Imam Ghozali selalu menganjurkan untuk terus menerus merobohkan keburukan diri secara bertahap, sedikit demi sedikit. Beramal sambil menambah ilmu dan merenunginya sedikit demi sedikit, hingga kita terbiasa dengan kebaikan. Namun tidak dianjurkan merobohkan semuanya dalam sekejap atau instan.

Keshalehan instan, kesholehan yang rapuh dan berbahaya

Kalau kita menghancurkan keburukan diri sekejap itu juga, secara ekstrim, kita bakalan kaget dan janggal. Janggal dan kaget karena kita tidak terbiasa dengan semua bentuk kebaikan yang sangat banyak, sementara hati kita belum siap menerima semuanya. Kalau dipaksakan, akibatnya bisa cepat bosan sehingga balik lagi pada keburukan. Kalaupun berhasil, hasilnya muncul sombong dengan amal dan hatinya jadi keras.

Logikanya seperti kita merobohkan rumah usang. Yang bener, kita robohkan perbagian rumah sedikit demi sedikit, sambil menata puing-puingnya satu persatu. Sehingga saat ingin membangun lagi, kita tidak kesusahan membersihkan tumpukan bekas puing-puing, debu akibat pembongkaran dan resiko lainnya pun bisa diminimalisir.

Kalau kita merobohkan rumah usang sekejap itu juga, resiko debu yang berbahaya, resiko reruntuhan menimpa kepala hingga resiko kesulitan membersihkan puing-puing reruntuhan, jadi susah diatasi.

Mungkin kita mengkhawatirkan maut yang menjemput sementara kita masih berproses menuju sholeh, dikit-dikit masih suka maksiat dan belum sepenuhnya baik, sehingga kalau sholehnya tidak instan, takut keduluan maut. Kekhawatiran seperti itu baik tapi salah.

Misal kita ingin ke suatu tempat, kita bisa sabar menempuh sekian jarak dengan sesekali terganggu kemacetan atau gonta-ganti angkutan. Kenapa kita tidak sabar dalam meniti jalan mujahadah menuju kebaikan yang hakiki dan malah ingin yang instan?

Kalau kita suka semua serba instan, hingga kesholehan instan, itu seperti mendirikan bangunan di atas tumpukan puing-puing reruntuhan rumah yang menggunung. Tentu hasilnya jadi rapuh karena pondasi bangunan tidak mencapai tanah. Digoyang dikit, ambruk lagi.

Selama niat kita berproses dikit demi sedikit agar kebiasaan baik itu melekat kuat pada kita itu tetap ada, kita jangan takut apapun termasuk kematian. Kematian itu pasti terjadi, tidak usah takut. Namun yang belum pasti adalah saat hidup, sejauh mana ilmu dan amal yang kita lakukan itu sudah menumbuhkan rasa tawadhu’ sebagai bekal kematian?

Inti mujahadah adalah menumbuhkan hati yang tawadhu’ sembari terus beramal sholeh. Bukan hanya sekedar beramal tapi melahirkan kesombongan. Kalau mati membawa setitik kesombongan aja, gagal masuk surga walau kita banyak ibadah.

Memang penting untuk selalu husnudzon pada Gusti Allah, bahwa saat kita diberi kemauan dan kemampuan untuk beramal sholeh, Gusti Allah sedang membuka pintu cinta-Nya pada kita. Tapi salah juga jika kita hanya menggantungkan diri pada sifat pengampun Gusti Allah sehingga kita tetap sombong, gak ada upaya tawadhu’, malah terus larut dalam kesombongan.

Memang ada ahli maksiyat yang ditakdirkan mati husnul khotimah, bahkan tanpa sempat sholat dan ibadah lain, tapi itu sangat jarang. Kalau kita menggantungkan diri dengan hal yang kemungkinannya jarang tersebut, itu orang yang tertipu dan kurang akal.

أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ اجْتَرَحُوا السَّيِّئَاتِ أَنْ نَجْعَلَهُمْ كَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَوَاءً مَحْيَاهُمْ وَمَمَاتُهُمْ ۚ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ

“Apakah orang-orang yang berbuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan nasib mereka sama dengan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.” (Al Jaatsiyah : 21)

Kalau kita tetap memelihara kesombongan atas amal di alam dunia akan mampu menyelamatkan kita di alam akhirat, maka jelas kita tertipu. Bukankah Tuhan Semesta Alam itu satu?

Berhusnudzon pada orang lain.

Kadang kita terlanjur memandang seseorang sebagai orang bejat, kita pun menganggap dia tidak serius berubah. Tapi sebenarnya dia lagi proses untuk berubah. Karena lagi proses, kadang dia dikit-dikit keluar nakalnya. Atau hal itu justru terjadi pada kita. Kita pun bingung menghadapi pandangan seperti itu.

Imam Ghozali menjawab, orang-orang yang berpraduga buruk tersebut tidak tahu urusan akhirat orang lain, mereka cuma mengerti gimana bejatnya seseorang di dunia. Kalau kita bukan orang yang ngerti hal yang lembut atau bukan ahli kasyaf, kita harus banyak merenungi bahwa banyak kasus keadaan dunia seseorang gak selalu berhubungan dengan keadaan di akhiratnya. Kadang di dunia bejat tapi di akhirat bahagia. Dari situ, kita bisa berhusnudzon pada orang lain dan bercermin untuk diri sendiri, kira-kira nasib kita di akhirat seperti apa.

Gambaran nasib manusia di akhirat, ada empat macam jenis :

  1. Orang yang nasibnya di akhirat sudah ditetapkan di Al Qur’an, seperti para Nabi dan kaum-kaumnya yang disebut di Al Qur’an.
  2. Orang yang nasibnya di akhirat melalui isyarat lewat takhyil seperti mimpi. Misal murid Imam Syafi’i yang bermimpi sang guru masuk surga.
  3. Orang yang nasibnya di akhirat bisa dilihat berdasarkan prediksi dan analisa yang kuat di mana orang awam pun bisa paham. Misal seorang yang gak terkenal, tapi pas meninggal yang menyolati ribuan orang, tidak ada yang tau siapa saja mereka.

Jenis kedua dan ketiga ini dihuni oleh para auliya’. Keadaan mereka diperlihatkan dan jadi keutamaan mereka. Dan kadang keutamaan mereka tidak diduga, misal di dunia kelihatan hina tapi harum di akhirat. Ini membuktikan kehidupan di dunia tidak selalu menggambarkan kehidupannya di akhirat.

  • Jenis orang ini tidak dilihat dari keadaan yang bersifat ilahiyah seperti 3 jenis di atas, namun menurut analisa lahiriyah dari diagnosa dokter, tabib dan pengamatan kasat mata ulama yang bukan dari golongan ahlu bashiroh atau ahlu kasyaf.

Kita bisa menolak analisa mereka karena mereka tidak memahami ruh yang hakiki di mana akal budi berada, mereka hanya paham ruh jasmani yaitu ruh yang menggerakkan jasad.

Misal seorang dokter mengatakan seseorang matinya kejang-kejang karena overdosis zat psikotropika maka diduga si mayit pecandu. Padahal belum tentu si mayat pecandu. Ada kemungkinan diracun oleh seseorang.

Kalau kita bukan aparat penegak hukum dan peraturan, kita harus bersikeras untuk husnudzon ketika melihat seseorang. Agar tidak kena penyakit jiwa berupa sombong, cinta dunia, hasud dan lain-lain. Karena bila husnudzon kita itu salah, kita gak rugi. Kalau husnudzon kita benar, yang salah orang lain berpraduga jelek.

Berakhlaq baik tanpa percaya adanya akhirat adalah tipuan

Semua manusia, apapun keyakinannya, pasti menyadari dan sepakat bahwa akhlaq buruk itu sangat buruk bagi diri sendiri. Ini jadi kesamaan prinsip Islam dengan keyakinan lain. Orang atheis yang tiak percaya Tuhan pun sadar bahwa sombong itu buruk, gila dunia itu jahat dan semua sifat buruk itu merusak dunia.

