendiri. Sehingga gak ada yang perlu disombongkan lagi. Dengan munculnya naluri seperti itu, baru kita disebut tawadhu’.
Sekali kita itu tidak tawadhu’, baik lahir maupun batin, kita disebut sakit jiwa. Namun bukan manusia namanya kalau gak pernah sakit jiwa, mbah. Cuma Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang senantiasa sehat jiwanya.
Yang penting bagi kita yang bukan nabi ini, sakit jiwanya gak keseringan kumat. Dibanyakin warasnya biar melampaui sakitnya. Karena mendekati kewarasan itu lebih baik daripada mendekati penyakit. Dan kalau terus-terusan sakit jiwanya, dikhawatirkan kehilangan kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat.
Imam Ghozali memperingatkan kita dengan keras
لا تظن بنفسك حسن الخلق
“Jangan pernah sekalipun menganggap dirimu berakhlaq baik”
Maka yang perlu kita perhatikan agar kita jadi tawadhu’, kita jangan pernah merasa aman dan lebih baik dari orang lain. Ini peringatan bagi orang yang sedang proses berubah menuju sholeh, lebih-lebih yg sudah dikenal orang dengan kesholehannya.
Misal karena dulu kita berakhlaq buruk, lalu berusaha berubah dan mau beramal sholeh secara rutin, kita jadi merasa sudah mencapai akhlaq sholeh. Padahal saat kita merasa sholeh, tandanya kita masih berakhlaq buruk karena punya sombong. Artinya kita sedang tertipu karena merasa diri kita baik, itu sifat setan yang sombong. Bisa dibilang, saat kita menganggap diri kita sholeh, kita kerasukan sifat setan.
Begitu juga saat kita mengatakan seseorang itu berakhlaq buruk, maka tidak diragukan lagi, kita berakhlaq buruk. Karena yang namanya akhlaq itu selalu berkaitan dengan bagaimana kita memperlakukan orang lain. Jadi kalau kita berperilaku buruk pada orang lain, apapun alasannya, itu tandanya kita berakhlaq buruk karena merasa lebih baik dari orang lain. Artinya perilaku itu juga bentuk tipuan.
Begitu juga saat kita merasa jadi wakil Tuhan. Misal saat kita marah pada orang, lalu kita bilang bahwa marah kita karena Allah. Saat kita memamerkan ibadah, lalu kita bilang itu syiar agama. Saat kita seakan emoh dengan dunia, lalu kita bilang kita melakukannya karena ada ilmu Allah. Namun jika dibedah, dalam hati kita ada keinginan menggebu untuk dipuji, dikasihani dan dihargai orang lain. Maka itu juga termasuk tipuan, karena itu riya’ khufi.
Gusti Allah sangat membenci orang yang kuat dan berilmu tapi menyombongkan kekuatan dan ilmunya. Seperti halnya membenci orang puasa yang menampakkan puasanya. Yang terpuji di sisi Gusti Allah justru yang merasa sebaliknya. Orang kuat tampak rendah hati, orang berilmu merasa bodoh, berpuasa tampak ceria.
Maka yang benar, seperti falsafah orang Jawa, “isoko ngroso ojo rumongso isok“. Artinya kita harus bisa sadar diri, merasakan derajat kehambaan diri, peka pada lingkungan dan tepo seliro pada manusia, bukan malah merasa punya kelebihan dari orang lain.
Ini persis dawuh Mbah Anwar Manshur Lirboyo, “Ojo ngroso gumede, aku sing paling apik. Kudu rumongso ora iso opo-opo, ora nduwe opo-opo, tapi yo kudu tetep sregep olehe berusaha“.
Artinya, jangan merasa sombong dan berkata “aku yang paling bagus”. Harus merasa tidak bisa apa-apa dan tidak punya apa-apa, tapi tetap punya keyakinan harus terus rajin berusaha.
Kalau kata orang bule, stay hungry stay foolish.
(Bersambung)
No responses yet