Kita melihat orang atheis dan agnostik. Mereka berprinsip bahwa menghindari keburukan itu tidak perlu berdasarkan hal ghaib seperti akhirat. Cukup melihat fakta bahwa akhlaq buruk itu merugikan kemanusiaan, sudah jadi pedoman kesadaran membangun prinsip kebaikan. Mempercayai akhirat sebagai pedoman memberantas akhlaq buruk justru membangun egoisme manusia.

Semua itu sekilas masuk akal. Namun orang atheis tidak paham, tidak percaya adanya kehidupan akhirat setelah kematian juga termasuk akhlaq buruk yang memicu akhlaq buruk lainnya.

Tidak percaya hari akhir berarti tidak percaya adanya Tuhan yang mengabarkan adanya akhirat. Tidak percaya Tuhan berarti menyalahi naluri kemanusiaan yang punya naluri untuk berharap di luar dirinya. Menyalahi naluri kemanusiaan itu menyalahi akal. Menyalahi akal itu mengikuti hawa nafsu yang ujungnya akhlaq buruk.

Misal seorang atheis ingin menjadi dermawan atau filantropi. Motivasinya ingin menolong orang demi kemanusiaan. Untuk itu, dia cari uang dan lakukan segala macam cara. Karena tidak percaya Tuhan, dia tidak merasa diawasi ketika dia mencari uang, tidak penting itu uang darimana.

Setelah punya uang, orang atheis akan berderma lalu dia bisa memilih sombong pada orang lain karena bisa berderma lalu memperlakukan manusia seenaknya karena terbiasa cari uang seenaknya. Naluri hawa nafsu, bila merasa tidak terawasi akan menjadi korup, ini jadi awal kebrutalan hawa nafsu yang lain.

Begitu juga kita orang beragama tapi jadi sombong dan menuruti hawa nafsunya setelah beramal, dia bisa jadi mirip orang tidak kenal Tuhan. Karena mereka tidak merasa diawasi oleh Tuhan ketika melakukan kejahatannya. Inilah yang disebut Imam Ghozali, tipuan akibat kurang yakin adanya akhirat dan kurang yakin keburukan dunia.

Gusti Allah berfirman dalam menanggapi orang-orang yang tidak percaya Gusti Allah dan Kanjeng Rosul SAW.

ذَرْهُمْ يَأْكُلُوا وَيَتَمَتَّعُوا وَيُلْهِهِمُ الْأَمَلُ ۖ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ

“Biarkanlah mereka di dunia ini makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan kosong, maka kelak di akhirat mereka akan mengetahui akibat perbuatan mereka.” (Al Hijr 3)

Inilah yang coba diberantas lewat mujahadah. Tujuan mujahadah dalam tasawwuf, sekali lagi, adalah menumbuhkan kehambaan diri di hadapan Tuhan. Sehingga pelakunya merasa diawasi.

Mujahadah berusaha mendamaikan jiwa yang terus bergolak. Memerdekakan jiwa menuju kemerdekaan hakiki. Membebaskan jiwa manusia dari hawa nafsunya yang selalu berusaha mengagungkan diri sendiri.

Semua manusia ini hakikatnya kuldesak, terdesak di jalan buntu. Banyak hal yang di luar kemampuan manusia, sementara manusia terus dipaksa untuk hidup. Ketika hal yang di luar kemampuan itu tidak dipasrahkan ke pihak yang tinggi atau Tuhan, beban itu akan menghancurkan jiwanya.

Maka, mau tidak mau, kita harus berdamai dengan diri, melepaskan beban kesombongan dan mulai percaya dan menghamba pada Gusti Allah. Agar setidaknya, kita bisa menikmati hidup dan tidak takut menghadapi kematian yang pasti datang.[]

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *